Kebiasaan baru di era digital yang bisa kita rasakan, contohnya memperoleh informasi, berinteraksi dan berkomunikasi, serta bertransaksi. Tadinya kita lakukan semua itu secara tatap muka, dan sekarang sudah bisa menggunakan fasilitas digital. Dengan tidak terbatasnya jarak dan waktu lagi dalam berinteraksi dan berkolaborasi, seringkali kita menjadi terekspos kebiasaan atau budaya lain.

Perlu diingat bahwa yang bukan termasuk budaya kita sebagai netizen Indonesia adalah tidak menghormati pendapat orang lain, tidak menghargai hasil karya orang lain (HAKI), tidak menghargai privasi diri dan orang lain, serta melakukan perundungan digital. Oleh karena itu, kita sebaiknya membekali diri dengan literasi digital agar dapat menggunakan internet dan teknologi digital secara bermanfaat dan sesuai nilai-nilai budaya dan dasar negara Indonesia.

Menyikapi hal itu, Kominfo bekerja sama dengan Jaringan Pegiat Literasi Digital (Japelidi) dan Siberkreasi Gerakan Nasional Literasi Digital menggelar webinar dengan tajuk “Literasi Digital: Bangun Masyarakat Digital Berbudaya Indonesia”. Webinar yang digelar pada Senin, 13 September 2021, ini diikuti oleh sejumlah peserta secara daring.

Dalam forum tersebut hadir Dr Delly Maulana MPA (Dosen Universitas Serang Raya dan IAPA), Alfan Gunawan (praktisi komunikasi dan Senior Consultant Opal Communication), Murniandhany Ayusari (Content Writer Jaring Pasar Nusantara), Jota Eko Hapsoro (Founder dan CEO Jogjania.com), dan Audrey Chandra (news presenter) selaku narasumber.

Dalam pemaparannya, Rusdiyanta menyampaikan bahwa hoaks, penipuan, dan ujaran kebencian membuat tingkat kesopanan netizen Indonesia paling buruk se-Asia Tenggara. Orang Indonesia dikenal ramah, tetapi mengapa dinilai tidak sopan di dunia digital? Faktanya adalah ketika di media sosial, mereka merasa lebih leluasa, merasa bebas untuk beropini. Padahal hal itu tidak sepenuhnya benar.

Literasi digital perlu diterapkan dalam penggunaan media digital tidak untuk sekedar tahu, tetapi agar kita juga memikirkan etika yang ada dan tahu bagaimana cara menanggapi argumen-argumen netizen lainnya. Kita harus sopan ketika berinternet karena pengguna media sosial berasal dari berbagai negara yang memiliki budaya, bahasa, dan adat istiadat yang berbeda.

“Terkait itu, perlu diingat bahwa setiap orang di internet memiliki 5R: right (hak), respect (penghormatan), responsibility (tanggung jawab), reasoning (berpikir kritis), dan resilience (ketangguhan),” jelasnya.

Audrey Chandra selaku narasumber Key Opinion Leader juga menyampaikan bahwa budaya netizen di Indonesia juga banyak sisi positifnya, seperti memberikan dan berbagi informasi. Menurutnya, netizen Indonesia berani untuk speak up, tapi tidak jarang juga mereka jadi kebablasan.

Konten-konten di media sosial ini banyak sekali membuat kita merasa drop, karena melihat orang lain yang sudah bisa lebih hebat dari kita. Akhirnya, kita selalu menganggap diri kita gagal dan tidak mempunyai kemampuan. Kita terlalu sering dimanjakan dengan sesuatu yang hebat, yang mewah. Akhirnya talenta yang sudah diberikan kepada kita dianggap rendah.

“Oleh karena itu, kita harus punya standar untuk diri kita sendiri. Kesuksesan itu bertemu pada saat persiapan, dengan terlebih dulu mengenali diri, mengenali skill, dan jangan melupakan pengetahuan,”ujarnya.

Salah satu peserta bernama Tantam menyampaikan pertanyaan, “Bagaimana budaya kerja masyarakat digital menghadapi perubahan yang sekarang sedang terjadi, dan bagaimana caranya menstabilkan dunia digital dan dunia nyata dalam integritas?”

Delly Maulana menjawabnya. Kita bisa meningkatkan produktivitas kerja kita. Misalnya, kita diminta kerja dari rumah, tetapi tidak mengurangi indikator kita untuk lebih berkembang. Kita tidak pernah membayangkan akan punya acara online seperti yang sekarang. Dengan perkembangan teknologi seharusnya kita bisa menciptakan budaya kerja yang lebih hebat lagi.

“Kita bisa kerja di mana saja dan kapan saja. Kesan masyarakat yang tidak ramah tidak boleh dijadikan dasar etika. Oleh karena itu, pemerintah dan semua pihak harus bisa menyebarluaskan bahwa penerapan budaya dan etika digital secara baik harus dilakukan sejak dini,” jawabnya.

Webinar ini merupakan salah satu rangkaian kegiatan literasi digital di Kota Jakarta Pusat. Kegiatan ini pun terbuka bagi semua orang yang berkeinginan untuk memahami dunia literasi digital. Untuk itulah penyelenggara pada agenda webinar selanjutnya, membuka peluang sebesar-besarnya kepada semua anak bangsa untuk berpartisipasi pada webinar ini melalui akun Instagram @siberkreasi.dkibanten.

Kegiatan webinar ini juga turut mengapresiasi partisipasi dan dukungan semua pihak, sehingga dapat berjalan dengan baik, mengingat program literasi digital ini hanya akan sukses mencapai target 12,5 juta partisipan jika turut didukung oleh semua pihak yang terlibat. [*]