Tak dapat dimungkiri, perkembangan dunia digital telah menyasar ke segala sisi kehidupan. Saat ini, rasanya hampir tidak ada sisi kehidupan manusia yang tidak terpengaruh proses digitalisasi.

Namun, masih banyak pengguna internet yang hanya mampu menerima informasi tanpa kemampuan memahami dan mengolah informasi tersebut secara baik, sehingga masih banyak masyarakat terpapar oleh informasi yang tidak benar.

Menyikapi hal itu, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menggelar seri webinar literasi digital #MakinCakapDigital dengan tema “Menjadi Masyarakat Pancasila di Era Digital”. Webinar yang digelar pada Kamis, 2 Desember 2021 di Kabupaten Tangerang, diikuti oleh puluhan peserta secara daring.

Webinar ini mengundang narasumber dari berbagai bidang keahlian dan profesi, yakni Aidil Wicaksono (CEO Pena Enterprise), Rusdiyanta (Konsultan/Dosen FISIP Universitas Budi Luhur), E Nugrahaeni Prananingrum (Dosen Universitas Negeri Jakarta, Japelidi), dan Djaka Dwiandi Purwanigtijasa (Digital Designer dan Photographger).

Aidil Wicaksono membuka webinar dengan mengatakan, digitalisasi bukan lagi sebuah opsi, tetapi merupakan suatu kenyataan yang sudah terjadi. “Pembentukan karakter masa kini membutuhkan partisipasi dan kolaborasi dari seluruh generasi. Ciptakan peluang di ruang digital dengan memberi edukasi, berkolaborasi dan terus adaptasi,” tuturnya.

Rudiyanti menambahkan, perubahan teknologi informasi dan komunikasi adalah revolusioner, tapi harus berpegang pada ajaran Tuhan dan sentuhan moral dan nilai-nilai kemanusiaan yang tinggi. Masyarakat pancasilais adalah masyarakat yang mempelajari, menghayati, dan mengamalkan Pancasila di kehidupan sehari-hari dalam bermasyarakat, bernegara berbangsa dan berbudaya.

“Masyarakat digital pancasilais adalah hubungan antarmanusia melalui teknologi jaringan internet dan media atau platform tertentu berdasarkan sila-sila dalam Pancasila. Masyarakat Pancasila adalah masyarakat pembelajar, masyarakat yang terus belajar untuk maju. Ada masyarakat, ada etika,” jelasnya.

Menurutnya, kekurangan masyarakat digital, yaitu berkembangnya jenis kejahatan baru berupa kejahatan dunia maya atau cybercrime. Pemanfaatan teknologi digital yang tidak pada tempatnya justru menurunkan tingkat produktivitas. Munculnya kecenderungan sifat adiktif terhadap internet dapat menimbulkan gangguan fisik dan mental.

E Nugrahaeni Prananingrum turut menjelaskan, masyarakat Pancasila adalah masyarakat pembelajar. Yaitu, masyarakat yang terus belajar untuk maju. Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara merupakan dasar negara Republik Indonesia, baik dalam arti sebagai dasar ideologi maupun filosofi bangsa.

Di mana berarti setiap materi muatan kebijakan negara, tidak boleh bertentangan dengan Pancasila, begitu pun dalam kehidupan berbudaya, berbangsa, dan bernegara, termasuk juga kehidupan bermedia digital.

“Hal yang bisa diterapkan sebagai masyarakat Pancasila di era digital yakni berpikir kritis, meminimalisir unfollow, unfriend, dan block untuk menghindari echo chamber dan filter bubble. Gotong royong kolaborasi kampanye literasi digital,” jelasnya.

Menjadi warga digital yang pancasilais harus dimulai dengan proses berpikir kritis. Berpikir kritis melatih kita untuk mempertimbangkan apakah konten yang akan kita produksi dan distribusikan selaras dengan nilai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika.

Kita perlu memastikan apakah konten kita benar (obyektif, sesuai fakta), penting, dibutuhkan (inspiratif), dan memiliki niatan baik untuk orang lain (tidak memihak, tidak merugikan). Serta, memastikan bahwa konten kita datang dari sumber yang kredibel dan apakah konten kita sudah komprehensif dan mencakup banyak perspektif.

Sebagai pembicara terakhir, Djaka Dwiandi mengatakan, kecakapan keamanan digital berasal dari individual, formal dan hukum. Serta kecakapan keamanan digital terdapat beberapa jenis.

“Yakni Kognitif, membangun pengetahuan proteksi diri dan perangkat digital. Afektif, membentuk kesadaran saling melindungi warga digital. Konatif, meningkatkan kesadaran dan kebiasaan waspada di dunia digital,” tuturnya.

Dalam sesi KOL, Gina Sinaga mengatakan, mengenai dampak positif dan negatif di ruang digital, positifnya adalah ia pernah mem-post satu banner di medsos dan ada impact-nya yaitu orang-orang jadi bisa melihat kegiatan akun pada saat ini.

“Mengenai informasi baru di ruang digital, dengan adanya siberkreasi aku tidak lagi klik link sembarangan yang dikasih oleh orang lain, karena bisa saja itu phising atau hacking yang nantinya Ketika kita klik maka bisa di-hack dan dimanfaatkan untuk menipu orang lain, maka kita harus punya kesadaran diri, dan diingatkan kembali mengenai berita-berita atau informasi yang ada di ruang digital, dan bisa langsung diterapkan dikehidupan sehari-hari,” pesannya.

Salah satu peserta bernama Randa menanyakan, bagaimana cara kita dalam menghadapi transformasi digital dalam mengedukasi generasi milenial yang sudah pandai menggunakan gawai agar lebih berfikiran kritis?

“Kita harus lebih proaktif lagi, dan kita yang lebih dewasa harus menjadi peran atau role model menjadi contoh baik dalam ruang digital, budaya positif itu tidak bisa di tunggu dan harus segera dimulai, bisa dikatakan hashtag mulai dari kamu. Generasi yang dewasa harus bisa menjadi contoh untuk generasi muda agar bisa lebih positif lagi ruang digital,” jawab Aidil.

Webinar ini merupakan salah satu rangkaian kegiatan literasi digital di Kabupaten Tangerang. Kegiatan ini pun terbuka bagi semua orang yang berkeinginan untuk memahami dunia literasi digital. Untuk itulah penyelenggara pada agenda webinar selanjutnya, membuka peluang sebesar-besarnya kepada semua anak bangsa untuk berpartisipasi pada webinar ini melalui akun Instagram @siberkreasi.dkibanten dan @siberkreasi.

Kegiatan webinar ini juga turut mengapresiasi partisipasi dan dukungan semua pihak, sehingga dapat berjalan dengan baik, mengingat program literasi digital ini hanya akan sukses mencapai target 12,5 juta partisipan jika turut didukung oleh semua pihak yang terlibat. [*]