Secara umum, literasi digital sering kita anggap sebagai kecakapan menggunakan internet dan media digital. Namun, acap ada pandangan bahwa kecakapan penguasaan teknologi adalah yang utama.

Padahal, literasi digital adalah sebuah konsep dan praktik yang bukan sekadar menitikberatkan pada kecakapan untuk menguasai teknologi. Seorang pengguna yang memiliki kecakapan literasi digital yang bagus tidak hanya mampu mengoperasikan alat, tetapi juga mampu bermedia digital dengan penuh tanggung jawab.

Saat peluncuran Program Literasi Digital Nasional, Presiden Joko Widodo menyatakan, “Infrastruktur digital tidak berdiri sendiri, saat jaringan internet sudah tersedia, harus diikuti kesiapan-kesiapan penggunanya agar manfaat positif internet dapat dioptimalkan untuk membuat masyarakat semakin cerdas dan produktif.”

Dalam rangka mendukung Program Literasi Digital Nasional, Kominfo bekerja sama dengan Jaringan Pegiat Literasi Digital (Japelidi) dan Siberkreasi Gerakan Nasional Literasi Digital meluncurkan Seri Modul Literasi Digital yang memfokuskan pada empat tema besar; “Cakap Bermedia Digital”, “Budaya Bermedia Digital”, “Etis Bermedia Digital”, dan “Aman Bermedia Digital”. Diharapkan dengan adanya seri modul ini, masyarakat Indonesia dapat mengikuti perkembangan dunia digital secara baik, produktif, dan sesuai nilai-nilai yang dijunjung tinggi dalam kehidupan berbudaya, berbangsa, dan bernegara.

Proses sosialisasi dan pendalaman Seri Modul Literasi Digital dilakukan dalam bentuk seri webinar Indonesia #MakinCakapDigital yang menjangkau 514 kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Pada Senin 21 Juni 2021, pukul 13.00-15.30 WIB, webinar dengan tema “Kebebasan Berekpresi di Dunia Digital” diselenggarakan khusus bagi 14 kabupaten/kota di wilayah DKI Jakarta dan Banten.

Webinar ini mengundang narasumber dari berbagai bidang keahlian dan profesi, yaitu Antonius Andy Permana (Founder CEO of Haho.co.id), Pradhikna Yunik Nurhayati SIP MPA (IAPA), Mochamad Azis Nasution (Pemimpin Redaksi Channel9.id), dan Erista Septianingsih (Kaizen Room).

Tema yang dibahas oleh masing-masing narasumber meliputi digital skills, digital ethics, digital culture, dan digital safety. Antonius Andy Permana yang membuka webinar memaparkan bahwa di Indonesia, semakin lama mengunakan internet, kian rentan pula penyebaran hoaks. Menariknya, hal ini tak berpengaruh pada usia, jenis kelamin bahkan tingkat pendidikan.

“Kebebasan berpendapat dan berekpresi juga dapat mengancam ketertiban umum, seiring dengan hadirnya hoaks sebagai kesalahan informasi di dunia maya. Selain itu, jenis information disorder seperti disinformasi, mis-informasi, dan mala-informasi akan mengganggu unsur dalam hak berpendapat dan berekspresi,” ujar Antonius.

Ia menambahkan, hoaks merupakan sesuatu yang berbahaya. “Hoaks membuat informasi yang direkayasa baik dengan cara memutarbalikan fakta (interpersonated) maupun mengaburkan informasi (mislead) sehingga pesan yang benar tidak dapat diterima. Hoaks akan membangun asymetic war antara penguasa dan wistle blower dalam membangun kebenaran.”

Sementara Pradhikna Yunik Nurhayati mengatakan, hampir 64 persen penduduk Indonesia sudah terkoneksi dengan internet. Sayangnya, kemudahan berkomunikasi membuat pengguna tanpa sadar bertindak semaunya.

“Padahal, menggunakan internet juga perlu menggunakan tata krama, untuk mendukung etika digital dimana memerlukan sikap dan perilaku positif untuk kebaikan bersama,” katanya.

Ia memberi saran untuk melawan segala bentuk konten negatif. “Tidak perlu mendistribusikan konten negatif. Namun, terlibat aktif dalam berbagi data dan informasi yang bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain, serta menciptakan karya yang positif”.

Mochamad Azis Nasution lalu memaparkan, telah terbentuk tatanan kehidupan baru berbasis teknologi digital yang dinamakan budaya digital (digital culture). Aktivitas menggunakan medsos, berbelanja daring, melakukan pembayaran digital, pendidikan daring, hingga bekerja dari rumah (WFH) merupakan praktik digital culture.

Digital culture sebagai gagasan yang bersumber penggunaan teknologi dan internet, membentuk cara kita berinteraksi, berperilaku, berpikir, dan berkomunikasi sebagai manusia dalam lingkungan masyarakat,” imbuh Azis.

Ia menambahkan, budaya digital merupakan hasil olah pikir, kreasi, dan cipta karya manusia berbasis teknologi internet. Perkembangan budaya digital sangat ditentukan oleh penguasaan terhadap ilmu pengentahuan dan teknologi. “Manusia memegang peranan penting sebagai aktor perubahan budaya pada era digital.”

Selanjutnya, Erista Septianingsih sebagai pembicara terakhir menjelaskan, masyarakat digital lebih senang untuk mencari sendiri konten/informasi yang diinginkan. “Maraknya aktivitas digital yang dilakukan, mengharuskan kita untuk peduli dalam memproteksi perangkat digital yang kita miliki.”

Selain membantu memudahkan pekerjaan di dunia kerja, mencari hiburan, hingga transaksi secara daring, aktivitas digital tersebut juga rawan incaran kejahatan, salah satunya peretasan.

Phising adalah upaya untuk mendapatkan informasi data seseorang dengan teknik pengelabuan,” jelas Erista. Biasanya, pelaku phising mengincar data pribadi (nama, usia, alamat), data akun (username dan password), dan data finansial (informasi kartu kredit, dan rekening).

“Sementara itu, scam adalah segala bentuk tindakan yang sudah direncanakan yang bertujuan mendapatkan uang dengan cara menipu atau membohongi orang lain,” lanjutnya.

Dalam sesi tanya jawab, seorang peserta bertanya mengenai apa saja patokan yang harus diperhatikan jika ingin mencari berita atau informasi di dunia digital agar tidak mudah termakan hoaks atau berita palsu?

Mochamad Azis menjawab, jika di media digital ketika membuat berita ada sumbernya ada referensinya. Selain itu, biasanya terkait kontroversi ada prinsip cover both side yang memiliki kode etik sebagai jurnalis.

“Berbeda dengan media sosial seperti Twitter ada manupulasi dengan menyembunyinkan identitas yang kita tidak tahu sumbernya dari mana ini yang menjadi menyebarnya hoaks. Perbedaan ini saling mengait apa yang viral di medsos mempunyai pengaruh kepada dunia digital. Cara membedakannya kembali lagi pada diri kita sendiri yang harus cermat sebelum kita memutuskan untuk share informasi yang beredar,” jelasnya.

Seperti dikatakan Presiden Joko Widodo bahwa literasi digital adalah kerja besar. Pemerintah tidak bisa bekerja sendirian. Perlu mendapat dukungan seluruh komponen bangsa agar semakin banyak masyarakat yang melek digital. Presiden juga memberikan apresiasi pada seluruh pihak yang terlibat dalam Program Literasi Digital Nasional.

“Saya harap gerakan ini menggelinding dan terus membesar, bisa mendorong berbagai inisiatif di tempat lain, melakukan kerja-kerja konkret di tengah masyarakat agar makin cakap memanfaatkan internet untuk kegiatan edukatif dan produktif,” kata Presiden.

Seri webinar Indonesia #MakinCakapDigital terbuka bagi siapa saja yang ingin menambah wawasan dan pengetahuan mengenai literasi digital sehingga sangat diharapkan partisipasi aktif dari seluruh lapisan masyarakat. Rangkaian webinar ini akan terus diselenggarakan hingga akhir 2021, dengan berbagai macam tema yang mendukung kesiapan masyarakat Indonesia dalam bermedia digital secara baik dan etis.

Para peserta juga akan mendapat e-certificate atas keikutsertaan di webinar. Untuk info lebih lanjut, silakan pantau akun Instagram @siberkreasi.dkibanten.