Keterbatasan akses pendidikan, layanan kesehatan, kesempatan kerja, serta akses pada proses perencanaan kebijakan pembangunan merupakan tantangan yang harus dihadapi penyandang disabilitas di tengah upaya pemerintah mewujudkan masyarakat adil dan makmur secara merata.

Perpustakaan memiliki peran aktif dalam menjawab tantangan tersebut. Melalui program Transformasi Perpustakaan Berbasis Inklusi Sosial, perpustakaan tidak hanya menyediakan sumber informasi dan pengetahuan, tetapi juga kegiatan bermanfaat serta turut ambil bagian memberdayakan masyarakat penyandang disabilitas.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2020, jumlah penyandang disabilitas di Indonesia mencapai 22,5 juta jiwa. Dari jumlah tersebut, sebanyak 29,61 persen hanya lulusan sekolah dasar dan sebanyak 13,02 persen tidak/belum pernah mengenyam pendidikan formal.

Biro Perencanaan dan Keuangan Perpustakaan Nasional, Joko Santoso, menjelaskan, rendahnya akses pendidikan sangat berpengaruh terhadap kesenjangan kesempatan kerja. “Apabila kita lihat dari serapan tenaga kerja penyandang disabilitas pada periode 2016-2019, angkanya tidak pernah tumbuh dari 49 persen. Artinya, lebih dari separuh penyandang disabilitas tidak dapat terserap di pangsa kerja kita. Ini menjadi masalah serius yang harus diselesaikan bersama,” ujarnya.

Oleh sebab itu, lanjut Joko, program Transformasi Perpustakaan Berbasis Inklusi Sosial menitikberatkan di antaranya pada upaya-upaya perpustakaan dalam meningkatkan layanan bagi masyarakat berkebutuhan khusus. Penguatan literasi menjadi sangat penting agar masyarakat, tanpa kecuali penyandang disabilitas, semakin berdaya dan mandiri dengan potensi dan kemampuan yang dimiliki.

Layanan

Layanan yang diberikan perpustakaan di antaranya dengan memberikan penguatan pengetahuan dan keterampilan dasar, termasuk kecakapan hidup. “Perpustakaan harus dapat menjadi ruang publik yang terbuka bagi siapa saja, termasuk saudara-saudara kita berkebutuhan khusus. Selain itu, harus menjadi basis pendidikan bagi semua orang, termasuk yang tidak dapat mengenyam pendidikan secara layak,” tegas Joko.

Dalam menjalankan program Transformasi Perpustakaan Berbasis Inklusi Sosial, Perpustakaan Nasional (Perpusnas) menjalin kerja sama dengan berbagai pihak, mulai dari kementerian/lembaga, hingga sejumlah yayasan penyandang disabilitas.

Sejumlah perpustakaan yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia juga telah menyediakan sarana dan prasarana ramah disabilitas. Di antaranya, koleksi buku braile, aplikasi komputer untuk tunanetra, dan ramp untuk akses penyandang disabilitas pengguna kursi roda.

Selain itu, ada pihak perpustakaan yang melatih tenaga perpustakaan secara khusus untuk belajar bahasa isyarat agar dapat mendampingi pemustaka penyandang tunarungu dan tunawicara. Upaya-upaya ini diharapkan mampu menumbuhkan semangat penyandang disabilitas meningkatkan literasi.

Perpustakaan juga menggelar sejumlah kegiatan dan pelatihan untuk memberdayakan penyandang disabilitas. Di antaranya, pelatihan membatik, merajut, membuat kerajinan, dan pelatihan komputer bagi tunanetra dan tunadaksa. Selain itu, melakukan sosialisasi undang-undang tentang penyandang disabilitas.

Peran Aktif Perpustakaan Memberdayakan Penyandang Disabilitas
Perpustakaan Kabupaten Magetan, Jawa Timur, memfasilitasi pelatihan membatik eco print bagi disabilitas Yayasan Widama (Wiradaksa Utama). Selain meningkatkan rasa percaya diri, pelatihan ini menjadi salah satu bekal untuk menambah pendapatan bagi penyandang disabilitas.

Manfaat nyata

Kehadiran perpustakaan memiliki manfaat nyata bagi banyak orang, termasuk Tri Nurhayati (42). Ibu rumah tangga penyandang tunadaksa yang tinggal di Magetan, Jawa Timur, ini awalnya hanya mampu membantu suami yang berprofesi sebagai tukang jahit.

Namun, setelah mengikuti pelatihan merajut di Yayasan Widama di perpustakaan Kabupaten Magetan, akhirnya ia mampu mendapatkan penghasilan sendiri dengan membuat konektor dan tas hasil rajutannya. Setelah mengikuti sosialisasi tentang UU Disabilitas dan terus mendapatkan motivasi dari staf perpustakaan, rasa mindernya pun hilang berganti rasa percaya diri.

Hal serupa juga dirasakan Hotmarisa (20). Gadis penyandang tunarungu dan tunawicara dari Desa Bagas Godang, Tapanuli Selatan, ini awalnya hanya dapat membantu saudaranya membuat kerajinan dari manik-manik. Sejak mengenal perpustakaan, pengetahuan dan keterampilannya semakin meningkat sehingga ia kian percaya diri dan piawai membuat produk kerajinan yang bisa dijadikan sumber penghasilan.

“Kami mengajak seluruh masyarakat, termasuk teman-teman yang memiliki kebutuhan khusus untuk bersama-sama memperkuat pengetahuan dan keterampilan melalui perpustakaan. Perpustakaan merupakan bangku terakhir pendidikan bagi setiap orang. Tidak ada pilihan lain dalam mengembangkan potensi diri menyongsong masa depan kita selain melalui penguatan pengetahuan dan keterampilan,” pungkas Joko. [BYU]

Baca juga: Bangun Manusia Berkualitas Lewat Perpustakaan