Tak dapat dipungkiri, perkembangan dunia digital telah menyasar ke segala sisi kehidupan. Saat ini, rasanya hampir tidak ada sisi kehidupan manusia yang tidak terpengaruh proses digitalisasi. Namun, masih banyak pengguna internet yang hanya mampu menerima informasi tanpa kemampuan memahami dan mengolah informasi tersebut secara baik, sehingga masih banyak masyarakat terpapar oleh informasi yang tidak benar.
Menyikapi hal itu, maka baru-baru ini Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menggelar seri webinar literasi digital #MakinCakapDigital dengan tema “Cara Belajar Agama di Internet, Amankah?”. Webinar yang digelar pada Jumat, 10 September 2021 di Kabupaten Tangerang, diikuti oleh puluhan peserta secara daring.
Webinar ini mengundang narasumber dari berbagai bidang keahlian dan profesi, yakni Alviko Ibnugroho, SE,MM – Financologist, Motivator Keuangan dan Kejiwaan Keluarga, Dr H Suhardi, MAg – Kasi Penmad Kota Tangerang Selatan, Ridwan Muzir – Peneliti dan Pengasuh Tarbiyahislamiyah.id dan Puji F Susanti – Kaizen Room.
Tema yang dibahas oleh masing-masing narasumber meliputi digital skills, digital ethics, digital culture, dan digital safety. Alviko Ibnugroho membuka webinar dengan mengatakan, digitalisasi telah merevolusi sendi-sendi kehidupan manusia.
Digitalisasi juga telah merevolusi tata cara orang Indonesia belajar agama, khususnya Islam. “Ada beberapa masalah utama belajar agama di dunia digital, dengan cara selektiflah dalam menuntut ilmu agama, karena ilmu agama adalah perkara yang besar dan serius. Tidak boleh sembarangan dan main-main,” tuturnya.
Termasuk di dalamnya, perkara memilih orang yang akan dijadikan guru. Saat ini yang bisa dilakukan Netizen Indonesia adalah bijak dalam gunakan fitur aplikasi internet untuk meningkatkan kualitas keimanan. Waspada dengan selektif pada pemilihan aplikasi, informasi dan dalil-dalil tentang agama.
Jadikan belajar agama di internet untuk meningkatkan wawasan dan sebagai pelengkap cara efektif belajar agama bukan menjadikan fanatik. Hal-hal yang perlu diketahui dalam mencari guru, yaitu belajar agama tanpa guru sangat rawan gagal paham dalil agama, dan mudah ditipu aliran sesat.
Fatwa Imam Malik bahwa ilmu agama tidak boleh diambil dari 4 golongan. Pertama, orang yang bodoh yang menampakan kebodohannya meskipun ia banyak meriwayatkan dari manusia. Kedua, pendusta yang ia berdusta saat berbicara kepada manusia, meskipun ia tidak dituduh berdusta atas nama Rasulullah SAW.
“Ketiga, orang yang menurutkan hawa nafsunya dan mendakwahnya. Keempat, orang yang mempunyai keutamaan dan ahli ibadah, namun ia tidak tahu apa yang dikatakannya,” tuturnya.
Ridwan Muzir menambahkan, dalam mempelajari agama di Internet belum tentu benar dan bahkan berakibat serta berbahaya dan benar adanya, sebab internet adalah alat. “Alat bisa bermanfaat atau berbahaya, tergantung orang yang memakainya termasuk jika dipakai untuk belajar agama,” ungkapnya.
Cara belajar agama yang berbahaya akan mempelajari dan mengamalkan pelajaran agama di Internet, yang ajarannya justru mendorong untuk mencelakai sesama manusia. Belajar agama melalui internet berbahaya, karena jelas bertentangan dengan prinsip rahmatan lil alamin.
Ajaran radikalisme dan intoleransi berkedok pelajaran agama islam tidak jarang disusupi oleh kepentingan tertentu. Misalnya adu domba, rekayasa kekacauan, memperlemah paguyuban masyarakat, jualan senjata, dsb.
Akibat belajar agama dengan cara berbahaya/berisiko, antara lain kehadiran agama dan orang yang mengamalkannya seringkali bukan jadi rahmat, melainkan laknat atau ancaman.
“Ukuran rahmat ini sederhana saja. Jika yang terasa adalah kenyamanan dan ketenangan, itu adalah tanda adanya rahmat. Jika kehadiran kita membawa rasa nyaman bagi orang lain, itu berarti kita membawa rahmat,” jelasnya.
Dalam budaya pendidikan Islam, setidaknya secara tradisional. Cara belajar agama yang ideal adalah yang bertalaqqi (tatap muka) dengan seorang guru yang otoritatif. Inti metode belajar dalam Islam adalah teladan (uswatun hasanah), yang akan diteladani murid adalah gurunya.
“Teladan dari guru hanya bisa diperoleh jika dia disaksikan dan didengar langsung. Bahasa yang dipakai guru dalam mengajar/memberi teladan/merawat murid tidak hanya disampaikan lewat verbal (lisan), tapi juga tatapan, nada suara, usapan, dan gerak tingkah lakunya sendiri,” paparnya.
Dr H Suhardi turut menjelaskan, bahwa kita perlu belajar agama karena, agar mengerti ajaran agama, bisa menjalankan ajaran agama dengan baik dan benar, menjadi ahli agama, dan bisa selamat hidup di dunia dan akhirat.
Kelebihan belajar agama melalui internet yakni cepat, beragam, dan kebebasan, Sementara kelemahannya sepintas, narasumbernya terseleksi, dan rujukan bebas. “Agar aman belajar agama di internet, budayakan lah membaca, budayakan menulis, budaya berdialog dan berpikir kritis,” pesannya.
Sebagai pembicara terakhir, Puji F Susanti mengatakan, saat ini sebagian masyarakat Indonesia gemar belajar atau mencari informasi tentang agama atau mengakses kontennya melalui media sosial (medsos).
Padahal, banyak konten di media sosial tanpa proses verifikasi sehingga rentan terpapar sikap intoleran hingga rawan ideologi radikal. Bahaya belajar agama lewat Internet yakni sumber yang berlimpah, maka orang merasa sudah tahu, dan merasa tidak perlu lagi bertanya-tanya kepada orang yang lebih tahu.
Merasa tidak perlu menuntut Ilmu kepada Ulama. Padahal, bersilaturahmi kepada ulama tidak bisa digantikan dengan baca-baca buku dan browsing internet. Menurutnya, internet itu rimba belantara.
“Tidak ada sesiapapun yang mengontrol benar dan salah di internet. Internet tidak pandai memilah-milah, karena Internet tidak ada gurunya, makanya yang belajar via Internet atau buku itu sesat menyesatkan,” ucapnya.
Dalam sesi KOL, Greget Kalla Buana mengatakan, dampak negatif internet terkadang ada info atau hal yang tidak sependapat dan menjadi bahan perdebatan, malah bahkan orang tersebut menyampaikan dengan tidak baik.
“Kita tidak bisa mengontrol sikap orang lain terhadap kita. Mengenai belajar agama di internet, salah satu yang saya rindukan adalah duduk bareng di masjid mendengarkan ustadz berdakwah, sudah pasti vibesnya berbeda dengan sekarang. kita tetap harus memilih siapa narasumbernya agar ilmu tersebut tersampaikan dengan baik ke kita,” katanya.
Dalam webinar ini, para partisipan yang hadir juga dipersilahkan untuk mengutarakan pertanyaan dan tanggapan. Salah satu peserta bernama Rusdianto menanyakan, bisakah otoritas agama mengatur satu atau sekelompok orang yang mengajarkan pelajaran agama secara online meskipun dianggap tidak punya kualifikasi?
“Di era digital ini kita bisa menshare apapun, jadi kita tidak membatasi orang untuk bebas men-share karena negara kita termasuk negara agamis, oleh karena itu tugas kita adalah mari kita bersama-sama mengupayakan nilai-nilai agama secara efektif dan produk agama tersampaikan dengan baik,” jawab Suhardi.
Webinar ini merupakan salah satu rangkaian kegiatan literasi digital di Kabupaten Tangerang. Kegiatan ini pun terbuka bagi semua orang yang berkeinginan untuk memahami dunia literasi digital. Untuk itulah penyelenggara pada agenda webinar selanjutnya, membuka peluang sebesar-besarnya kepada semua anak bangsa untuk berpartisipasi pada webinar ini melalui Instagram @siberkreasi.dkibanten dan @siberkreasi.
Kegiatan webinar ini juga turut mengapresiasi partisipasi dan dukungan semua pihak, sehingga dapat berjalan dengan baik, terutama kepada Kominfo. Mengingat program literasi digital ini hanya akan berjalan dengan baik dan mencapai target 12,5 juta partisipan, jika turut didukung oleh semua pihak.