Hampir 60 persen orang Indonesia terpapar hoaks saat mengakses internet. Menurut perkiraannya, Indonesia menempati urutan kelima pengguna internet terbanyak setelah Filipina, Brazil, Thailand, dan Kolombia. Penetrasi internet Indonesia pada akhir Maret 2021 sebesar 76,8 persen dari total populasi. 

Menurut data Interworldstats, pengguna internet di Tanah Air mencapai 212,35 juta dengan estimasi total populasi sebanyak 276,3 juta jiwa. Bayangkan saja, dari angka yang besar itu, berarti ada sekitar 125 juta orang yang terpapar hoaks.

Menyikapi hal itu, Kominfo bekerja sama dengan Jaringan Pegiat Literasi Digital (Japelidi) dan Siberkreasi Gerakan Nasional Literasi Digital menggelar webinar dengan tajuk “Menjadi Netizen Pejuang, Bersama Lawan Hoaks”. Webinar yang digelar pada Kamis, 21 Oktober 2021, diikuti oleh sejumlah peserta secara daring. 

Dalam forum tersebut hadir Samuel Berrit Olam (Founder dan CEO PT Malline Teknologi Internasional), Supriyanto (Co-Founder PT Cazh Teknologi Inovasi), Kiai M Jadul Maula (Penulis dan Budayawan), Misbachul Munir (Enterpreneur dan Fasilitator UMKM Desa), dan Tyra Lundy (MC dan TV Presenter) selaku narasumber. 

Dalam pemaparannya, Samuel Berrit Olam menyampaikan bahwa pengguna medsos cenderung berinteraksi dengan orang yang memiliki ketertarikan yang sama. Dikaji dari studi kelas sosial, gelembung medsos tersebut mencerminkan gelembung “offline” sehari-hari. Kelompok tersebut kembali ke model lama, juga bertumpu pada opini pemimpin mereka yang memiliki pengaruh di jejaring sosial. 

Kabar bohong yang beredar di medsos menjadi besar ketika diambil oleh situs atau pihak terkemuka yang memiliki banyak pengikut. Kecepatan dan sifat medsos yang mudah dibagikan (shareability) berperan dalam penyebaran berita. Sebagaimana ditekankan oleh mantan Presiden Amerika Serikat, Barack Obama, menjadi sulit membedakan mana yang palsu dari fakta, dan sudah banyak bukti serta butuh perjuangan untuk menghadapi ini. 

“Media digital juga membuat lebih sulit untuk membedakan kebenaran konten. Berita online lebih sulit untuk dibedakan,” jelasnya.

Tyra Lundy selaku narasumber Key Opinion Leader juga menyampaikan bahwa dengan adanya kemajuan teknologi ini, negatifnya yaitu banyaknya penipuan, konten dewasa, dan berita palsu atau hoaks. Sedangkan positifnya akan semakin mudah mengakses informasi, dan dengan berbagai platform digital ini kita mudah untuk berkomunikasi dan bertemu dengan teman-teman secara virtual, serta bertransaksi bisnis. 

Kalau teknologi makin pintar kita juga harus makin pintar. Semua tergantung dengan kita. Kita harus paham dan bijak dalam menggunakan media digital. Penting kita memahami dalam menggunakan media digital agar kita pintar dalam penggunaanya dan memberikan informasi yang baik dan positif untuk orang banyak. 

Salah satu peserta bernama Kusuma Dewi menyampaikan, “Bagaimana penggunaan bahasa yang baik dan benar di dunia digital bagi pelajar, karena pelajar harusnya punya budaya tutur yang sopan dan santun? Namun, sebagai generasi muda pelajar ini mengikuti tren bahasa gaul, dan saya melihat sudah banyak penggunaan kata-kata gaul yang tidak menunjukkan budaya tutur yang sopan dan santun.”

Pertanyaan tersebut dijawab Kiai M Jadul Maula. “Bahasa yang baik itu yang paling penting saling paham, jadi terjadi komunikasi. Hal yang kedua adalah saling paham dan saling membahagiakan, tidak menyakiti ataupun menyinggung. Lalu dengan tata bahasa yang benar dan bagus, anak-anak perlu pemahaman literasi digital maka dari itu akan tumbuh budaya digital.”

Webinar ini merupakan salah satu rangkaian kegiatan literasi digital di Kota Jakarta Utara. Kegiatan ini pun terbuka bagi semua orang yang berkeinginan untuk memahami dunia literasi digital. Untuk itulah penyelenggara pada agenda webinar selanjutnya, membuka peluang sebesar-besarnya kepada semua anak bangsa untuk berpartisipasi pada webinar ini melalui akun Instagram @siberkreasi.dkibanten.

Kegiatan webinar ini juga turut mengapresiasi partisipasi dan dukungan semua pihak, sehingga dapat berjalan dengan baik, mengingat program literasi digital ini hanya akan sukses mencapai target 12,5 juta partisipan jika turut didukung oleh semua pihak yang terlibat. [*]