Tak dapat dimungkiri, perkembangan dunia digital telah menyasar ke segala sisi kehidupan. Saat ini, rasanya hampir tidak ada sisi kehidupan manusia yang tidak terpengaruh proses digitalisasi.

Namun, masih banyak pengguna internet yang hanya mampu menerima informasi tanpa kemampuan memahami dan mengolah informasi tersebut secara baik, sehingga masih banyak masyarakat terpapar oleh informasi yang tidak benar.

Menyikapi hal itu, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menggelar seri webinar literasi digital #MakinCakapDigital dengan tajuk “Melawan Toxic di Media Sosial”. Webinar yang digelar pada Rabu (14/7/2021) di Tangerang Selatan itu, diikuti oleh puluhan peserta secara daring.

Webinar ini mengundang narasumber dari berbagai bidang keahlian dan profesi, yakni Yossy Suparyo (Direktur Gedhe Nusantara), Ismita Saputri (Kaizen Room), Sigit Widodo (InternetDevelopment Institute), dan Anggun Puspitasari SIP MSi (Dosen Hubungan Internasional Universitas Budi Luhur Jakarta). Tema yang dibahas oleh masing-masing narasumber meliputi digital skills, digital ethics, digital culture, dan digital safety.

“Toxic”

Yossy Suparyo membuka webinar dengan mengatakan, toxic adalah istilah untuk seseorang yang “beracun”.

“Maksudnya adalah sifat pribadi yang suka menyusahkan dan merugikan orang lain, baik itu secara fisik ataupun emosional. Toxic tidak masuk dalam kategori gangguan kesehatan mental, tapi hampir semua dari toxic person memiliki riwayat stres dan trauma,” tuturnya.

Seseorang bisa dianggap menjadi racun ketika ia menebarkan sesuatu yang negatif ke lingkungan sekitarnya. Toxic person dapat ditemukan di media sosial maupun kehidupan nyata.

Adapun tanda-tanda toxic person seperti hanya mau senangnya saja, tidak memiliki empati dan simpati, sulit untuk meminta maaf, gemar mengontrol dan memanipulasi orang lain, mudah meremehkan dan merendahkan, merasa dirinya paling benar dan tidak konsisten.

“Literasi digital adalah kunci meskipun aturan dan sanksi telah tertera dengan jelas, jumlah peredaran konten negatif masih terus meningkat. Karena itu perlu dilakukan pendekatan dari sisi pengguna, yaitu dengan mengedukasi masyarakat secara aktif tentangliterasi digital,” ujar Yossy.

Menurutnya, masyarakat perlu didorong untuk menjadi kritis dalam menilai suatu informasi, agar informasi yang didapat berimbang, memberi feedback, memverifikasi kebenaran suatu berita sebelum membagikan informasi tersebut.

“Selain itu juga melaporkan konten informasi yang bersifat negatif. Kompetensi Literasi Digital harus bisa akses, paham, seleksi, distribusi, produksi, analisis, verifikasi, evaluasi, partisipasi, dan kolaborasi,” paparnya.

Etika digital

Ismita Saputri menambahkan, etika digital (digital ethics) adalah kemampuan individu dalam menyadari, mencontohkan, menyesuaikan diri, merasionalkan, mempertimbangkan dan mengembangkan tata kelola etika digital (netiket) dalam kehidupan sehari-hari.

Bahwa menggunakan media digital mestinya diarahkan pada suatu niat, sikap, dan perilaku yang etis demi kebaikan bersama. Demi meningkatkan kualitas kemanusiaan. Ruang lingkup etika ada kesadaran, integritas, kebajikan, dan tanggung jawab.

“Kita juga harus waspada terhadap hoaks dan cyberbullting. Hoaks adalah berita bohong atau hoaks adalah informasi yang sesungguhnya tidak benar, tetapi dibuat seolah-olah benar adanya. Bertujuan membuat kita merasa tidak aman, tidak nyaman, dan kebingungan,” jelasnya.

Dalam kebingungan, kita akan mengambil keputusan yang lemah, tidak meyakinkan, dan bahkan salah. Dampak dari penyebaran hoaks juga memicu perpecahan, memicu ketakutan, Menurunkan reputasi, membuat fakta menjadi sulit dipercaya, dan yang paling parah bisa saja memakan korban jiwa.

“Jadilah pengguna yang bijak dalam menggunakan sosial media dan jadilah pemutus konten negatif, sebarkan konten positif. Dalam hukum, seseorang dinyatakan bersalah ketika dia melanggar hak orang lain. Dalam Etika, seseorang sudah dianggap bersalah jika dia berpikir untuk melakukannya,” ungkap Ismita.

Sementara Sigit Widodo menjelaskan, toxic adalah bentuk tindakan negatif yang bisa memengaruhi kesehatan mental seseorang. Dapat berupa serangan secara fisik, psikologis, atau emosional.

Di media sosial

Toxic di media sosial seperti ujaran kebencian, SARA, dan hoaks, perundungan, ancaman dan persekusi, pornografi dan kekerasan. Mungkin media sosial bisa terbilang toxic dikarenakan media sosial dirancang untuk membuat penggunanya ketagihan,” ucapnya.

Ia menambahkan, platform media sosial membuat penggunanya mudah menyebarkan konten negatif. Menyebarkan misinformasi dan disinformasi lebih mudah ketimbang menyebarkan berita-berita yang sudah diperiksa kebenarannya.

Untuk melawan toxic di media sosial, masyarakat harus memiliki literasi digital dan literasi media dan memahami informasi yang dibaca dan disebarkannya, saring sebelum sharing.

“Dan awas jejak digital semua yang kita kirimkan ke jaringan publik harus dianggap tidak bisa dihapus. Semua hal dalam bentuk digital dapat dengan mudah disalin dan disebarkan, sehingga jejak digital akan terekam di banyak tempat. Jejak digital di internet abadi selama internet masih ada,” paparnya.

Sebagai pembicara terakhir, Anggun Puspitasari mengatakan, kasus toxic media sosial ini banyak terjadi seperti salah satunya kepada para artis, influencer atau bahkan diri kita sendiri. Mereka mendapatkan body shimming, mom shamming atau yang lainnya.

“Bahkan disini kita secara tidak sadar sering melakukan cyberbullying yang niatnya hanya sekedar mengingatkan. Tapi yang diingatkan atau yang menerimanya lain persepsinya, bahwa yang menerimanya itu adalah sebuah bullying,” ucapnya.

Ingat bahwa kita mempunyai UU ITE, bahwa hoaks bisa terkena pasal 24 body shamming juga kena pasal dan semuanya ada hukumannya. Ada yang berupa link aduan, atau ada yang bisa melaporkan terlebih dahulu dan ada juga yang berupa kriminalitas.

“Jangan takut untuk mute, unfollow, block, laporkan. Jika masih kategori yang masih bisa ditolerir bisa untuk kita mute saja, tapi jika sudah sangat mengganggu sekali kita bisa unfollow, bisa blok atau sudah sangat mengancam bisa saja laporkan jangan takut untuk melaporkan karena sekali lagi kita dilindungi UU ITE,” katanya.

Melawan toxic di media sosial dimulai dari diri sendiri yang pertama utamakan hanya memfollow akun-akun verified di media sosial, kedua hati-hati dengan alter account, fake account, non-personal account.

“Lalu, biasakan untuk tidak memposting secara real time dan memilih untuk memposting late post untuk kegiatan berpegian. Keempat, batasi sharing kontak pribadi atau kegiatan kehidupan pribadi. Kamu dapat mengabaikan semua pesan dari toxic people atau gunakan fitur Restrict atau Batasi,” pungkasnya.

Dalam webinar ini, para partisipan yang hadir juga dipersilahkan untuk mengutarakan pertanyaan dan tanggapan. Salah satu peserta bernama De Andra mengatakan, bahwa dirinya punya beberapa saudara yang kriterianya sesuai dengan toxic.

Lalu, bagaimana agar saudaranya bisa lepas dari label toxic? “Kita harus sertakan cinta dan empati kesiapapun. Entah dari keluarga, teman. Karena apapun yang disampaikan dengan hati pasti pasti akan tersampaikan,” jawab Yossy.

Webinar ini merupakan salah satu rangkaian kegiatan literasi digital di Tangerang Selatan. Kegiatan ini pun terbuka bagi semua orang yang berkeinginan untuk memahami dunia literasi digital. Untuk itulah penyelenggara pada agenda webinar selanjutnya, membuka peluang sebesar-besarnya kepada semua anak bangsa untuk berpartisipasi pada webinar ini melalui Instagram @siberkreasi.dkibanten.

Kegiatan webinar ini juga turut mengapresiasi partisipasi dan dukungan semua pihak, sehingga dapat berjalan dengan baik, terutama kepada Kominfo. Mengingat program literasi digital ini hanya akan berjalan dengan baik dan mencapai target 12,5 juta partisipan, jika turut didukung oleh semua pihak.