Kemenko Perekonomian selaku koordinator penyusunan Peraturan Pelaksanaan UU Cipta Kerja menerima banyak aspirasi dan masukan masyarakat, pelaku usaha, dan pemangku kepentingan yang di antaranya adalah kalangan akademisi dan praktisi hukum. Pemerintah juga melibatkan tokoh-tokoh nasional beserta sejumlah ahli dan pakar agar dapat menyerap dengan baik aspirasi masyarakat yang terkait dengan berbagai isu dalam Peraturan Pelaksanaan UU Cipta Kerja ini.
Sesuai arahan Presiden Jokowi, Menko Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto pun menegaskan, “Pemerintah sejak awal telah membuka dan menyediakan empat kanal utama bagi masyarakat luas untuk memberikan masukan dan menyampaikan aspirasi, yaitu melalui Portal dan Posko UU Cipta Kerja, Tim Serap Aspirasi (TSA), Acara Serap Aspirasi, serta melalui Surat Resmi ke Kemenko Perekonomian dan Kementerian/Lembaga terkait.”
Masukan dan aspirasi
Adapun jumlah masukan yang diterima melalui keempat kanal utama tersebut hingga 25 Januari 2021 tercatat sebagai berikut.
(a) Melalui Portal UU Cipta Kerja dan Posko Cipta Kerja sebanyak 112 masukan melalui web-form, 48 melalui e-mail, dan akses ke Portal (hits) sebanyak 4,88 juta pengakses;
(b) Masukan melalui Acara Serap Aspirasi yang dilakukan secara tatap muka (luring/offline) di 15 daerah seluruh Indonesia, dengan mencatat masukan sebanyak 38 berkas masukan;
(c) Aspirasi dan masukan melalui Tim Serap Aspirasi (TSA) yang menampung, membahas, dan memberikan rekomendasi sebanyak 227 berkas masukan;
(d) Melalui Surat Resmi ke Kemenko Perekonomian maupun ke Kementerian dan Lembaga terkait, sebanyak 72 berkas masukan.
“Semua aspirasi dan masukan tersebut telah ditindaklanjuti oleh Kementerian dan Lembaga (K/L) yang bertanggung jawab di sektor teknis, bersama dengan Tim Teknis di Kemenko Perekonomian, serta dari Kemenkumham, Setneg dan Setkab dalam proses harmonisasinya,” tegas Menko Airlangga.
Peraturan pelaksanaan UU Cipta Kerja ini semakin mengukuhkan tujuan utama pembuatan UU Cipta Kerja, sebagai bentuk Reformasi Regulasi dan upaya Debirokratisasi, agar dapat mendorong terciptanya layanan pemerintahan yang lebih efisien, mudah, dan pasti, dengan penerapan norma, standar, prosedur dan kriteria (NSPK Berbasis Resiko).
Fokus UU Cipta Kerja
Fokus UU Cipta Kerja salah satunya adalah mengenai peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha. Karenanya, UU ini mengubah pendekatan kegiatan berusaha dari berbasis izin ke basis risiko atau Risk Based Approach (RBA) yang bertujuan:
(a) Pelaksanaan penerbitan Perizinan Berusaha secara lebih efektif dan sederhana; dan
(b) Pengawasan terintegrasi kegiatan usaha yang transparan, terstruktur, dan dapat dipertanggungjawabkan.
RBA memiliki prinsip dasar Closed list. Artinya seluruh Perizinan Berusaha yang diberlakukan harus mengacu kepada PP, tidak dimungkinkan untuk menambah jenis Perizinan Berusaha baru. Selain itu, jika Pemerintah tidak mengeluarkan Perizinan Berusaha dalam jangka waktu yang telah ditetapkan, maka Perizinan Berusaha otomatis terbit.
Adapun cakupan kegiatan berusaha mengacu ke Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) Tahun 2020. Hasil RBA atas 18 sektor kegiatan usaha (1.531 KBLI) sebanyak 2.280 tingkat risiko:
- Risiko Rendah (RR): 707 (31 persen)
- Risiko Menengah Rendah (RMR): 458 (20 persen)
- Risiko Menengah Tinggi (RMT): 670 (29 persen)
- Risiko Tinggi (RT): 445 (20 persen)
Dengan demikian, bagi pelaku usaha yang termasuk kategori Risiko Rendah (RR) perizinan berusahanya adalah Nomor Induk Berusaha (NIB). Sementara kategori Risiko Menengah Rendah (RMR) perizinan berusahanya adalah NIB dan Sertifikat Standar (dalam bentuk pernyataan mandiri). Adapun kategori Risiko Menengah Tinggi (RMT), perizinan berusahanya adalah NIB dan Sertifikat Standar (verifikasi). Terakhir, kategori Risiko Tinggi (RT) perizinan berusaha adalah NIB dan Izin (Verifikasi). Reformasi yang dilakukan ini baru langkah awal. Selanjutnya, reformasi perizinan berusaha masih akan terus dilakukan Pemerintah demi penyediaan lapangan kerja dan kemudahan berusaha. [*]