Pada masa pandemi Covid-19, orangtua memiliki peran yang lebih banyak dibanding sebelumnya. Pendidikan formal pada masa normal hampir seluruhnya menjadi tanggung jawab guru, saat pandemi turut menjadi tanggung jawab orangtua. Mendadak menjadi “guru”, ada berbagai reaksi yang ditunjukkan orangtua antara lain tidak mau karena sibuk, enggan, terpaksa, mau menjadi guru tetapi tidak mengerti apa yang harus dilakukan, dan ada yang menikmati bisa mendampingi anak belajar. Bagi yang sibuk, yang enggan, dan yang terpaksa menjadi guru di rumah akan mengalami ketidaknyamanan secara psikologis. Hasil survei yang dilakukan secara acak pada 184 responden ibu dari anak usia dini menunjukkan kesulitan yang dirasakan ibu dalam mengajarkan anak di rumah, antara lain lebih dari setengahnya tidak mengetahui target pembelajaran, hampir setengahnya tidak mengerti metode mengajarkan anak, kemudian lebih dari sepertiganya membutuhkan skill parenting.
Ketidaknyamanan ibu mendampingi anak dalam belajar di rumah tentu akan berdampak pada anak. Jika anak sering mendapat ancaman, takut, dan cemas, hal ini dapat memengaruhi perkembangan aspek kepribadian. Anak yang banyak cemas dan takut bisa tumbuh menjadi kurang percaya diri dan tidak berani mencoba serta akan sulit mengembangkan kreativitasnya. Anak bisa tumbuh menjadi pribadi yang egois, keras kepala, dan sulit menerima masukan dari orang lain karena anak ingin melindungi dirinya dengan cara berontak. Ibn Qayyim al-Jawziyyah dalam Kitab Tuhfat al-Maudud (1391) menyatakan, “anak yang dibiasakan dengan orangtua dan pengasuh yang pemarah, keras kepala, tidak sabar dan selalu tergesa-gesa, menuruti hawa nafsu, gegabah, serta rakus, sifat itu akan terbentuk pada anak dan akan sulit diubah pada masa dewasanya.”
Anak yang sering dimarahi bisa tumbuh menjadi anak yang kasar dan menentang, karena secara psikologis kebutuhan rasa aman, rasa cinta, dan harga tidak terpenuhi (Teori Kebutuhan Maslow). Kekurangan cinta dan kasih sayang dari significant other (orang terdekat) oleh William Glaser dipandang sebagai penyebab utama munculnya berbagai permasalahan sosio-emosional dan berdampak pada ketidakbahagiaan. Anak yang sering dimarahi tidak berani berterus terang, cenderung tertutup, dan dapat memicu anak untuk tidak jujur. Stres pada anak bisa bersumber dari kekerasan fisik maupun kekerasan verbal yang dilakukan orangtua. Selain itu, kedua orangtua adalah teladan utama anak, maka cara ibu atau ayah mengekspresikan emosi akan dicontoh anak dan akan dipraktikkan ketika anak bersosialisasi dengan anak lain.
Masa pandemi, bagaimana seharusnya sikap orangtua?
Orangtua dan terutama ibu perlu menyadari kondisi emosinya sendiri dan kecenderungan dalam meluapkan emosi, kemudian berlatih mengendalikan emosi. Dalam hal ini, praktik positive parenting dapat menjadi acuan. Positive parenting merupakan bentuk interaksi ibu dan anak yang membelajarkan, membimbing, mengasuh, dan mengarahkan berbasis pengetahuan mendidik anak, membangun komunikasi efektif, serta memenuhi kebutuhan anak secara konsisten tanpa prasyarat (Seay et al, 2014). Positive parenting menggambarkan kepekaan ibu dalam menanggapi perilaku anak berbasis pengetahuan, bukan asal mengatur anak. Orangtua menciptakan kehangatan dan meminimalkan kekerasan dalam mendisiplin anak, memberikan rasa aman, memahami, mendengarkan, dan membuat aturan yang jelas dan konsisten dalam mendisiplin anak. (Seay, et al, 2014) Untuk mempraktikkan pengasuhan positif, orangtua perlu memahami perkembangan anak sesuai tahap usia. Pada masa pandemi, ibu yang bekerja dan ibu rumah tangga memiliki waktu lebih banyak bersama anak tentu merupakan kesempatan “emas” berbahagia bersama. (Dr Erhamwilda MPd, Ketua Prodi PGPAUD FTK Unisba)
Menghasilkan sarjana yang berkarakter 3M (Mujahid, Mujtahid dan Mujaddid). Situs web: https://www.unisba.ac.id