Tak dapat dimungkiri, perkembangan dunia digital telah menyasar ke segala sisi kehidupan. Saat ini, rasanya hampir tidak ada sisi kehidupan manusia yang tidak terpengaruh proses digitalisasi.

Namun, masih banyak pengguna internet yang hanya mampu menerima informasi tanpa kemampuan memahami dan mengolah informasi tersebut secara baik, sehingga masih banyak masyarakat terpapar oleh informasi yang tidak benar.

Menyikapi hal itu, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menggelar seri webinar literasi digital #MakinCakapDigital dengan tajuk “Bijak Bermedia Sosial: Jangan Asal Sebar di Internet”. Webinar yang digelar pada Rabu (28/7/2021) di Tangerang Selatan, diikuti oleh puluhan peserta secara daring.

Webinar ini mengundang narasumber dari berbagai bidang keahlian dan profesi, yakni Zahid Asmara (Art Enthusiast), Abdul Rohman (Direktur Buku Langgar), Achmad Uzair (Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta), dan Maryam Fithriarti, MSW (Co-Founder Pitakonan Studio & Management Pegiat Literasi Komunitas). Tema yang dibahas oleh masing-masing narasumber meliputi digital skills, digital ethics, digital culture, dan digital safety.

Olah informasi

Zahid Asmara membuka webinar dengan mengatakan, ada beberapa cara kita mengolah, baik itu mengonsumsi atau memproduksi, informasi di media sosial.

“Dari kerangka berpikirnya awalnya bisa dilihat dari dialektika di dunia media sosial sangat dianjurkan dan memang by design seperti itu yang di mana ada kolom komentar, caption, like, share. Dialektika merujuk kepada sebuah kemampuan atau kecakapan kita saling toleran terhadap pendapat orang lain,” ungkapnya.

Ia menambahkan, kunci penting di sini sudah pasti pendidikan, agar tidak terjebak-terjebak pada isu, pendidikan juga memebuat kita berwawasan luas. Langkah-langkah untuk kita mendapatkan kesempatan dalam mengunggah untuk menjadi kreator atau mengekspresikan gagasannya yang tentunya harus literasi, kreatif, dan berkolaborasi.

Abdul Rohman menambahkan, memahami realitas digital secara utuh adalah kunci bijak bertanggung jawab di media sosial. Sebab, ruang digital saat ini menjadi dunia baru, yang berusaha menyerap aktivitas manusia, dari realitas konkret ke dunia maya, bahkan sekarang muncul istilah hiper-realita.

“Hal ini tanpa disadari mempengaruhi aktivias kemanusiaan kita, baik dengan diri sendiri maupun manusia lain di sekitar kita. Terutama ketika bermedia sosial. Kecepatan dan kebebasan yang ditawarkan seringkali, membuat otomatisasi sehingga membuat hilangkan nilai-nilai kemanusiaan,” katanya.

Ia menambahkan, sebagai manusia yang hidup berdampingan dengan dunia digital, kita harus bisa memosisikan diri, kapan saatnya kita berinteraksi di media sosial, kapan pula waktunya bersentuhan secara langsung dengan realitas nyata.

“Transformasi era digital menjadi fakta baru yang tak mungkin bisa kita hindarkan. Tapi yang perlu kita renungkan adalah bagaimana caranya ruang digital ini tidak mereduksi nilai-nilai manusia dalam berinteraksi sosial. Terutama bersikap bijak, tanggung jawab di tengah ruang kebebasan di media sosial,” paparnya.

Gegar budaya

Achmad Uzair turut menjelaskan, transformasi budaya bisa berujung pada gegar budaya. Perilaku yang kurang beradab dalam bermedia sosial seperti hoaks, bullying, ujaran kebencian, sengaja memancing kemarahan, hingga pelecehan terhadap kelompok marginal.

“Hoaks terdiri dari misinformasi (informasi salah namun tidak sengaja dibuat untuk timbulkan kekacauan), disinformasi (salah dan sengaja disebarluaskan untuk mengacau) dan malinformasi (peristiwa benar terjadi namun dipelintir untukk buat kekacauan),” jelasnya.

Pemahaman bahwa masing-masing individu memiliki tanggung jawab untuk melindungi kebebasan yang diperoleh, dengan mengakui bukan hanya perilaku kita akan berdampak pada orang lain, tetapi juga bagaimana kita perlu mendorong, mengedukasi, mendukung dan memberdayakan orang-orang yang menjadi mitra komunikasi online kita.

Sebagai pembicara terakhir, Maryam Fithriarti menjelaskan, efek buruk media sosial bagi kesehatan mental yakni seperti merasa tidak aman dan tidak percaya diri, kecemasan sosial, mudah lelah dan stres, tekanan emosi tersembunyi, dan tekanan sosial dari lingkaran teman dekat.

“Jika tidak bijak dan cerdas dalam bermedia sosial, berakibat kepada kesehatan terganggu, mental terpengaruh (kecanduan), menimbulkan perpecahan dan pertikaian, salah faham infomasi (hoaks), dan potensi menjadi korban kejahatan siber,” pungkasnya.

Dalam sesi KOL, Ramadhinisari mengatakan, kalau berita tersebar tanpa filter, sebagai penerima informasi alangkah baiknya kita mencerna, dan saring dahulu informasinya.

“Sebagai netizen, pengguna media digital atau sosial media harus paham betul cara kerjanya, jangan terpengaruh dengan hal-hal yang memprovokasi, kita juga harus jadi netizen yang pintar,” katanya.

Dalam webinar ini, para partisipan yang hadir juga dipersilahkan untuk mengutarakan pertanyaan dan tanggapan. Salah satu peserta bernama Utanto menanyakan, saat ini kebanyakan orang tidak memikir terlebih dahulu sebelum share dan posting. Lalu, bagaimana menumbuhkan kesadaran tersebut?

“Kita harus berpikir kalau ingin share kita harus saring terlebih dahulu, salah satunya kita bisa dengan prinsip. Jika kita tidak ingin diganggu orang lain jangan menggangu orang, kalau kita tidak ingin mendapatkan masalah kita jangan mengshare konten-konten yang buruk. Jika kita mengshare sebuah konten yang membahayakan orang lain, kita harus menerima konsekuensi,” jawab Maryam.

Webinar ini merupakan salah satu rangkaian kegiatan literasi digital di Tangerang Selatan. Kegiatan ini pun terbuka bagi semua orang yang berkeinginan untuk memahami dunia literasi digital. Untuk itulah penyelenggara pada agenda webinar selanjutnya, membuka peluang sebesar-besarnya kepada semua anak bangsa untuk berpartisipasi pada webinar ini melalui Instagram @siberkreasi.dkibanten dan @siberkreasi.

Kegiatan webinar ini juga turut mengapresiasi partisipasi dan dukungan semua pihak, sehingga dapat berjalan dengan baik, terutama kepada Kominfo. Mengingat program literasi digital ini hanya akan berjalan dengan baik dan mencapai target 12,5 juta partisipan, jika turut didukung oleh semua pihak.