Isu-isu tentang new normal akhir-akhir ini sangat hangat dalam wacana publik. Ini terutama apabila berdiskusi bagaimana kita semua menghadapi pandemi Covid-19. Berbagai komentator melalui media massa maupun media sosial berkomentar sesuai dengan pemahaman dan kepentingan masing-masing dan bahkan beberapa menjurus sesuai dengan kepentingan politik masing-masing sehingga pemahaman masyarakat tentang new normal menjadi sangat bias.
Menjadi sangat menarik karena yang menyampaikan adalah tokoh-tokoh politik, apalagi istilah tersebut relatif baru di masyarakat awam. Apabila kita maknai, apa sebenarnya pemahaman new normal sebagai sebuah keadaan tertentu dari perubahan-perubahan alam ataukah sebuah kebijakan publik?
Menurut M Sasmito Djati selaku Guru Besar Biologi Molekuler FMIPA Universitas Brawijaya, new normal pada hakikatnya satu keadaan dinamika alamiah biasa ketika alam ini mengalami tekanan atau ketidaksetimbangan akibat bencana alam, wabah, atau tekanan lain yang mengubah suatu kesetimbangan alam.
Ketika mengalami tidak setimbangan, alam secara alamiah berusaha untuk mencapai keadaan kesetimbangan lagi, yaitu berupa kesetimbangan baru. Hal ini sudah merupakan hukum alam biasa dan pasti terjadi di alam ini. Sebenarnya, tanpa kebijakan apa pun oleh penguasa suatu negara ataupun dunia, kesetimbangan baru pasti terjadi.
Di dalam ilmu biologi, kesetimbangan alam ini sering disebut homeostatis. Homeostatis ini merupakan dinamika kesetimbangan alam yang berlangsung secara terus-menerus, sampai terjadi kiamat. Peristiwa homesostatis selalu terjadi, baik di makro environmental seperti jagat raya maupun mikro environmental dalam tubuh manusia.
Pada tubuh manusia, ketika sakit, pada prinsipnya, tubuh manusia mengalami tekanan yang diakibatkan sakit tersebut. Tubuh kita secara alamiah berusaha melakukan penyembuhan diri sendiri, dengan berbagai cara. Antara lain, bila sakitnya berupa penyakit infeksi, sistem kekebalan (imun sistem) tubuh kita akan bekerja keras untuk menjaga dan mempertahankan diri manusia yang sakit tersebut, sampai akhirnya manusia yang sakit tersebut sehat kembali.
Sehat kembali itu berarti si penderita dapat hidup secara normal kembali, hidup normal kembali tersebut merupakan kesetimbangan baru, dalam tubuhnya. Dapat dijelaskan menurut hukum kesetimbangan alam dan kekekalan energi yaitu termodinamika I dan II, yang alam selalu terjadi perubahan-perubahan energi dalam setiap perubahan energi selalu diikuti dengan kesetimbangan baru. Hukum termodinamika ini merupakan “Grand Theori”.
Sampai hari ini, dalam dunia sains dan para ilmuwan belum ada yang bisa membantahnya serta berlaku di seluruh jagat raya ini, tidak ada satu makhluk pun yang bisa lepas dari hukum ini.
Kesetimbangan baru ini yang akhir-akhir ini diistilahkan dengan new normal, yang apabila kehidupan manusia yang sebelum terjadinya pandemi Covid-19 adalah sebuah fenomena kesetimbangan yang kalau kita anggap sebagai kehidupan normal, maka setelah manusia banyak melakukan usaha-usaha menanggulangi wabah ini dengan cara fully lock down atau partially lock down, atau kalau di Indonesia sering disebut PSBB, seharusnya hasilnya adalah penurunan jumlah pasien positif Covid-19.
Hampir semua negara di dunia ini, menggunakan dua metode ini untuk mencoba menanggulangi pandemi Covid-19, termasuk negara kita, Indonesia. Ketika manusia melakukan kebijakan fully atau partially lock down, kebijakan ini ibarat ketika terdapat manusia sedang sakit, diserang penyakit infeksi, lalu datang ke dokter. Kemudian dokter melakukan tindakan dengan mengobati pasien dengan cara mengurangi gejala sakit dari pasien, tetapi belum menyembuhkan pasien agar pasien bisa merasa nyaman dan melakukan aktivitas-aktivitas kesehariannya. Namun, sayangnya, dokter memang belum tahu obatnya apa?
Pertanyaan sederhana, mengapa manusia belum menemukan obat atau vaksinnya? Seperti kita semua ketahui bahwa Covid-19 pada prinsipnya adalah new emerging disease, semua ahli virologi tahu bahwa Covid-19 adalah mutan dari virus korona, yang di alam ini sudah ada lebih dari 30 spesies dari family virus ini.
Virus ini merupakan mutan dari virus korona yang host-nya adalah kelelawar dan virus ini dapat hidup di induk semang baru yaitu manusia. Karena virus ini merupakan virus spesies baru, pada hakikatnya, manusia tidak tahu apa-apa tentang virus ini. Teori-teori yang digunakan pada prinsipnya adalah teori umum tentang virus korona bukan teori khusus tentang Covid-19. Meskipun ada sebagian teori umum ini benar, tidak semuanya bisa digunakan untuk Covid-19 ini.
Para ilmuwan epidemiologi mencari jawaban bagaimana transmisi virus Covid-19 ini menyebar. Ada beberapa peneliti yang mengatakan bahwa tersebarnya melalui liquid droplets penderita, ada juga yang melalui aerosol dan bahkan ada yang mengatakan airborne, tetapi akhirnya WHO mengumumkan kalau transmisinya melalui liquid droplets bukan airborne. Pengumuman ini sudah dilakukan melalui penelitian.
Teori tentang social distancing adalah hasil penelitian berdasarkan virus-virus korona yang lama, sampai hari ini dianggap paling benar, komunikasi masyarakat harus dijaga jaraknya, untuk mengurangi transmisi Covid-19. Sedangkan teori yang lain, ternyata virus ini bisa hidup lepas dari induk semangnya 8–9 jam di berbagai media, misalnya kayu, logam, dan plastik, sehingga keluarlah teori clean life.
Persoalan lain adalah sistem kekebalan tubuh manusia tidak sama dalam menghadapi virus ini. Di dalam tubuh manusia, ada dua sistem kekebalan tubuh, yaitu innate immunity dan adaptive immnunity. Sistem ini sebenarnya merupakan ekspresi protein dan menurut para ilmuwan semua ekspresi protein adalah adanya faktor genetis.
Akhirnya, ada teori herd immunity karena faktor genetis itu pasti berbeda pada setiap bangsa dan ras manusia. Belum lagi faktor iklim rupanya virus ini tidak terlalu tahan dengan suhu tinggi dan sinar UV sehingga sempat beberapa pemimpin sangat percaya diri bahwa di Indonesia Covid-19 tidak akan berkembang pesat.
Meskipun kemungkinan teori faktor iklim ini ada benarnya, ini terbukti Indonesia belum menjadi episentrum penyebaran Covid-19 ini (dan mudah-mudahan tidak). Namun, virus ini ternyata juga menyebar di seluruh Indonesia. Pada hari ini pun, Amerika Serikat yang merupakan episentrum penyebaran Covid-19 sudah memasuki musim panas, tetapi penyebarannya juga masih tinggi.
Fenomena-fenomena tersebut di atas menunjukkan bahwa Covid-19 memang sulit diatasi, apalagi obat Covid-19 masih menjadi polemik ilmuan. Beberapa ilmuwan juga telah membatalkan hasil publikasi obat anti-Covid-19 yaitu hidroksi kloroquin untuk pengobatan Covid-19 karena sangat berbahaya bagi pasien. Sementara itu, pembuatan vaksin memerlukan waktu yang lama. Bahkan, Sasmito ragu apakah para peneliti dapat membuat vaksin Covid-19 karena ternyata beberapa pasien mengalami infeksi Covid-19 setelah sembuh bisa terkena kedua kalinya.
Hasil pengamatan ini menunjukkan bahwa Covid-19 merupakan virus yang apabila tubuh manusia terinfeksi virus tersebut, tubuh manusia tidak dapat membentuk sel T memori, seperti beberapa virus yang lain. Kalau tubuh tidak dapat membuat sel T memori, pekerjaan membuat vaksin adalah perbuatan sia-sia.
Di alam ini, sudah banyak virus yang tidak dapat membuat tubuh yang terinfeksi untuk membuat sel T memori, yaitu virus HIV, virus BDB. Kalaupun ditemukan vaksin, Indonesia harus hati-hati apabila ada negara yang menawarkan vaksin tersebut karena sampai hari ini, sudah lebih dari 5 strain dari Covid-19 yang berkembang di dunia.
Strain yang ada di Wuhan sudah berbeda dengan strain yang pada saat ini dan menjadi strain yang ada di episentrum Covid-19 dunia yaitu di Amerika Serikat. Masing-masing strain belum tentu cocok dengan strain yang lain untuk dijadikan vaksin. Apalagi menurut Sasmito, faktor ekonomi pasti akan menjadi motivasi dari para produsen vaksin. Sedangkan sampai hari ini, masih belum ditemukan obat efektif untuk mengatasi Covid-19 ini.
Dari uraian di atas, peluang untuk mengakhiri pandemi Covid-19 ini memerlukan jangka waktu yang panjang. Padahal, kehidupan manusia harus berlangsung terus. Apalagi dalam sektor ekonomi, hampir semua negara mengalami dampak ekonomi yang luar biasa akibat pandemi ini. Untuk itulah manusia harus bersiap menghadapi kondisi kesetimbangan baru, yaitu hidup berdamai dengan Covid-19, setelah beberapa negara melakukan fully lockdown atau partially lockdown (PSBB).
Pertanyaannya kapan suatu negara atau pemerintahan melakukan kebijakan new normal ini? Ini pertanyaan penting yang dijawab dengan hati-hati, mengingat apabila kita membuka kembali kebijakan fully atau partially lockdown, bukan tidak mungkin akan ada gelombang kedua pandemi Covid-19. Ada beberapa metode sebenarnya untuk memutuskan kapan lockdown dibuka kembali.
Menurut Sasmito, ada paper yang cukup menarik untuk dijadikan referensi pemikiran kebijakan pemerintah untuk memutuskan, yaitu hasil riset yang dilakukan oleh Tomas Pueyo yang diterbit awal 2020 ini dengan judul “Hammer and Dancing”.
Paper ini telah dibaca puluhan juta pembaca, yaitu setelah pemerintah melakukan tindakan fully/partially lockdown penurunan jumlah positif Covid-19 turun drastis terutama di negara Italia, Inggris, Jerman, Korea Selatan, dan Jepang, tetapi setelah itu, ada kecenderungan data naik turun istilah Tomas Pueyo datanya seperti “dancing”. Namun, sebenarnya data ini cukup menarik untuk dikaji, kapan sebenarnya kita bisa memutuskan kapan kebijakan new normal bisa dilakukan.
Grafik Tomas Pueyo tersebut bisa dijadikan grafik model acuan sebagai berikut, yaitu apabila telah ada fenomena penurunan pasien positif Covid-19 seperti gambar tersebut sampai titik terendah, akhirnya meskipun masih ada penderita, titik ini dapat digunakan sebagai acuan kebijakan pra new normal, yaitu lockdown jangan dibuka dahulu sampai 2 x 14 hari. Masa inilah yang disebut dancing oleh Tomas Pueyo.
Grafik ini sebetulnya naik turun dalam posisi tetap rendah, selama 2 x 14 hari apabila masih dalam titik-titik naik turun, tetapi perbedaannya tidak mencolok. Kita dapat menyimpulkan, masyarakat sudah adaptasi dengan pola hidup bersama dengan Covid-19, seperti bagaimana implementasi social distancing, pola hidup aseptis. Masyarakat dengan budaya semacam ini menurut Sasmito sudah siap menjalani hidup dalam kondisi new normal. Kondisi semacam ini dapat digunakan pemerintah untuk menerapkan kebijakan new normal.
Dimulailah persiapan pelonggaran-pelonggaran kebijakan fully/partially lockdown dilakukan sambil membuat protokol-protokol kesehatan yang ketat di semua area kehidupan, maka akan terjadi peradaban baru dengan kebiasaan-kebiasaan baru sampai masyarakat menunggu kerja-kerja para ilmuwan untuk menghasilkan hasil-hasil risetnya baik berupa vaksin atau obat anti-Covid-19. New normal merupakan peradaban baru dengan didukung budaya Revolusi Industri 4, akan terlahir generasi X yaitu generasi milenial Covid-19 yang benar-benar mengubah perilaku, pandangan hidup dan tata cara berkomunikasi antara manusia, beribadah, berdagang, pendidikan, serta kegiatan ekonomi.
Manusia seharusnya mulai menyadari tentang makna kehidupan karena ternyata makhluk yang mahakecil karena ukuran diameternya hanya berkisar kurang dari 100 mikron, ternyata mempunyai kekuatan dahsyat. Bahkan, lebih dahsyat dari perang mengerikan di Suriah yang berlangsung 9 tahun dengan korban lebih dari 250.000 umat manusia. Sementara itu, pandemi Covid-19 ini belum berlangsung 1 tahun telah membunuh lebih dari 400.000 orang yang menyebar ke seluruh dunia. Bahkan, tidak peduli di negara-negara maju, seperti Jepang, Jerman, dan Amerika Serikat, secara bergantian menjadi episentrum.
Sekarang, apabila pemerintah tidak dengan hati-hati memutuskan sebuah kebijakan yang disebut new normal dan kesadaran masyarakat kurang paham atas bahaya penyebaran virus ini, peluang terjadinya gelombang kedua pandemi Covid-19 ini sangat besar. Pemerintah dan masyarakat harus bersama-sama bahu membahu melalui program fully lockdown atau partially lockdown, dan hasil program dievaluasi secara hati-hati dengan indikator penurunan jumlah penderita Covid-19 sampai titik terendah meski sulit sampai titik nol, dan terjadi perkembangan yang steady (terjadi kesetimbangan).
Setelah itu, mulailah disiapkan pelonggaran-pelonggaran tetapi diikuti protokol-protokol ketat sehingga kebijakan new normal bisa diterapkan dengan terus-menerus dijaga grafiknya. Bila terjadi kenaikan yang tajam kembali, perlu adanya upaya kebijakan lockdown kembali karena dengan kebijakan semacam ini peluang terjadinya gelombang kedua pandemi Covid-19 semakin kecil, sambil menunggu penemuan obat anti-Covid-19. Mari, kita berdoa mudah-mudahan para peneliti secepatnya dapat menemukan obat anti-Covid-19 ini. [AYA]