Tak dapat dimungkiri, perkembangan dunia digital telah menyasar ke segala sisi kehidupan. Saat ini, rasanya hampir tidak ada sisi kehidupan manusia yang tidak terpengaruh proses digitalisasi.
Namun, masih banyak pengguna internet yang hanya mampu menerima informasi tanpa kemampuan memahami dan mengolah informasi tersebut secara baik, sehingga masih banyak masyarakat terpapar oleh informasi yang tidak benar.
Menyikapi hal itu, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menggelar seri webinar literasi digital #MakinCakapDigital dengan tema “Bijak Bermedia Sosial: Jangan Asal Sebar di Internet”. Webinar yang digelar pada Senin (4/10/2021) di Kota Tangerang, diikuti oleh puluhan peserta secara daring.
Webinar ini mengundang narasumber dari berbagai bidang keahlian dan profesi, yakni Aina Masrurin – Media Planner Ceritasantri.id, Abdul Rohman – Direktur Buku Langgar, Rusman Nurjaman – Peneliti Lembaga Administrasi Negara dan Imam Wicaksono – Praktisi Pendidikan.
Percaya hoaks
Tema yang dibahas oleh masing-masing narasumber meliputi digital skills, digital ethics, digital culture, dan digital safety. Aina Masrurin membuka webinar dengan mengatakan, dalam hal membaca berita, sebanyak 95 persen orang Indonesia mengaksesnya lewat ponsel.
“Biasanya informasi berita itu diperoleh dari orang yang yang dapat dipercaya, mengira bermanfaat, mengira berita tersebut benar, ingin menjadi yang pertama memberitahu, iseng meneruskan agar heboh,” tuturnya.
Menurutnya, orang bisa mudah percaya berita palsu disebabkan karena kurangnya literasi, mencengangkan, terus disebar, bias konfirmasi, resistensi pada kebenaran. Maka diperlukan kecakapan digital, yakni kemampuan individu dalam mengetahui, memahami, dan menggunakan perangkat keras dan piranti lunak TIK serta sistem operasi digital.
Adapun 4 ciri hoaks menurut Kominfo yakni sumber informasi tidak jelas, pesan tidak mengandung unsur 5W+1H, disebarluaskan semasif mungkin, hoaks diproduksi untuk menyasar kalangan tertentu.
Abdul Rohman menambahkan, ruang digital (dunia maya) adalah realitas kebudayaan baru yang seharusnya tidak merubah kehidupan kita di dunia nyata. “Kurangnya pemahaman atas penggunaan informasi digital secara bijak, dalam kerangka nasionalisme kita akan dipecah belah karena terjadi polarisasi sosial di tengah masyarakat,” katanya.
“Maka diperlukan etika digital, yakni kemampuan individu dalam menyadari, mencontohkan, menyesuaikan diri, merasionalkan, kemudian mempertimbangkan dan mengembangkan tata kelola etika/sikap dalam kehidupan sehari-hari di ruang digital. Era digital seharusnya berada di genggaman untuk kita kendalikan, bukan kita yang sebaliknya dikendalikan,” paparnya.
Rusman Nurjaman menjelaskan, sebagai warga negara digital, tiap individu memiliki tanggung jawab (meliputi hak dan kewajiban) untuk melakukan seluruh aktivitas bermedia digitalnya berlandaskan pada nilai-nilai kebangsaan, yakni Pancasila dan bhinneka tunggal ika.
“Hak-hak warga digital yakni hak untuk berekspresi, hak untuk merasa aman,” tuturnya. Menurutnya, dampak rendahnya pemahaman Pancasila dan kebhinekaan ialah tidak mampu memahami batasan antara kebebasan berekspresi (di internet) dengan perundungan siber atau ujaran kebencian.
Tidak mampu membedakan antara keterbukaan informasi publik dan privasi, serta tidak mampu membedakan antara misinformasi, disinformasi, dan malinformasi. Hoaks melahirkan kebohongan menjadi pengetahuan yang dipercaya. Selain mengganggu harmoni sosial, hoaks juga mengganggu perkembangan peradaban suatu bangsa.
Literasi digital
Sebagai pembicara terakhir, Imam Wicaksono mengatakan, cakap berliterasi digital itu penting, agar dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia, menumbuhkan rasa keingintahuan akan ilmu pengetahuan, membentuk pribadi yang kreatif, inovatif, dan senantiasa berpikir kritis.
“Hoaks adalah berita informasi palsu atau fakta yang direkayasa, kemudian sengaja disamarkan layaknya sebuah kebenaran. Saluran hoaks biasanya melalui sosial media, aplikasi chatting, dan situs web,” ujarnya.
Dalam sesi KOL, Ronald Silitonga mengatakan, tantangan di era digital ini sering kali generasi muda itu membuat konten hanya buat nambah followers terkadang postingan jadi sensasional terus dengan gampangnya minta maaf yang penting tuh viral. “Harusnya saring sebelum sharing, yang baik itu belum tentu benar,” ujarnya.
Dalam webinar ini, para partisipan yang hadir juga dipersilakan untuk mengutarakan pertanyaan dan tanggapan. Salah satu peserta bernama Siska Febriana menanyakan, bagaimana membuat masyarakat kita senantiasa toleransi, menghormati dan menghargai di dunia nyata maupun di dunia digital?
“Untuk sikap toleransi seperti yang dijelaskan salah satunya kita bisa menjadikan nilai-nilai norma-norma Pancasila sebagai pedoman. Itu penting kita jadinya satu paduan, rambuan itu penting untuk kita acu ya mungkin Pancasila. Kita tidak usah cari lagi semua bisa terwujud,” jawab Rusman.
Webinar ini merupakan salah satu rangkaian kegiatan literasi digital di Kota Tangerang. Kegiatan ini pun terbuka bagi semua orang yang berkeinginan untuk memahami dunia literasi digital. Untuk itulah penyelenggara pada agenda webinar selanjutnya, membuka peluang sebesar-besarnya kepada semua anak bangsa untuk berpartisipasi pada webinar ini melalui Instagram @siberkreasi.dkibanten dan @siberkreasi.
Kegiatan webinar ini juga turut mengapresiasi partisipasi dan dukungan semua pihak, sehingga dapat berjalan dengan baik, terutama kepada Kominfo. Mengingat program literasi digital ini hanya akan berjalan dengan baik dan mencapai target 12,5 juta partisipan, jika turut didukung oleh semua pihak.