Ujian? Satu kata yang tentu memberi suasana galau di hati mahasiswa mana pun. Terbayang di benak kita semua, suasana ujian yang mendebarkan. Dag-dig-dug, berpikir soal macam apa yang akan disajikan oleh dosen pengampu. Apalagi mendengar kata ujian skripsi, tentu membutuhkan persiapan mental yang tidak sedikit dari sisi mahasiswa. Sebagian dari kita mungkin sudah pernah merasakan ketegangan saat berjuang menghadapi sekelompok dosen penguji skripsi. Di sinilah nasib mahasiswa ditentukan, apakah akan berhasil lulus sebagai seorang sarjana atau harus mengulang ujian atau bahkan mengulang skripsi dari awal.
Tidak jarang ujian akhir semester juga membawa pengalaman unik yang membekas di benak terdalam setiap mahasiswa. Ada cerita indah, ada petualangan yang kurang mengenakkan, ada pengalaman seru, dan ada bekas-bekas memori kelabu. Tak jarang pula usaha-usaha mengingkari nilai integritas dilakukan dengan jalan mencontek atau menduplikasi karya teman, hanya untuk sekadar lulus ujian dengan baik, dan mendongkrak nilai indeks prestasi. Selepas itu, hilang pulang berkas-berkas ilmu pengetahuan yang sudah disampaikan oleh dosen pengampu selama satu semester. Dua puluh SKS atau lebih yang diambil sebagai beban belajar mahasiswa, menjadi sirna dan sia-sia karena tidak ada hasil pembelajaran yang didapat oleh mahasiswa. Alhasil saatnya tiba untuk masuk ke dunia kerja, maka bekal pendidikan yang dikenyam selama paling tidak empat tahun di perguruan tinggi, akan sirna juga tanpa bekas.
Itu semua tentunya adalah suka duka cerita kehidupan mahasiswa sebelum digaungkannya konsep pendidikan tinggi yang populer disebut dengan Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM). Konsep yang digaungkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (Mendikbud RI) Nadiem Anwar Makarim, yang lebih beken disebut Mas Menteri. Suatu konsep belajar yang sejatinya sudah digagas pula oleh Bapak Pendidikan Indonesia Ki Hadjar Dewantara melalui semboyan Ing ngarso sung tulodo, Ing madyo mangun karso, dan tut wuri handayani. Program Merdeka Belajar juga menggugah seluruh unsur pendidikan tinggi di Indonesia. Semua perguruan tinggi bergerak, bertransformasi menuju perwujudan Kampus Merdeka, yang memberikan kebebasan seluas-luasnya bagi mahasiswa untuk belajar di luar kampus. Belajar tanpa dibatasi oleh sekat-sekat dinding ruang kuliah yang mungkin sempit dan pengap.
Upaya-upaya sosialisasi dilakukan secara gencar oleh setiap perguruan tinggi kepada seluruh sivitas akademika masing-masing. Tak jarang kesulitan demi kesulitan dalam proses implementasi kebijakan merdeka belajar ditemui di setiap lini perguruan tinggi. Mulai dari penolakan dosen hingga keengganan mahasiswa untuk mengambil program Merdeka Belajar. Sangat dipahami apabila tersirat keraguan dalam hati dosen, akan belajar apa nanti mahasiswa saya di luar sana? Namun, tak jarang pula mahasiswa antusias untuk ikut dalam program ini, karena konon sudah tidak perlu ujian secara formal lagi. Tidak ada lagi drama-drama haru mahasiswa pada masa-masa ujian. Hingga taraf ini, rasanya konsep Merdeka Belajar perlu dipahami kembali dengan baik oleh setiap insan di dunia pendidikan tinggi. Sungguh sangat disadari pentingnya peran dosen untuk menggerakkan dan memberikan pemahaman yang baik akan konsep mulia merdeka belajar ini.
Salah satu konsep yang ditawarkan dalam program Merdeka Belajar ini adalah melalui kegiatan magang di dunia industri. Mahasiswa diperbolehkan melakukan kegiatan magang hingga paling lama dua semester di luar kampus. Hasil dari magang ini boleh mendapat pengakuan sejumlah SKS dari program studi mahasiswa tersebut. Melalui kegiatan magang di dunia industri ini, diharapkan mahasiswa memperoleh pengalaman yang cukup dari segi keilmuan yang terkini. Selain itu, keuntungan bagi sektor usaha industri adalah kesempatan mendapatkan talenta yang terbaik. Dengan terjun langsung ke dunia kerja yang nyata, gap antara dunia industri dan dunia usaha akan terjembatani.
Kampus UPJ adalah salah satu kampus yang gencar menyuarakan dan menyosialisasikan program Merdeka Belajar Kampus Merdeka. Upaya implementasi program ini sudah dilaksanakan sejak awal diluncurkannya kebijakan ini yang didasari oleh Permendikbud Nomor 3 Tahun 2020 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi. Salah satu pengalaman berharga, diperoleh 2 mahasiswa dari Program Studi Teknik Sipil yang disertakan dalam program magang di PT Jakarta Toll Road Development (JTD) pada proyek prestisius dengan teknologi tinggi, yakni proyek pembangunan 6 Ruas Jalan Tol di Jakarta. Selama 1 semester bermagang, tak sedikit pengalaman luar biasa yang bisa mereka bagikan kepada rekan seangkatan atau adik kelasnya. Dengan sangat fasihnya, mereka bercerita tentang metode pekerjaan pondasi tiang bor atau yang lebih dikenal sebagai bored pile pada pekerjaan pondasi jembatan layang. Kompetensi layaknya seorang insinyur profesional pun mereka kuasai, ketika dengan cepatnya menganalisis hasil dari pile integrity test (PIT) untuk menentukan integritas tiang bor beton. Informasi-informasi terkini perkembangan teknologi konstruksi  juga langsung mereka serap dari sumber riil di lapangan.
Pulang magang pun, mereka berhak mengantongi sejumlah nilai yang dapat dikonversikan menjadi nilai mata kuliah. Datang dari manakah nilai ini? Ujian? Sudah tidak perlu lagi, mereka mendapat kemerdekaan ujian. Nilai mereka dapatkan dari pembimbing di lapangan yang secara konsisten mengamati capaian-capaian pembelajaran apa yang mereka kuasai selama magang. Tentu luar biasa sekali pengalaman mereka, tidak perlu dag-dig-dug menduga-duga soal ujian dosen, juga tidak perlu capai mengerjakan tugas-tugas dosen yang banyak selama satu semester. Namun, jangan coba meragukan pengalaman mereka tentang teknologi tinggi dan baru di dunia konstruksi. Jangan-jangan mereka lebih paham daripada dosennya yang lebih banyak di kampus. (Agustinus Agus Setiawan ST MT, Dosen Program Studi Teknik Sipil Universitas Pembangunan Jaya)