Era milenial ditandai dengan derap pembangunan yang cepat, berbagai informasi dari luar kian mudah diserap, tetapi juga membuat generasi muda cepat melupakan berbagai hal asli Indonesia. Namun, ada satu hal yang mampu membangkitkan kembali rasa cinta pada negeri ini dan membuat kita menyadari besarnya kekayaan Indonesia, yakni melalui hidangan Indonesia.
Ada ragam cerita yang terungkap di balik seporsi makanan lezat. Warna, bentuk, maupun paduan bumbu yang meraciknya merupakan jalinan kisah budaya, sejarah, dan nilai filosofis hidup yang diwariskan sejak ratusan tahun lalu. Ingat dengan nasi tumpeng? Bentuknya yang mengerucut menyerupai gunung merupakan representasi hubungan antara Pencipta dengan manusia dan manusia dengan sesamanya. Lauk pauk yang menyertainya pun mengandung doa dan makna tersendiri.
“Food culture di Indonesia itu sangat kaya dan dinamis. Setiap makanan merefleksikan karakter asal daerah masing-masing dan memperlihatkan pengaruh budaya lain. Jadi, sangat menyenangkan. Selalu ada rasa berbeda, bisa 1001 macam rasa,” ujar Cindy Purnamasari (26) yang ditemui saat gelaran makan malam acara pembukaan Indonesia Food and Art Festival di Plaza Indonesia, Kamis (3/8).
Keberagaman rasa ini pula yang dihadirkan dalam malam pembukaan Indonesian Food and Art Festival, “I Love Indonesia” di La Moda, Plaza Indonesia pada Kamis (3/8). Menu makanan yang dihadirkan merupakan hasil kurasi Chef Petty Elliot dari menu-menu kreasi outlet F&B yang ikut dalam ajang ini. Dalam malam pembukaan ini, Plaza Indonesia mengundang VIP member dan para duta besar untuk memperkenalkan masakan Indonesia.
“Dari acara ini kita jadi paham bahwa masakan Indonesia pun bisa disajikan dengan gaya fine dining. Karena masakan Indonesia identik dengan masakan rumahan yang sederhana. Padahal, we can make Indonesian food classy. Saya juga menunggu ada restoran yang mengantongi Michelin Star, karena kita sebenarnya punya banyak chef hebat dan masakan Indonesia pun layak mendapat Michelin Star,” tambahnya.
Sang ibu, Jeanne Palar, pun menambahkan, berkembangnya gaya fine dining dan fusion pada dunia kuliner Indonesia juga menjadi angin positif untuk lebih jauh menjangkau warga dunia agar berkenalan dengan masakan Indonesia.
Gaya fusion pada masakan Indonesia kini banyak melanda kalangan pebisnis muda yang menunjukkan ragam kreasi baru. Martabak dalam bentuk es krim, misalnya. Atau, hidangan sushi yang disajikan dengan racikan masakan khas Padang.
“Ini kan jadinya yang suka makanan Jepang, bisa tetap menikmati, tanpa lupa dengan identitasnya sebagai orang Indonesia,” tutur Sandra Olga (27), biasa dikenal sebagai presenter olahraga dan senang memasak masakan Indonesia.
Mengingat identitas
Kuliner Indonesia sesungguhnya bukan hal baru bagi pencinta kuliner dunia. Hanya, belum mencapai titik popularitas tertinggi seperti halnya masakan asal negara-negara tetangga, seperti Thailand, China, Korea, dan Jepang. Kendati demikian, tren untuk kembali mengangkat masakan Indonesia dewasa ini terus meningkat.
Gerakan ini datang secara bergelombang baik dari pemerintah yang semakin aktif memasarkan kuliner Indonesia di mancanegara, pelaku industri, maupun masyarakat pecinta kuliner dalam negeri. “Dalam empat tahun terakhir, hotel-hotel bintang lima di Indonesia semakin sering mempromosikan masakan Indonesia. Paling tidak, kita sendiri juga memberi apresiasi,” ujar Chef Petty Elliot yang juga menjadi kurator menu dan membuka kelas Master Class pada ajang Indonesian Food and Festival ini.
Chef Petty mengakui, masakan Indonesia begitu beragam, tetapi memiliki satu identitas. “Bold flavor!” ujarnya mantap. Semua tak lain karena setiap sajiannya memiliki banyak bumbu dan rempah yang mengikat rasa.
Banyak bumbu, demikian identifikasi masakan Indonesia, sehingga kerap jadi alasan orang malas belajar. Bagi Sandra, hal ini justru menjadi tantangan dan kenikmatan tersendiri. “Kita harus bisa mencintai yang namanya proses. Masakan Indonesia itu butuh ketelatenan. Kalau orang bisa mencintai sesuatu yang prosesnya lama, artinya orangnya juga sabar dan punya komitmen tinggi. Itu sebabnya saya sangat menghargai masakan Indonesia,” aku Sandra, yang belajar memasak dari buku resep masakan khas Indonesia yang masih dalam ejaan lama, milik ibunya yang asli Jerman.
Ia menambahkan, “Adanya festival ini mengingatkan pada masakan ibu kita, nenek moyang kita. Kembali ingat, kembali mencicipi, dan kembali mengenali masakan Indonesia yang beragam. Sesuai namanya, Plaza Indonesia, tidak hanya menghadirkan barang-barang asal mancanegara, tetapi juga mengentalkan (rasa) Indonesia. Tidak lupa dengan jati dirinya.”
Senada dengan Sandra, Marcia Julia (21) beranggapan, ini menjadi cara lain untuk memberi kontribusi pada Indonesia dalam menghargai makanan Indonesia. “Mengingatkan kembali kekayaan masakan Indonesia sehingga acara ini tidak hanya penting, tapi esensial,” pungkasnya. [ADT]
Foto-foto Iklan Kompas E. Siagian, dokumen Plaza Indonesia.
Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 5 Agustus 2017.