Jika kebanyakan masyarakat Indonesia hanya familier menggunakan cangkul, lain halnya dengan warga di Dusun Karangpoh, Desa Padas, Karanganom, Klaten, Jawa Tengah. Warga di desa ini sudah turun-temurun akrab dengan pembuatan cangkul. Keterampilan ini terus diwariskan hingga kini.
Supriyanto, misalnya. Pria kelahiran tahun 1965 ini mulai mengakrabi profesi pandai besi sejak masa sekolah. Kemudian di tahun 1989, dirinya memutuskan untuk membuat usaha atas
namanya sendiri. Ia bercerita, di masa lalu produksinya membutuhkan minimal 5 orang, dengan komposisi 1 orang penyepuh dan 4 orang penempa. Saat itu, kapasitas produksi hanya bisa maksimal 8–9 unit per hari karena berbagai keterbatasan seperti belum adanya listrik.
“Namun, sejak program listrik masuk desa, kami mulai mencoba menggunakan las untuk mencampur baja dengan besi. Hasilnya, produksi meningkat kala itu,” ujarnya.
Hingga akhirnya pada tahun 1998, para pandai besi dan las di situ memutuskan untuk membentuk Koperasi Induk Kerajinan Derap Laju Pande Besi dan Las (Kopinkra 18). Harapannya, koperasi bisa membantu usaha mereka menjadi lebih besar dan menyelesaikan masalah bahan baku sekaligus solusi kebutuhan modal.
Setelah mengalami pasang surut dalam perjalanannya, Kopinkra 18 kini mulai menapaki kemajuannya. Dalam dua tahun terakhir, setelah bermitra dengan berbagai pihak,
para anggota Kopinkra 18 mendapatkan pendampingan, baik dalam hal teknis, manajerial, dan administrasi.
Kini, Kopinkra 18 beranggotakan sekitar 55 perajin dengan 1 sentra di desa ini memiliki 30 industri kecil menengah, yang tidak hanya membuat cangkul, tetapi juga garpu, sabit, linggis, dan cetakan batako. Total, 1 sentra ini rata-rata bisa menghasilkan 18.000 cangkul per bulan.
Cangkul sebagai Alat Keakraban Sosial
Menurut Ketua Kopinkra 18 Umardani, cangkul adalah budaya Bangsa Indonesia yang memang berstatus sebagai negara agraris. Bangsa Indonesia sudah akrab dengan cangkul, baik untuk bekerja maupun alat keakraban sosial, misalnya saat gotong-royong.
“Sejak zaman mbah-mbah kita, cangkul sudah dibuat dan digunakan untuk banyak hal, terutama dalam hal pertanian. Kami sangat mengapresiasi pemerintah yang telah menunjukkan perhatiannya pada usaha ini,” ujarnya.
Para perajin Kopinkra 18 sendiri sudah bisa menghasilkan kualitas cangkul dari kelas A sampai C. Adanya pihak terkait yang berkomitmen memasok bahan baku dengan kualitas sesuai Standardisasi Nasional Indonesia (SNI) membuat mereka mampu menjaga kualitas cangkulnya.
“Untuk itu, kami berharap semua stakeholder mampu bekerja sama. Misalnya ada yang menyediakan bahan baku sudah kualitas SNI, bank untuk pemberian modal, dan peran pemerintah juga harus hadir. Contohnya, sudah sejak lama sebagian besar perajin mendapat dukungan permodalan dari BANK BRI melalui penyaluran KUR dan Kupedes BRI,” ujarnya.
Menurut Umar, hampir semua sektor memerlukan cangkul. Misalnya, bidang pertanian tentunya memerlukan banyak cangkul. Begitu juga bidang infrastruktur dan industri, cangkul masih diperlukan dalam jumlah yang banyak.
Terus Berkembang Memakmurkan Masyarakat
Melihat adanya kendala para perajin cangkul di Karangpoh ini, BANK BRI melakukan pendalaman peran dan melakukan pemberdayaan kepada para perajin dari mulai perbaikan kelembagaan koperasi, peningkatan mekanisasi industri penempaan logam, hingga produktivitas, dan kesejahteraan para perajin.
BANK BRI berkolaborasi bersama Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah memberikan pendampingan melalui pelatihan di desa ini. Pelatihan tersebut terkait dengan perkoperasian dan teknis pembuatan cangkul dengan kualitas SNI. Dengan adanya pelatihan ini maka pengelolaan koperasi akan semakin maju dan kualitas cangkul yang dihasilkan menjadi lebih baik.
Selanjutnya BANK BRI memberikan bantuan Corporate Social Responsibility (CSR) berupa air hammer untuk memudahkan penempaan. Dengan adanya alat ini, kecepatan produksi tanpa meninggalkan kualitas bisa ditingkatkan. Penggunaan air hammer dapat meningkatkan produktivitas 50 persen-100 persen. Sebagai contoh, jika menggunakan proses manual dengan 4 orang tenaga kerja maka akan dihasilkan 40 cangkul per hari dengan 2-3 kali pemanasan. Namun, dengan adanya air hammer dengan 3 orang tenaga kerja saja maka akan dihasilkan 60-80 cangkul per hari dengan hanya 1 kali pemanasan.
BANK BRI juga memberikan bantuan modal usaha, salah satunya melalui KUR BRI. Dengan adanya KUR BRI diharapkan usaha dari masyarakat dapat terus berkembang dan dapat meningkatkan taraf hidup mereka.
Perajin seperti Supriyanto merasa bersyukur dan memberikan apresiasi dengan adanya bantuan dari BANK BRI.
“Berkat adanya bantuan dari BANK BRI, pendapatan kami jadi lebih meningkat dan masyarakat jadi lebih sejahtera,” pungkasnya.
Melalui pemberdayaan dan bantuan tersebut, BANK BRI berharap cangkul produksi warga Karangpoh, Karanganom, Klaten dapat lebih maju dan sukses sehingga memakmurkan warga di sana. Hal ini menunjukkan komitmen BANK BRI dalam mewujudkan ekonomi kerakyatan. BRI BISA! Untuk Indonesia BRILian.
Silakan untuk versi video.
Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 13 Februari 2020.