Tahun 2019 menandai berakhirnya tambang terbuka Grasberg di Mimika, Papua, yang dioperasikan oleh PT Freeport Indonesia (PTFI) sejak 1990. Namun, bukan berarti tambang yang telah menghasilkan sekitar 1,3 miliar ton bijih, belum termasuk lapisan penutup dan batuan ikutan, itu telah berakhir. Dari permukaan, operasi tambang kini dialihkan dan fokus pada penambangan bawah tanah.
Di distrik mineral Grasberg, PTFI memiliki sejumlah tambang bawah tanah dengan cadangan tembaga dan emas cukup besar. Di antaranya Big Gossan dengan potensi 60 juta ton, Deep Ore Zone (DOZ) dengan potensi 79 juta ton, Deep Mill Level Zone (DMLZ) dengan potensi 437 juta ton, dan yang terbesar adalah Grasberg Block Cave (GBC) dengan cadangan 1 miliar ton.
Saat ini, tambang bawah tanah terbesar PTFI yang beroperasi adalah DOZ. Namun, ke depan adalah DMLZ dan GBC yang masih dalam tahap konstruksi.
Runtuhan
Terletak jauh di dalam perut Bumi, mau tidak mau penambangan harus dilakukan di bawah tanah. Menimbang bentuk serta sifat cadangan, metode yang dipilih PTFI untuk menambang adalah block caving.
Sejatinya, metode penambangan dengan cara block caving bukanlah hal baru. Guru Besar Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan Institut Teknologi Bandung Ridho Kresna Wattimena menyebutkan, metode ini telah diterapkan sejak lebih dari 100 tahun silam di tambang Pewabic, Michigan, AS. Di Indonesia, baru PTFI yang menggunakan metode ini.
Kegiatan tambang block caving diawali dengan menggali terowongan menuju tempat cadangan bijih mineral di bawah tanah. Memanfaatkan sifat deposit yang mudah ambruk, dibuat lubang di bawah deposit. Lalu, bagian bawah badan bijih diledakkan sehingga blok bijih ambruk ke dalam lubang. Barulah penambangan dilakukan dengan menarik material ambrukan. Setiap ditarik, runtuhan atau ambrukan diharapkan terus terjadi sehingga seluruh cadangan berhasil diambil.
Menurut Ridho, block caving merupakan metode penambangan bawah tanah dengan biaya produksi per ton paling murah jika diterapkan secara tepat. Meski demikian, lanjut Ridho, block caving memiliki kelemahan tidak fleksibel. “Jika sudah memutuskan untuk menggunakan block caving, tidak bisa diganti di tengah jalan. Karena sudah terlalu banyak terowongan yang dibangun,” paparnya.
Ridho memberikan gambaran, dibutuhkan biaya antara 2 miliar hingga 10 miliar dollar AS untuk investasi block caving. Belum lagi, untuk mencapai lokasi cadangan, dibutuhkan jaringan terowongan yang jika digabung panjangnya bisa mencapai ratusan kilometer. Apalagi seperti tambang GBC yang memiliki dimensi cadangan amat besar, membutuhkan jaringan terowongan hingga ratusan kilometer.
Setelah runtuhan atau ambrukan terbentuk dengan baik, bijih diambil dari titik pengambilan (drawpoint), bijih lalu diangkut menuju alat penghancur. Pada tambang DOZ, bijih dipindahkan alat LHD (loader) ke dalam saluran bijih (ore pass). Dari saluran bijih, bijih diangkut menggunakan truk untuk dipindahkan ke alat penghancur. Bijih yang telah dihancurkan lalu dikirim ke pabrik pengolah (mill) melalui ban berjalan (conveyor).
Seismik
Sementara itu, karena dilakukan di kedalaman tanah, metode block caving menghadapi tantangan aktivitas seismik. Hal ini seperti terjadi di tambang DMLZ, batuan mengalami tekanan sehingga rawan meledak. Untuk mengatasinya, dilakukan hydraulic fracturing yaitu dengan membuat retakan pada batuan. Cara ini juga digunakan pada batuan yang cukup keras agar lebih mudah runtuh.
Dibutuhkan perencanaan yang baik dan matang sebelum tambang block caving beroperasi. Perhitungan-perhitungan geoteknikal sangat diperlukan untuk mengatur dan menjalankan produksi agar tambang tetap stabil. Menurut Manajer Underground Reserves & Budget, Underground Mine PTFI Birat Setyoko, faktor geoteknikal penting untuk keberlangsungan produksi dan konservasi terhadap cadangan mineral. Sehingga kestabilan geoteknikal tambang perlu dijaga dengan perencanaan dan operasional yang baik.
“Dalam tambang block caving, kita tidak bisa stop di tengah-tengah ketika tambang sudah dimulai. Ketika stop, rencana keseluruhan bisa berubah dan akan berpotensi mengalami kerugian,” ujar Birat. Ia menjelaskan, dalam penambangan block caving, terowongan yang dibangun mempunyai pilar yaitu batuan asli yang merupakan bagian dari bentuk desain dari tambang block caving. Jika pilar ini hancur akibat masalah geoteknikal, cadangan yang sudah runtuh di atasnya berpotensi tidak akan bisa diambil lagi sehingga mengakibatkan kerugian.
Untuk studi, perencanaan, hingga membangun dan mempersiapkan seluruh fasilitas dan infrastruktur pendukung block caving memakan waktu 15 hingga 20 tahun. Termasuk di dalamnya membangun terowongan berikut ventilasi, kelistrikan, hingga alat penghancur. Tidak heran, ungkap Ridho, jika metode penambangan ini sudah menghabiskan hingga 70 persen dari belanja modal sebelum keuntungan dapat diperoleh.
Selain masalah seismik, tantangan lain yang kerap dihadapi pada tambang bawah tanah adalah lumpur. Ridho menjelaskan, air yang masuk melalui retakan dan bercampur dengan batuan halus akan menjadi lumpur.
Dari aspek keselamatan, VP Occupational Health & Safety PTFI Henky Rumbino menjelaskan, pihaknya mengidentifikasi sejumlah risiko kritis bekerja di tambang bawah tanah. Selain tertimbun luncuran lumpur basah, penambangan bawah tanah juga rawan terhadap runtuhan batuan dari atap atau dinding terowongan, kebakaran dan gas beracun, serta terkait interaksi orang dan alat berat. “Dibandingkan penambangan terbuka di permukaan, risikonya lebih besar karena ruang geraknya lebih sempit dan terbatas,” ujar Henky.
Otomasi
Menilik risiko keselamatan tersebut, salah satu solusi yang dimanfaatkan PTFI adalah penggunaan teknologi otomasi. Dengan teknologi ini, pengendalian alat berat di bawah tanah dilakukan dari ruang kendali.
Menurut Birat, dari sisi pemanfaatan teknologi, PTFI terus berevolusi. Jika sebelumnya penambangan block caving menggunakan alat-alat misalnya LHD dengan sistem lama, diganti dengan yang modern, bahkan dioperasikan dari jarak jauh (remote) menggunakan sistem robotik.
Dengan otomasi, pekerjaan tambang di DOZ dapat dilakukan dari ruang kendali yang berjarak sekitar 6 kilometer dari lokasi tambang. Operator mengendalikan alat menggunakan monitor yang menampilkan situasi di lokasi. Alat dikendalikan melalui tuas kontrol dan bermacam tombol seperti layaknya sedang bermain game.
Dengan berbagai terobosan dan inovasi yang dilakukan, secara keseluruhan tambang bawah tanah PTFI termasuk salah satu yang terbesar dan paling rumit di dunia. Oleh karena itu, menurut Ridho, kemampuan PTFI mengoperasikan tambang bawah tanah tersebut menempatkannya di jajaran depan operator tambang dunia, khususnya untuk block caving.
Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 14 Mei 2019.