/CERITA.
Oleh : Adystra Bimo
Co-founder Runhood
Pengalaman paling berkesan sepanjang saya mengikuti banyak event lari adalah saat orang-orang sekitar memberikan semangat untuk mencapai garis finis. Ini saya rasakan saat mengikuti event maraton di Bali. Penduduk sekitar tak sekadar menonton, tetapi juga memberikan semangat.
Dukungan dan semangat dari lingkungan sekitar selama berlari menjadi amat penting karena berlari maraton yang menghabiskan waktu hingga 3–4 jam atau bahkan lebih, sudah pasti menguras tenaga dan semangat. Sayangnya, event maraton yang mendapatkan “restu” dari warga tempat event itu berlangsung belum jamak di Indonesia.
Jakarta, misalnya, event maraton kerap dianggap mengganggu kenyamanan berlalu lintas. Hal ini berbeda dengan kota penyelenggara maraton lainnya di negara lain. Tokyo, misalnya. Saat event berlangsung, penduduk kota itu berkumpul di sebelah perlintasan lari dan memberikan semangat.
Saat mengikuti lari di sana, saya seakan ingin menangis terharu karena event itu terasa megah. Bagaimana tidak, sekitar 1 juta penduduk sangat antusias memberikan semangat kepada pelari yang jumlahnya hanya sekitar 20 ribu pelari. Dukungan seperti itu membuat kami yang sudah lelah seakan bisa melangkahi limitasi tubuh untuk kemudian menyelesaikan race. Namun, dukungan dari penonton sejatinya hanya menjadi pemicu.
Saya yang tergabung dalam komunitas Runhood menyadari bahwa maraton bukanlah event rekreasional. Butuh persiapan yang panjang dan matang. Hal ini karena tidak sedikit orang yang menjadikan event ini sebagai “hiburan” malah jadi tersiksa dan jatuh sakit. Lebih baik jangan ikut maraton demi prestise semata.
Saya sendiri biasanya mempersiapkan diri selama 4 bulan untuk sebuah event maraton. Saya bisa katakan lari memang olahraga yang murah, tetapi maraton tidak. Gear menjadi penting dan itu tidak murah. Namun, biaya terbesarnya adalah persiapannya itu sendiri dan biaya selama di kota penyelenggara. Jika di luar negeri pasti semakin mahal, karena kemungkinan besar, saat berangkat ke sana, seseorang pasti sekalian liburan. Ada yang mengajak pasangan atau keluarga.
Karena biaya yang mahal itu, saya tidak bisa sembarang memilih event maraton. Selain reputasi penyelenggaraannya, saya melihat jalur lintasnya. Saya lebih tertarik mengikuti maraton dengan pemandangan yang bagus, tidak lagi gedung-gedung saja.
Sejauh ini, maraton di Indonesia dengan penyelenggaraan yang baik ada di Bali. Namun, saya melihat Borobudur Marathon 2017 akan menawarkan hal serupa. Apalagi dengan pemandangan pedesaan yang tak kalah cantik dengan Bali, ditambah dengan pengalaman berlari dengan latar pemandangan Candi Borobudur yang tersohor. Pastinya akan menjadi pengalaman yang memorable.
Foto-foto dokumen Andra Maulana, Faniditya Ramadhan, Pim Rinkes/Nike Running
/CUTTING EDGE.
Naik Bertahap
Levana Cynthia Yoga
Desainer grafis
@levanacy
Murah dan fleksibel. Itulah kenapa lari menjadi pilihan dari Levana Cynthia Yoga, seorang desainer grafis muda. Bermula dari mencari olahraga yang terjangkau saat dirinya kuliah di Singapura, Levana memilih lari. “Murah, mudah, dan fleksibel. Kalau gym, di Singapura agak mahal untuk saya yang mahasiswa kala itu,” ujarnya.
Sepulangnya ke Indonesia, kebiasaan lari itu pun terus dilakukan. Paling tidak, seminggu 3 kali, mayoritas pukul 6 pagi. “Lebih segar,” ucapnya.
Kini, Levana sudah beberapa kali mengikuti event lari. Mulai dari Electric Run di Singapura, Colour Run di Bandung, hingga yang terakhir New Balance Run on 2017. Memulai dari 5K, bertahap naik jadi 8K. Rencananya, bulan depan, Levana akan mengikuti West Java Eco Marathon di Bandung.
Levana mengakui, lari, selain lebih sehat, juga membuat pikirannya lebih fresh dan staminanya meningkat. “Lebih kuat, lebih sehat, dan lebih bertenaga. Ini bermanfaat banget buat saya yang juga belakangan suka tracking dan mencoba naik gunung,” ucapnya.
Foto dokumen Levana.
/LITERASI.
Pikiran Tetap Positif
Oleh : Liestia (@njummy)
Katakanlah, saya adalah orang yang tidak bisa fanatik dengan sesuatu. Suatu hari, ada teman yang banyak bertanya tentang unggahan saya di media sosial. Dia bertanya tentang olahraga lari yang saya jalani. Dari kenapa hingga apakah saya hobi lari, dia tanyakan. Jawaban saya, “Ya, sering, tapi gak terlalu.” Di samping lari, saya juga suka kerap ikut pilates dan renang. Keduanya juga saya menjadi olahraga favorit.
Namun, kalau boleh jujur, lari lebih sering dilakukan karena saya anggap mudah dan murah. Fleksibel lah intinya. Dan, lari buat saya tidak hanya soal menjaga tubuh tetap bugar dan sehat, tapi juga menjaga pikiran untuk tetap positif.
Saat berlari, terkadang saya menentukan target ingin sejauh apa, dengan waktu berapa, dan sebagainya. Tetapi, saya juga bisa berlari tanpa target apa pun, yang penting keluar keringat agar badan terasa segar dan membuat saya lebih senang. Mirip dengan keseharian, yaitu dalam melakukan sesuatu, kita punya pencapaian dengan target A–Z atau kadang melakukan sesuatu hanya untuk senang-senang yang penting enjoy.
Rutinitas kadang membuat penat pikiran dan membuat pusing. Lari jadi semacam refresh button bagi saya. Lari sendiri, find my peace, melupakan yang ruwet di belakang, dan membentuk sebuah mindset pribadi. Whatever happen, just keep running. Karena hidup pun seperti itu.
Foto-foto dokumen Liestia
/KOLEKTIF.
“Zapiekanka” ala Yogya
Kalau lagi “berselancar” di Yogya, jangan sampai tak mampir ke tempat nongkrong ini. Serius. Kedai Zapiekanka namanya. Tempatnya di Jalan Gejayan 31—selatan pertigaan Kolombo. Zapiekanka adalah roti panggang khas Polandia yang topping-nya bervariasi. Bisa asin-gurih atau manis.
Zapiekanka ala kedai ini sudah dimodifikasi rasanya agar pas dengan lidah orang Indonesia. Kalau gemar menyantap makanan asin-gurih, coba pilih topping daging sapi, sosis, dan keju leleh. Ada juga variasi tuna, ayam, atau daging panggang. Saat roti digigit, kejunya yang melar akan meningkahi sensasi krenyes-krenyes roti dan daging yang masih panas. Kalau mau mencoba yang manis, tinggal minta saja topping choco cheese, choco banana, atau cookies cream cheese.
Selain zapiekanka, coba cicipi semangkuk mac n cheese. Ini adalah makaroni yang diolah dengan keju lumer. Panas, enak sekali. Sebagai teman di sela-sela menggigit zapiekanka, kita bisa menyeruput lemon tea hangat.
Suasana kedai “Eropa Timur” ini terbilang simpel. Nuansa cokelat dengan meja-meja kayu terasa kental dengan sejumlah “coretan” ringan sebagai pemanis interior. Di dinding dekat dapur contohnya, terdapat tulisan “Witamy W Kedai Zapiekanka” yang kurang lebih artinya selamat datang. Harga makanan dan minuman di sini relatif terjangkau anak-anak muda, khususnya mahasiswa. [TYS]
Foto-foto Iklan Kompas/Tyas Ing Kalbu
/ULAS.
Menuju Bank Jateng Borobudur Marathon 2017
Dua bulan lagi, Bank Jateng Borobudur Marathon 2017 (BJBM 2017) siap digelar. Acara hasil kerja sama Pemprov Jateng, Bank Jateng, dan Kompas ini mengadakan kumpul bersama komunitas lari sekitar Jateng dan Yogyakarta untuk menghadiri peluncuran jersey dan medali BJBM 2017. Bertajuk “Reborn Harmony”, BJBM 2017 ingin mengemukakan kembali semangat kebersamaan sekaligus menikmati sajian sport tourism yang ada di sekitar Candi Borobudur dan Jawa Tengah. Diharapkan, pelari dan wisatawan yang datang ke perhelatan maraton ini bisa mengenal dan melestarikan budaya Indonesia. Anda yang belum mendaftarkan diri, bisa mengunjungi www.borobudurmarathon.co.id. [*]