Sepuluh tahun belakangan ini internet telah memberikan sesuatu yang baru. Walau kadang menyebabkan ketergantungan, kehadiran internet juga melahirkan sebuah kekuasaan akan media sosial yang dapat melampaui negara dan bangsa. Kita bisa terbuka untuk menyuarakan apa saja di media sosial.

Hari ini berbagai macam hal bisa dilakukan dengan mudah untuk membuat pembaruan. Kita selalu berupaya untuk memperluas peran serta masyarakat melalui media teknologi dan inovasi pemerintah yang baik. Keduanya membat partisipasi terbuka untuk masyarakat berpartisipasi dengan tinggi.

Menyikapi hal itu, Kominfo bekerja sama dengan Jaringan Pegiat Literasi Digital (Japelidi) dan Siberkreasi Gerakan Nasional Literasi Digital menggelar webinar dengan tajuk “Bangun Demokrasi di Media Digital”. Webinar yang digelar pada Jumat, 12 November 2021, diikuti oleh sejumlah peserta secara daring.

Dalam forum tersebut hadir Septa Dinata AS (Peneliti Paramadina Public Policy Institute), Moh Syukron Aby (Alumni Lemhannas RI dan Trainer Capacity Building), Sopril Amir (Tempo Institute), Annisa Choiriya (Kaizen Room), dan Michelle Wanda (Aktris) selaku narasumber.

Dalam pemaparannya, Sopril Amir menyampaikan bahwa kaitan demokrasi dengan dunia digital yakni ruang digital menjadi wadah interaksi yang menggunakan perangkat teknologi informasi dan komunikasi. Ciri-cirinya cepat, lintas batas geografis, demografis dan public-private, inovatif dan berlipat ganda.

Media digital secara umum ada 2 jenis. Ada media berita, yakni media digital yang memuat produk lembaga pembuat berita-vertikal (produsen dan konsumen berita, di atasnya ada regulator atau pengawas). Lalu ada media sosial, yakni ruang interaksi digital yang memuat pesan-pesan yang dibuat oleh para pengguna egaliter dan setara (di atasnya penyedia platform dan regulator, yakni pemerintah atau penegak hukum).

“Dalam penyebaran informasi, kita perlu hindari misinformasi dan disinformasi, yaitu penyebaran informasi keliru, tidak direncanakan ataupun direncanakan, personal atau kelompok kecil atau organisasional. Penyebaran dengan sengaja dan niat yang buruk disebut disinformasi,” jelasnya.

Michelle Wanda selaku narasumber Key Opinion Leader juga menyampaikan bahwa sisi positif dari bermedia digital sebetulnya lebih banyak. Namun, menurutnya, sisi negatifnya juga ada kalau kita lalai. Zaman dulu ia sering sekali ditipu, contohnya dengan mendapat hadiah atau memberi tahu kalau salah satu anggota keluarga mengalami kecelakaan.

Sekarang kita bisa bertatap muka hanya dengan bermodalkan gadget dan kuota. Kalau kita tidak memanfaatkan dengan baik, pastinya kita tidak akan merasakan dampak positif. Jadi, menurutnya, kontrolnya ada di diri kita masing-masing. Di dunia digital ini jerat hukumnya sudah pasti ada, literasi digital ini ibaratnya senjata ketika kita mau perang.

Jangan pernah malas untuk belajar dan meningkatkan literasi digital kita. Segalanya akan terus berkembang dengan macam-macam inovasi baru, literasi digital ini yang akan mampu menangkapnya.

Salah satu peserta bernama Mukhamad Jaffar Sodik menyampaikan, “Bagaimanakah tahapan awal bagi kita yang masih awam untuk lebih cakap digital dan berdemokrasi secara digital dengan baik dan benar?”

Pertanyaan tersebut dijawab Septa Dinata AS. “Kita perlu lakukan identifikasi peran apa yang bisa kita mainkan. Demokrasi di sini tentu adalah partisipasi aktif sebagai bagian dari suatu masyarakat. Sebetulnya, kalau sebuah masyarakat tidak mau belajar, itu awal dari masalah. Semua akan lebih baik kalau kita peduli dengan masalah apa yang kita hadapi secara bersama.”

Webinar ini merupakan salah satu rangkaian kegiatan literasi digital di Kota Jakarta Barat. Kegiatan ini pun terbuka bagi semua orang yang berkeinginan untuk memahami dunia literasi digital. Untuk itulah penyelenggara pada agenda webinar selanjutnya, membuka peluang sebesar-besarnya kepada semua anak bangsa untuk berpartisipasi pada webinar ini melalui akun Instagram @siberkreasi.dkibanten dan @siberkreasi.

Kegiatan webinar ini juga turut mengapresiasi partisipasi dan dukungan semua pihak, sehingga dapat berjalan dengan baik, mengingat program literasi digital ini hanya akan sukses mencapai target 12,5 juta partisipan jika turut didukung oleh semua pihak yang terlibat. [*]