Indonesia belum terbebas dari wabah virus korona. Tantangan terbesar dalam menangani virus ini tidak sekadar permasalahan bagaimana memutus rantai penyebaran serta melakukan upaya preventif dan kuratif dalam melawan virus ini, tetapi juga menghadapi maraknya dinamika penyebaran infodemik seputar Covid-19 di kalangan masyarakat. Informasi dan pemberitaan tentang pandemi Covid-19 bersifat sangat global, mengutip pernyataan Tedros Adhanom G, Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), dalam sambutannya pada Konferensi Keamanan Dunia di Jerman, 15 Februari 2020, mengungkapkan bahwa “We’re not just fighting an epidemic; we’re fighting an infodemic”. Pernyataan ini mengingatkan kepada kita bahwa penyebaran informasi dan berita yang bersifat hoaks tentang Covid-19 sangat masif.
Demikian juga di Indonesia, Kementerian Komunikasi dan Informatika sebagai bagian dari Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 mencatat setidaknya ada 2.020 pada 2020 konten hoaks berupa misinformasi (kekeliruan informasi yang terjadi secara alamiah, tidak disengaja) dan disinformasi (penyesatan informasi yang dilakukan by design). Pada umumnya, hoaks terkategori dalam jenis fabricated content (konten baru yang sengaja dibuat dan didesain untuk menipu dan merugikan), manipulated content (ketika sebuah informasi di manipulasi untuk merusak atau menipu), imposter content (ketia sebuah sumber asli ditiru), false content (ketika konten yang asli dipadankan dengan konteks informasi yang salah), misleading content (penggunaan informasi yang sesat untuk membingkai sebuah isu atau individu), false connection (ketika judul, gambar atau keterangan tidak mendukung konten) dan satire/parodi (tidak ada niat untuk merugikan namun berpotensi untuk mengelabui). (First Draft, 2019)
Pada saat ini, ketika jumlah informasi yang berlimpah membuat kita sulit memisahkan informasi yang dapat dipercaya dengan informasi yang kebenarannya dibuat-buat terutama di media daring (online) maupun media sosial, literasi media hadir sebagai benteng bagi masyarakat agar kritis terhadap isi media, sekaligus menentukan informasi yang dibutuhkan dari media. Literasi media diperlukan di tengah kejenuhan informasi, tingginya terpaan media, dan berbagai permasalahan dalam informasi tersebut yang mengepung kehidupan kita sehari-hari. Literasi media memberikan panduan tentang bagaimana mengambil kontrol atas informasi yang disediakan oleh media. Semakin media literate seseorang, maka semakin mampu orang tersebut melihat batas antara dunia nyata dengan dunia yang dikonstruksi oleh media.
Literasi media penting karena literasi media merupakan kemampuan untuk mengakses, menganalisis, mengevaluasi, dan mengomunikasikan isi pesan media dan menjadikan media sebagai fokus utamanya. Dasar dari media literasi adalah aktivitas yang sangat menekankan aspek edukasi di kalangan masyarakat agar mereka mengetahui bagaimana mengakses, memilih program yang bermanfaat dan sesuai kebutuhan yang ada. Literasi media berbasis kesehatan menjadi penting terlebih pada era pandemi ini masyarakat banyak terpapar infodemik, maka literasi media berbasis kesehatan dapat mencegah perilaku tidak sehat dengan cara kritis dalam mencermati informasi tentang kesehatan. WHO memandang literasi kesehatan digital misalnya saja dapat meningkatkan kualitas, kemampuan, efisiensi, dan akses terhadap informasi dan layanan perawatan kesehatan dapat meningkatkan kualitas kesehatan. Oleh karena itu, masyarakat perlu belajar memahami manfaat dan ancaman media dengan bersiasat ketika menghadapinya melalui bijak bermedia. (Dedeh Fardiah, Ketua Program Studi Magister Ilmu Komunikasi Pascasarjana dan Dosen Fikom Universitas Islam Bandung)
Unisba 3M: Mujahid, Mujtahid, Mujaddid. Situs web: https://www.unisba.ac.id