Bidang kuliner punya peran penting dalam membentuk sejarah dunia hingga saat ini. Dulu, semua berlomba untuk menguasai sumber daya alam, mulai dari kopi hingga rempah-rempah. Kuliner Indonesia pun membentuk sejarahnya sendiri.
Dari Yaman, menuju Sri Lanka dan Malabar di India, kemudian Indonesia. Itulah sejarah kopi Indonesia. Pondok Kopi, Bekasi, menjadi tanah pertama di Nusantara yang menjadi tempat asal mula sejarah kopi khas Indonesia.
Sejak 1711, Indonesia mulai mengekspor kopi dan membuatnya menjadi negara pertama pengekspor kopi di luar jazirah Arab. Dari situ, tanaman kopi mulai menyebar ke seluruh Indonesia, melahirkan banyak kopi spesial yang kini perlahan mulai dikenal dunia.
Kini, gelombang kopi ketiga telah masuk Indonesia dan memberi angin segar bagi industri kopi. Wakil Sekjen Asosiasi Kopi Spesial Indonesia (AKSI) Daroe Handojo mengatakan hal tersebut.
“Tahun 2013–2014, mulai ada kedai kopi single origin, spesial kopi, yang sebenarnya menurut saya itu adalah evolusi dari perkembangan kopi Indonesia. Harga kopi jadi meningkat signifikan dan ini bagus bagi perkembangan kopi Indonesia,” ujar Daroe.
Baru-baru ini, Bondowoso mengukuhkan dirinya sebagai Republik Kopi di ajang Festival Kopi Nusantara 2017. Di ajang ini, seluruh pihak terkait industri kopi hadir mulai dari petani, pedagang, roaster, barista, dan penikmat kopi hingga pemangku kebijakan. Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) dan AKSI digandeng juga. Misinya, semua orang makin mudah menikmati kopi.
“Kita sudah seharusnya menjadikan kopi sebagai gaya hidup kalau ingin mengangkat kopi Indonesia lebih tinggi lagi. Tentu saja, dengan harapan, kita punya merek nasional untuk kemudian jadi tuan rumah di negara sendiri. Jika, sudah menjadi raja di negeri sendiri, merambah ke luar negeri boleh jadi opsi,” kata Daroe.
Ekspansi
Tak hanya kopi, Indonesia punya ragam bahan pangan lain yang punya sejarah. Beras, misalnya. Hingga era 1960-an, Indonesia mempunyai sekitar 7.000 jenis beras dan ragam rempah-rempah tradisional yang sampai sekarang terus menjadi komoditas penting bagi Indonesia.
Mirisnya, kekayaan bahan pangan itu justru kian tidak populer di kalangan anak muda saat ini. Profesi petani pun kian surut, rata-rata setiap tahunnya Indonesia kehilangan 500 ribu petani. Pendiri Javara Indigenous Indonesia Helianti Hilman mengatakan, cara satu-satunya menyelamatkan petani adalah membentuk produk hasil petani dan mencarikannya pasar yang tepat.
“Kami punya banyak produk beras yang macam-macam dan semua organik. Javara memang dibangun bukan sebagai bisnis, tetapi jadi solusi untuk sebuah masalah. Dalam hal ini membantu petani untuk tetap hidup dan menyebarkan kembali popularitas keanekaragaman rempah-rempah kita kepada dunia,” ujar Helianti.
Helianti pun akhirnya mengambil cara mengambil langsung produk ke petani yang punya produk bagus untuk Kemudian dikemas menarik, bahkan mensertifikasinya. Tidak tanggung, sertifikasi luar negeri yang disasar. Kini, ada 750 jenis produk berada di bawah bendera Javara, 250 sudah disertifikasi, dan 60 persennya sudah diekspor ke 21 negara.
“Walaupun ekspor kami besar, bukan kami fancy terhadap ekspor, tetapi pada waktu itu (tahun 2011), menjadi opsi yang paling tepat untuk menjalankan misi kami. Karena produk premium lokal, pada awal kami berdiri (tahun 2009), kalangan menengah atas Indonesia belum percaya dengan merek lokal. Sekarang, setelah mulai dikenal di luar negeri dan mendapatkan banyak promosi melalui pemberitaan media massa dan media sosial, penjualan di dalam negeri sudah meningkat,” ujar perempuan yang berlatar pendidikan hukum ini.
Ekspansi ke luar negeri juga dilakukan oleh Nilam Sari, pendiri Kebab Turki Baba Rafi (KTBR). Bermula dari menggunakan gerobak, kini, KTBR sudah memiliki 1.200 gerai di seluruh dunia, 100 di antaranya ada di luar negeri.
“Sudah pengalaman di dalam negeri bukan berarti mudah untuk ke luar negeri. Kita tidak tahu know how-nya, mulai dari izin usaha dan distribusi, pemasaran, dan lainnya. Namun, bukan berarti tidak bisa. Jiwa wirausaha kita jadi terlatih di situ karena kita jadi belajar. Yang penting, mau bertahan dan cepat beradaptasi,” ujar Nilam.
Mengerti pasar
Helianti dan Nilam sepakat bahwa adaptasi bisnis harus dilakukan. Terkait dengan kuliner, penyesuaian tidak hanya harus dari sisi rasa makanan, tetapi juga tampilan produk dan tekstur serta bahan pangan yang sejalan dengan kondisi masyarakat di negara tujuan.
Javara, misalnya, untuk satu produk biscotti, memiliki banyak jenis. Biscotti untuk Italia harus lebih keras teksturnya karena kebiasaan konsumen di sana dicelup di kopi, jadi tidak boleh hancur. Berbeda dengan di Amerika Serikat yang harus lebih manis, sementara di Inggris harus lebih creamy.
“Understanding the market adalah keharusan. Kita tidak bisa menjual apa yang hanya menurut kita enak. Karena di sini kita berbicara soal makanan, soal rasa. Riset harus dilakukan. Namun, tampilan juga penting. Beda negara beda tampilan, termasuk menyesuaikan dengan bahasa negara tujuan ekspor,” ujar Helianti.
KTBR pun juga melakukan hal serupa. Modifikasi produknya mutlak harus dilakukan. Misalnya, KTBR harus menghapus warna hitam di gerainya dan diganti menjadi putih untuk gerai di Banglades.
Warna hitam bagi warga Banglades punya arti kurang baik. Begitu juga di Belanda, bahan-bahan dasar pembuatan produknya harus diganti dengan mutu yang lebih baik seiring dengan kepedulian akan kesehatan yang sudah tinggi di masyarakatnya. Hasilnya, produknya pun meningkat jadi premium.
“Packaging atau tampilan menjadi salah satu yang terpenting. Desain harus diterima oleh masyarakat internasional. Bagi Baba Rafi, kami juga mencantumkan label yang lengkap dan jelas. Di situ tertera keterangan hingga kelengkapan syarat dan perizinan,” ungkap Nilam. [VTO/ADT/ACA]
Food Startup Indonesia Bantu Kembangkan Usaha Kuliner
Tak pernah ada dalam benak Ayesha Kusuma Wardhani bahwa bisnisnya bisa menjejak ke tahapan yang lebih serius. Usaha katering sehatnya yang bernama Soul in A Box kini sudah mendapatkan pendanaan dari 3 angel investor dan 1 modal ventura. Ini berkat keikutsertaannya di ajang Food Startup Indonesia (FSI) yang diselenggarakan oleh Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf).
“Ajang ini efeknya besar sekali untuk perkembangan bisnis saya. Padahal, saya tidak berhasil lolos ke 10 besar. Tetapi, saya ternyata bisa bertemu investor dan mendapatkan pendanaan untuk pengembangan usaha,” ujarnya.
Ayesha memutuskan untuk ikut serta ajang FSI setelah mengetahui usahanya berkembang cukup pesat, dari hanya 50-an boks per hari, membesar menjadi 200-250 boks per hari. Ia mulai merasa membutuhkan funding. Ayesha kemudian mengikuti prosedurnya mulai dari pendaftaran hingga mengirimkan pitch deck.
Setelah ikut serta di FSI, ia ternyata mendapatkan banyak manfaat. Selain funding, ia mendapatkan manfaat pengembangan skill dalam hal bisnis kuliner lewat banyaknya pelatihan yang diberikan oleh Bekraf. Di sana dia juga belajar menghadapi investor dan mendapatkan pengalaman dari sesama pelaku kreatif kuliner.
“Saya berharap acara ini bisa dikembangkan lebih banyak di luar Pulau Jawa untuk merangkul lebih banyak pelaku kuliner di luar Jawa yang juga tak kalah kreatif dan banyak sekali jumlahnya,” ujar Ayesha.
Akselerasi startup
FSI yang berada di bawah koordinasi Divisi Akses Permodalan Bekraf memang dibentuk untuk mengakselerasi bisnis wirausaha kuliner Indonesia. Hal ini dikatakan oleh Deputi Akses Permodalan Fadjar Hutomo.
“FSI sejauh ini masih menjadi platform yang kami anggap ideal untuk mendukung pengembangan startup kuliner. “Kami bisa mempertemukan mereka dengan sumber permodalan, baik itu angel investor maupun modal ventura. Dari sini, beberapa yang potensial bisa kami bawa ke ajang lain, seperti Kreatifood,” ujarnya.
Ini merupakan tahun ke-2 penyelenggaraan FSI. Penyelenggaraan pertama pada 2016 hanya bertempat di Yogyakarta. Ternyata, antusiasme peserta tinggi, padahal publikasinya hanya melalui media sosial dan jaringan komunitas. Pendaftarnya mencapai 600-an peserta yang kemudian disaring hingga akhirnya mendapatkan 25 besar, sebelum akhirnya diseleksi lagi hingga 10 finalis.
“Tahun ini, FSI sudah dikembangkan ke tiga kota, yaitu Denpasar, Bandung, dan Yogyakarta. Di setiap kota itu, kita dapat 10 finalis. Jadi, total ada 30 finalis. Mereka akan kita buatkan semacam public expose di pusat keramaian, seperti mal. Ini sekaligus menjadi publisitas sendiri yang efektif bagi mereka. Kemudian, baru mereka pitching ke investor,” ujar pria yang akrab disapa Tommy ini.
Bekraf menggandeng Foodlab untuk FSI. Bersama-sama mereka tidak hanya menyeleksi peserta, tetapi juga mengundang investor untuk melihat sendiri potensi peserta FSI. Tommy membagi dua jenis investor untuk acara ini. Pertama, investor berbentuk lembaga seperti modal ventura dan angel investor. Kedua, pemodal perseorangan yang tertarik menanamkan modal di bidang kuliner.
Dibukanya kesempatan bagi masyarakat umum untuk menjadi investor sebenarnya punya alasan tersendiri. Tommy mengungkapkan, secara tidak langsung FSI mengajak masyarakat berinvestasi di sektor riil yang memang membutuhkan pendanaan.
“Masyarakat pun teredukasi bahwa kesempatan investasi tidak lagi melulu di produk keuangan. Selain itu, model bisnis food startup lebih mudah dipahami investor dalam negeri dibandingkan tech startup,” ungkapnya.
FSI dibuka untuk seluruh wirausaha kuliner Indonesia yang ingin mengembangkan kapasitas bisnisnya. Ajang ini tidak membatasi karakternya, tetapi satu syarat penting yang ditekankan adalah inovasinya. Dari inovasi, diferensiasi tercipta, di mana jadi hal yang penting di dunia bisnis.
Inovasinya pun tidak terbatas di sisi makanan, bisa saja itu dilakukan pada manajemen, sistem, atau bahkan pemasarannya. Inovasi juga menjadi cara bagaimana perusahaan rintisan itu bisa menjadi besar dan berkembang.
“Kita memang mencari startup yang bisa dikembangkan dan punya pertumbuhan bisnis yang eksponensial sehingga diharapkan bisa menjadi entitas bisnis yang kuat ke depannya,” pungkas Tommy. [VTO]
Saatnya Kuliner Lokal Menuju Global
CNN merilis 50 daftar makanan terenak di dunia tahun ini. Hasilnya, rendang dan nasi goreng menempati dua peringkat teratas. Membanggakan, tetapi perasaan itu akan semakin besar apabila ada merek nasional kita yang juga dikenal di luar negeri.
Deputi Bagian Pemasaran Joshua Simandjuntak menyebutkan, inilah saatnya untuk wirausaha kuliner untuk ekspansi ke luar negeri. Sebab, saat ini Indonesia sedang menjadi sorotan dunia dan pemerintah sedang giat membantu serta mendukung kegiatan usaha masyarakat.
Dalam kaitannya dengan kuliner, Bekraf telah melakukan beberapa inisiatif untuk mendukung pelaku bisnis kuliner lokal. Selain Food Startup Indonesia (FSI), Bekraf juga menghadirkan inisiatif Kreatifood.
Diharapkan, setelah menguasai pasar lokal, mereka bisa ekspansi ke luar negeri. Namun, hal itu tidak bisa dilakukan serta-merta. Ekosistem dalam negeri harus dibentuk dulu. Deputi Akses Permodalan Bekraf Fadjar Hutomo atau akrab disapa Tommy menambahkan, usaha tersebut harus sudah memiliki standar dalam bisnis.
Hal ini diamini pendiri Javara Indigenous Indonesia Helianti Hilman. Sebuah perusahaan yang bergerak di kuliner memang harus punya standar, antara lain pada rasa, distribusi, manajemen, food safety, dan lainnya. Apalagi saat ingin merambah pasar luar negeri, di mana negara itu punya standar sendiri dan harus dipenuhi.
Akses permodalan
Pada tahun ini, Bekraf menggandeng Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) atau dikenal dengan Indonesia Eximbank untuk memfasilitasi usaha kuliner dan usaha kecil menengah lainnya yang punya keinginan untuk ekspor.
Direktur Pelaksana II Indonesia Eximbank Indra Wijaya Supriadi mengatakan, kerja sama ini memberikan kesempatan bagi para pelaku ekonomi kreatif di bidang kuliner untuk menembus pasar asing. LPEI memberikan bantuan pembiayaan dan pendampingan berupa layanan konsultasi.
Namun, Indra menyadari, hal ini tidak mudah dilakukan. Pendekatan khusus untuk pelaku ekonomi kreatif harus dilakukan. Selain itu, pihak pemberi modal seperti perbankan juga harus mulai menyesuaikan diri.
“Perbankan mulai mendukung, tapi masih tahap awal. Perbankan dan pelaku kreatif masih mencari titik temu,” ujarnya.
Pembiayaan untuk sektor kuliner dari LPEI diakui Indra masih kecil angkanya. Untuk itulah kerja sama dengan Bekraf diharapkan mampu meningkatkan porsi pembiayaan di sektor kuliner. Tentunya, LPEI berharap pembiayaan ini bisa membuat merek lokal bisa go international. Namun, beberapa opsi yang kini paling ideal adalah dengan membiayai pengusaha kuliner Indonesia yang memang sudah membuka usaha di luar negeri.
“Opsi ini bisa dilakukan karena ada beberapa restoran Indonesia yang buka di luar negeri dan ramai dikunjungi orang setempat. LPEI bisa membantu mereka untuk mengembangkan usahanya, misalnya membuka cabang. Limit pembiayaan bisa sampai Rp 50 miliar. Bunga kreditnya, disebut kredit usaha rakyat berorientasi ekspor (KURBE) sebesar 9 persen,” ujarnya.
Sementara itu, bagi usaha kecil menengah berorientasi ekspor (UKME) juga mendapatkan perlindungan akan produk yang diekspornya dengan disediakannya asuransi piutang dagang ekspor. Kini, total asuransi piutang dagang ekspor LPEI sudah mencapai Rp 1 triliun. LPEI tidak hanya memberikan modal dalam bentuk uang. Jasa konsultasi dan pendampingan berupa pelatihan pun dilakukan.
Pelatihan memang penting untuk peningkatan kapasitas sebuah bisnis. Bekraf juga memiliki inisiatif itu, disebutnya Bimbingan Teknis (Bimtek). Bimtek yang pernah dilakukan oleh Bekraf, yaitu pelatihan pembuatan kemasan yang menarik atau packaging. Pelatihan ini penting karena bisa membantu menarik perhatian konsumen dan pada akhirnya laku di pasar.
Kegiatan ini pernah diadakan Bekraf untuk UKM di Kota Bogor tahun lalu. Selama tiga hari, para pelaku UKM itu diberikan pemahaman terkait kemasan. Pelaku UKM itu juga mendapatkan kesempatan untuk praktik langsung mengemas produknya agar menarik. Dari sini, Bekraf berharap, pengusaha kuliner mau melakukan perubahan dalam kemasannya agar produknya bisa diterima dan laris di pasar. [VTO]
Foto-foto dokumen Bekraf, dokumen Baba Rafi, dokumen Javara.
Artikel ini di Harian Kompas edisi 11 September 2017