/CERITA.

Oleh Felicia Hwang
Instagram : @felicehwang
Twitter :@felicehwang

Tak dimungkiri, mengenyam pendidikan di luar negeri sedikit banyak berpengaruh positif pada saya hingga saat ini.

Masih lekat dalam ingatan saya, keinginan pergi sekolah ke luar negeri adalah untuk bertualang. Tinggal di kota yang jauh dari hiruk-pikuk metropolitan, yaitu Bandar Lampung, membuat saya ingin tahu, bagaimana sih hidup di luar negeri. Saya ingin ke Amerika Serikat, kala itu. Sayangnya, papa tidak mengizinkan karena umur saya masih 15 tahun dan tidak ada saudara di sana.

“Kalau mau sekolah, ya di Singapura. Kalau tidak mau, ya kamu tetap di sini (Bandar Lampung),” katanya.

Jadi, daripada tidak sama sekali, saya ikuti kemauannya. Kala itu, saya punya banyak pertimbangan. Karena masih SMA 1, apakah saya harus mengulang kembali SMA di sana? Sekolah mana yang bagus untuk saya? Apa saja syaratnya? Berapa biayanya? Banyak per­timbangan bagi saya.

Foto-foto dokumen pribadi.

Saya pun harus menjalani tahap O level. Saya harus belajar selama 1 tahun dan mengikuti ujiannya, seperti ujian kelulusan SMA. Dari situ, saya bisa melanjutkan degree dan memilih jurusan Accounting and Finance di Management Development Institute of Singapore selama 3,5 tahun.

Singapura disukai oleh orangtua karena negara ini terbilang aman dan bersih, serta memiliki standar pendidikan sangat baik. Namun, hal yang paling berharga adalah saya belajar banyak tentang budaya negara lain. Karena, warga Singapura terdiri dari banyak ras, antara lain Tionghoa, Melayu, Kaukasia, dan lainnya.

Saya juga belajar banyak dari budaya Singapura yang mengajarkan saya untuk meng­hargai waktu (jangan datang terlambat), menghargai budaya antre (selalu disiplin dalam antre), dan membuang sampah pada tempatnya (sampai sekarang, saya sudah kebiasaan tidak membuang sampah sembarang).

Saya juga terbiasa memen­tingkan pendidikan ka­re­na sangat jarang saya menemukan teman yang membolos, malas belajar, dan main-main dalam hal akademis. Mereka sangat menjunjung tinggi pendidikan.

Di Singapura, saya wajib berbahasa Inggris dan terekspos dengan Mandarin. Terbiasa meng­gunakan bahasa Inggris sangat mendukung karier saya. Dari bisa berkomunikasi dengan dengan orang dari berbagai negara hingga men­jalin hubungan kerja. Ilmu di Singapura juga membantu saya saat berkompetisi di Miss International.

Tahap demi tahap

Sebenarnya untuk bisa bersekolah di luar negeri tidaklah susah, asal semuanya dipersiapkan dengan baik. Pertama, kamu bisa mencari info dahulu tentang sekolah-sekolah di Singapura. Lalu, hubungi pihak sekolah untuk me­nanyakan persyaratan yang harus dilengkapi beserta biayanya dan akomodasi di sana.

Kamu juga akan menjalani tes tertulis di sekolah tersebut, yang berarti harus terbang ke sana. Ujian itu untuk menentukan level akademis. Tentu saja, kamu harus mempersiapkan mental karena tinggal di sana sendirian. Oleh karena itu, lakukan riset tentang hidup di negara itu. Persiapkan dokumen dan harus menguasai bahasa Inggris.

Dokumen dokumen yang disiapkan harus dalam bahasa Inggris dan dilegalisir (akta lahir, akta keluarga, rapor, dan lain-lain). Pada waktu itu, saya minta tolong dari guru bahasa Inggris untuk menerjemahkan rapor saya dan melegalisirnya lewat notaris. Puji Tuhan semua dapat disiapkan dengan baik. Saran saya, selalu siapkan semuanya dengan baik dan selalu double check dengan pihak sekolah apabila semua persyaratannya sudah cukup. Selamat belajar.

/CUTTING EDGE.

Dari Minat Menonton Sepak Bola

Timothy Astandu
Managing Director Populix/ Travel Blogger
@timoventures

Dari SMA, saya ingin kuliah di kota besar dan bisa menonton sepak bola. Asia dan Australia tidak terlalu menarik bagi saya. Jadi, saya bulatkan tekad belajar di Inggris karena selain kualitas pendidikannya yang bagus, sepertinya kuliah di Oxford atau Cambridge seru, soalnya mirip seperti hidup di dalam dunia Harry Potter.

Beruntung, saya dapat beasiswa penuh dari Cambridge untuk gelar PhD. Sembari kuliah, saya menyempatkan traveling sebanyak-banyaknya.

Foto dokumen pribadi.

Kebiasaan tersebut terbawa sampai sekarang. Total sudah 106 negara saya kunjungi. Pengalaman paling mengesankan, tentu bisa nonton sepak bola langsung di stadion. Saya bisa nonton derby match di berbagai stadion di Eropa.

Namun, manfaat bagi saya sendiri adalah bisa beradaptasi di negeri orang dan bertemu dengan banyak orang dari negara lain.

Saya sekarang mendirikan startup riset Populix di Jakarta. Tujuannya, penggunaan teknologi dalam riset menjadi lebih murah, efisien, dan hasilnya lebih akurat. Bersama Sun Education saya sering mengadakan seminar untuk memotivasi pelajar di Indonesia beraspirasi mendapatkan beasiswa ke universitas-universitas top di dunia.

/LITERASI.

Kuliah di Mancanegara, “Prove and Improve”

Oleh : Marlistya Citraningrum
Email : m.citraningrum@gmail.com
Twitter : @mcitraningrum
Instagram : @mcitraningrum

Ketika akan mendaftar untuk kuliah di luar negeri, banyak yang mensyaratkan motivation letter. Secara sederhana, “surat” ini adalah paparan untuk menjawab pertanyaan “mengapa” pelamar hendak masuk jurusan atau universitas yang dituju. Pertanyaan yang sama saya ajukan pada diri sendiri sebelum akhirnya melanjutkan kuliah di Taiwan, sepuluh tahun lalu.

Kemudian, mengapa saya memutuskan untuk belajar lagi di jenjang yang lebih tinggi? Ada dua premis untuk menggali jawaban rasional atas pertanyaan itu. Premis pertama, pendidikan (tinggi) hanya milik mereka yang berduit dan punya akses. Premis kedua, masih ada pemikiran perempuan tidak perlu sekolah sampai tinggi, wong ujung-ujungnya hanya di rumah.

Foto dokumen pribadi.

Pada waktu itu, akses informasi soal beasiswa kuliah lanjut belum banyak didapatkan secara online. Oleh karena itu, saya punya alasan untuk “prove” atau membuktikan. Bukan soal keinginan membuktikan diri pada orang lain bahwa saya, seorang perempuan, bisa menempuh pendidikan tinggi dengan beasiswa. Namun, lebih pada keinginan untuk menjawab beragam tanya dan rasa penasaran terhadap banyak pertanyaan. “Apakah untuk kuliah di luar negeri itu berat?” Saya ingin bukti “ya itu berat”, atau sebaliknya. “Apakah mengatasi tantangan perbedaan budaya bisa dalam waktu singkat?” Dan, banyak pertanyaan lain dan semua ingin saya jawab pengalaman.

Selain prove, saya ingin improve, berkembang ke arah lebih baik. Perempuan tak perlu sekolah tinggi? Justru sebagai perempuan, saya merasa perlu mengembangkan diri tanpa kenal batasan jender. Belajar di mancanegara menjadi medan pembelajaran untuk berjuang mendapat beasiswa, mengenal negara dan orang baru, serta meningkatkan kompetensi dan logika berpikir. Waktu 5 tahun untuk lulus menyadarkan saya, perjuangan menggali ilmu tidak instan. I have improved, a lot.

Kombinasi prove dan improve inilah yang membuat saya yakin untuk kuliah di mancanegara dan bertahan ketika kondisinya menantang. Saya pergi ke Taiwan sebagai sarjana, dan pulang dengan sematan panggilan “doktor”. Really not bad for a 26-years old girl from a small village in Indonesia.

/KOLEKTIF.

Perpustakaan Futuristis di China

Buku tidak bisa lepas dari pendidikan. Negara dengan perpustakaan yang baik bisa dipastikan punya pendidikan yang bagus dan negaranya maju. Namun, ada satu perpustakaan di China yang tidak hanya menampung banyak buku, tetapi juga berdesain interior futuristis. Perpustakaan itu bernama The Tianjin Binhai New Area Library atau Perpustakaan Area Baru Tianjin Binhai.

Perpustakaan bertingkat lima ini menempati area seluas 33.700 meter persegi dan mampu menampung hingga 1,2 juta buku yang sebagian besar tentang sains fiksi. Perpustakaan ini memiliki desain unik menyerupai mata raksasa ini sehingga sering disebut The Eye of Binhai.

Bangunan bundar tersebut merupakan auditorium. Di sini, ada area membaca di lantai dasar, lounge di bagian tengah, ruang rapat, ruang audio atau komputer, dan kantor.
Perpustakaan ini hasil dari kolaborasi antara perusahaan arsitektur Belanda dan MVRDV dan Institut Desain dan Perencanaan Urban Tianjin (TUPDI). Sejak dibuka 1 Oktober 2017, perpustakaan ini telah ramai diunggah di media sosial. Warna putih mendominasi ruangannya.

Interior sengaja dirancang menyerupai gua dengan bentuk kontemporer. Bagian dalam bangunan yang terlihat menyatu ini menjadi simbol interaksi yang tak berkesudahan antara media dan ilmu pengetahuan.

Bangunan ini melengkapi ragam bangunan indah di China. Perpustakaan ini pun menjadi ruang publik indah untuk mendukung kegiatan masyarakat China. [*/VTO]

/ULAS.

Kejar Mimpi Kuliah di Luar Negeri

Kuliah di luar negeri, bagi beberapa orang, seolah cuma mimpi. Tak hanya mendapatkan pendidikan yang lebih spesifik, tetapi juga suasana belajar yang berbeda. Kuliah di luar negeri juga membuka kesempatan lainnya, misalnya berwisata atau mendapatkan pekerjaan. Namun, sering kali impian ini terhambat karena kurangnya informasi penunjang, seperti sekolah yang cocok, biaya pendidikannya, ongkos untuk hidup, dan tempat tinggal.

Melihat banyaknya minat orang Indonesia untuk bisa belajar di luar negeri, Sun Education akan menggelar pameran pendidikan World Top 250 Education Expo 2018 di Le Meridien Hotel Jakarta, Minggu (25/3). Pameran ini digelar pukul 13.00 sampai 18.00 dengan menghadirkan 250 kampus terbaik di seluruh dunia. Anda bisa bertanya langsung tentang seluk-beluk pendidikan di luar negeri dengan perwakilan universitas yang hadir.

Selain pameran, akan ada seminar yang menghadirkan beberapa pembicara kompeten, antara lain Managing Director Populix Timothy Astandu, Associate Director and Head Business Unit Gunung Sewu Group Maya Arvini, arsitek Mulia Group Intan Irani, dan CEO Merah Cipta Media Antonny Liem. [*]