Daya saing Indonesia dalam perdagangan global masih rendah. Salah satu penyebabnya, kurangnya penerapan teknologi untuk menghasilkan produk bernilai tambah tinggi. Cita-cita Indonesia untuk mengembangkan industri berbasis inovasi teknologi pun diupayakan dengan inisiatif pembangunan Kawasan Sains dan Teknologi (KST).

Kawasan Sains dan Teknologi (KST) atau Science and Technology Park (STP) adalah pro­gram Nawa­cita peme­rintah yang telah tercantum dalam Rencana Pem­bangunan Jangka Me­nengah Na­sional (RPJMN) 2015–2019. Untuk men­dorong kesuksesannya, pemerintah juga telah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) No 106 Tahun 2017 ten­tang Kawasan Sains dan Teknologi se­bagai landasan hukum KST.

KST adalah wahana yang di­ke­lola secara profesional untuk mengem­bangkan dan mendorong pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan melalui pengembangan, penerapan ilmu penge­tahuan dan teknologi, dan penumbuhan perusahaan mula berbasis teknologi. KST mengusung konsep sinergi antara akademisi, pelaku usaha, pemerintah, dan masyarakat untuk mewujudkan industri yang berdaya saing.

Salah satu contoh produk hasil tenant Coffee Cocoa STP Jember yang atas rekomendasi dari Disperindag telah berkontrak dengan Transmart.

Berdasarkan RPJMN 2015–2019, pemerintah menargetkan pembangunan 100 KST untuk selesai pada 2019; 60 di antaranya dibangun pada 2015. KST ini ditetapkan Badan Perencanaan Pem­bangunan Nasional dan dikelola Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi; Kementerian Per­tanian; Kementerian Perindustrian; Kementerian Kelautan dan Perikanan; Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia; dan Badan Tenaga Nuklir Nasional. Namun, pada 2016 pemerintah merevisi target itu menjadi 22 KST, dengan KKP mengundurkan diri sebagai pengelola.

Direktur Kawasan Sains dan Tek­nologi dan Lembaga Penunjang Lainnya Kementerian Ristek dan Dikti Lukito Hasta Pratopo mengatakan, kendala utama tercapainya target 100 KST adalah perbedaan definisi mengenai KST. Umumnya, pihak-pihak yang mengelola KST kurang menyadari bahwa target KST sampai pada dirintisnya perusahaan mula berbasis teknologi.

“KST menargetkan level kesiapan teknologi atau technology readiness level (TRL) pada angka 7 sampai 9. Ini adalah tahap prototipe, pengolahan menjadi produk massal, sampai kesediaan pasar. Sementara masih banyak yang TRL-nya 1 sampai 6, ini masih tahap riset dasar,” tutur Lukito, Jumat (23/11/2018).

Butuh dukungan

Produk medical devices STP UGM yang bekerja sama dengan PT Phapros.

Saat ini, Kemenristek dan Dikti beserta kementerian dan lembaga lain yang terlibat dalam pengelolaan KST ber­fokus untuk mematangkan 22 KST yang telah ditetapkan, antara lain KST Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Gadjah Mada (UGM), Ban­dung Techno Park, Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Pus­piptek), Solo Techno Park, Coffee and Cocoa Science Techno Park (CCSTP) Jember, dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Hal ini tentu saja membutuhkan dukungan banyak pihak, baik dari kalangan industri, pemerintah daerah, maupun masyarakat.

Industri jangkar (anchor industry) saat ini sangat dibutuhkan dalam men­do­rong keberhasilan KST. Industri be­sar yang masuk ke KST akan mem­ban­tu mengakselerasi kelambanan per­kem­­bangan KST, khususnya dalam mem­­pro­duksi produk massal dan memasarkannya.

“Industri jangkar bisa berperan se­bagai angel investor atau memberikan investasi tanpa bunga yang tinggi, juga sebagai tenant sekaligus pasar di dalam KST sendiri. Mereka juga bisa memberikan ide-ide tentang ino­vasi baru berdasarkan pengalaman me­re­ka. Sementara itu, keuntungan industri jangkar sendiri antara lain mendapatkan privilese untuk masuk ke KST, mendapatkan lahan sesuai kebutuhan mereka, dan mengokupasi produk-produk yang dihasilkan. Jadi, kolaborasi ini saling menguntungkan,” terang Lukito.

KST yang sudah bekerja sama dengan industri, antara lain Bandung Techno Park dengan PT Telekomunikasi Indonesia Tbk, Puspiptek dengan PT Bio Farma, KST UGM dengan PT Phapros, KST Institut Teknologi Se­puluh Nopember (ITS) dengan Garasindo, dan Solo Techno Park de­ngan PT Garuda Maintenance Facilities (GMF). Dengan kerja sama ini, diharapkan KST bisa lebih cepat mengakses industri dan pasar.

Aktivitas produksi di STP UGM (foto-foto: dokumen Kemenristekdikti)

Lukito mengatakan, peran peme­rintah daerah juga vital dalam hal ini. “Pemda bisa menyiapkan sarana dan prasarana dasar seperti lahan, listrik, air, transportasi, dan akses. Selain itu, juga melakukan pendampingan anggaran setelah nanti KST beroperasi,” kata Lukito.

Ketika KST telah berjalan, masya­rakat juga akan bisa ikut merasakan dampak ekonominya. Lukito mencon­tohkan, masyarakat bisa menjadi pemasok untuk industri-industri yang membutuhkan bahan baku tertentu, misalnya tanaman obat untuk KST UGM yang mengolah obat-obatan herbal. Industri-industri baru juga pasti membutuhkan SDM sehingga lapangan kerja pun terbuka lebih luas.

Membangun dan mematangkan KST adalah perjalanan yang tidak sing­kat serta membutuhkan komitmen ba­nyak pihak. Tiap pihak mestinya mendu­kung sesuai dengan kapasitasnya, demi terwujudnya Indonesia yang lebih berdaya saing. [NOV]

Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 27 November 2018.