Sejak pagi hari, sebanyak 6.200 anak-anak berkumpul di tanah lapang puncak bukit Fulan Fehan, Desa Dirun, Kecamatan Lamaknen, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur, pada Sabtu (28/10). Para pelajar itu hendak menampilkan Tari Likurai untuk memeriahkan Festival Fulan Fehan, sekaligus merayakan Hari Sumpah Pemuda, yang diadakan oleh Pemerintah Kabupaten Belu.

Pergelaran tarian khas masyarakat Belu ini men­dapatkan peng­hargaan dari Museum Rekor-Dunia Indonesia (Muri) karena menampilkan pe­nari Likurai terbanyak di dunia. Penghargaan ini diterima oleh Bupati Belu Wilybrodus Lay dan disaksikan oleh Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo.

Pencapaian ini bukanlah tujuan utama. Hal ini dikatakan oleh koreografernya Eko Supriyanto me­lalui telepon, Kamis (9/11). Apresiasi ini diperuntukkan bagi masyarakat Belu dan Timor Leste serta Pemda Belu yang tetap mendukung keberadaan kebudayaan aslinya.

“Ini menjadi sebuah tonggak atau penanda penting secara transformatif bahwa di Atambua, khususnya di Belu, ada seni tari yang luar biasa. Sebab, tarian ini hanya ada di Belu dan telah menjadi muatan lokal di sini. Masyarakat di Timor Leste yang dekat dengan Belu juga dilibatkan karena mereka juga mengenal tari ini sebelum Timor Leste berpisah dari Indonesia. Beberapa dari mereka pun juga ada yang mempunyai hubungan saudara. Hal ini juga sekaligus mempererat hubungan antara dua negara, terutama di perbatasan,” ujarnya.

Tarian Likurai sendiri merupakan sebuah tarian perang khas masyarakat Pulau Timor, khususnya di Kabupaten Belu dan Malaka. Biasanya, tarian ini dilakukan untuk merayakan kemenangan perang. Pasca-Kemerdekaan, tradisi pemenggalan kepala dihapus. Sekarang, tari Likurai dipertunjukkan saat upacara adat, penyambutan tamu penting, atau pertunjukan seni dan budaya.

Eko bercerita, tantangan dalam menyiapkan pertunjukan ini adalah soal akses menuju ke seluruh sekolah yang tersebar di 12 kecamatan di Belu dan Malaka, serta Timor Leste. Eko yang dibantu tim dari Institut Seni Indonesia (ISI) Solo juga harus mengatur waktu latihan koreo secara terpisah dan dilakukan per kecamatan. Baru sekitar 3-4 hari sebelum hari-H, latihan gabungan dimulai. Persiapan ini sudah dilakukan sejak Mei 2017.

Dokumen Bekraf dan Suroto Pincuk

Sebelum pertunjukan tari Likurai secara kolosal ini, pada pertengahan Agustus 2017, juga terjadi pemecahan rekor. Di Kabupaten Gayo, Aceh, dilakukan pertunjukan Tari Saman secara massal dengan menampilkan 12.262 penari. Rekor ini merupakan yang kedua kalinya setelah pada 2014 sukses menghadirkan 5.057 peserta.

Pemecahan rekor Tari Saman ini sendiri men­dapatkan perhatian dari dunia. Daily Mail dari Inggris, Turkis Radio and Television Corporation dari Turki, kantor berita Perancis AFP, Manilla Bulletin dari Filipina, dan The Star Online dari Malaysia ikut memberitakan pemecahan rekor ini.

Indonesia memang memiliki kesenian yang sangat beragam dan menarik perhatian dunia saat ini. Walaupun demikian, Eko mengatakan, jangan sampai kesenian Indonesia, terutama seni pertunjukkan, dilihat dari konteks pariwisata saja. Harus ada pemahaman kompleksitas yang lebih luas lagi.

Lebih jauh dia mengatakan, kesenian Indonesia, misalnya tari, harus dieksplorasi lebih jauh lagi. Kalau dulu, kesenian seperti tari hanya berpusat di Jawa-Bali, sekarang sudah harus keluar. Oleh karena itu, sebuah kajian dan diskusi di ranah pendidikan harus terus dilakukan.

“Sebab, kesenian itu punya banyak fungsi, misalnya melawan kapitalisme atau sebagai alat pemersatu bangsa. Pemerintah harus lebih mendukung seni pertunjukan daerah lain, agar para seniman di sana bisa tampil dan menunjukkan karyanya,” ujar Eko.

Apresiasi asing

Pemikiran Eko memang benar adanya. Kesenian Indonesia sudah banyak mendapatkan tempat dan apresiasi, termasuk dari dunia internasional. Mereka perlahan sudah melihat bahwa Indonesia tidak hanya punya kesenian etnik atau tradisional, tetapi juga kontemporer.

Pada 21 September–8 Oktober 2017, Indonesia berkesempatan menampilkan seni kontemporernya di salah satu festival seni kontemporer internasional terbesar di Australia. Selama 3 tahun belakangan, seniman Indonesia diberikan kesempatan lebih besar. Hal ini terjadi sejak 2015, saat Joseph Mitchell ditunjuk menjadi direktur artistik OzAsia Festival.

Ketua delegasi Indonesia di OzAsia Festival Rama Thaharani mengatakan, sebelumnya beberapa seniman Indonesia sudah pernah tampil, tetapi hanya satu atau dua seniman. Namun, 3 tahun terakhir, sudah banyak seniman berpartisipasi. Mereka yang pernah tampil adalah Animal Pop Family, Darlane Litaay (berkolaborasi dengan Tian Rotteveel), Ega Robot, Eko Nugroho, Eko Supriyanto, Eyuser, Filastine & Nova, Melati Suryodarmo, Mess56, Mocca, Papermoon Puppet Theatre, Rianto, Riau Rhythm Chambers Indonesia, Risky Summerbee and the Honeythief, Samba Sunda, Teater Garasi, Topeng Losari, Trah, dan Under the Big Bright Yellow Sun.

Rama melihat, Mitchell memang memiliki visi bagi seniman Indonesia. Salah satunya adalah membuka kesempatan agar seniman profesional Indonesia bisa lebih dikenal di Australia. “Dia ingin memberikan wawasan bagi publik Australia bahwa Indonesia kaya akan kesenian kontemporer, tidak hanya gamelan Jawa ataupun tari Bali. Ia meyakini, mayoritas publik Australia masih mengasosiasikan Indonesia secara kuat ke turistik Bali, bukan ke kekayaan budaya,” ujarnya.

Pada tahun ini, Indonesia melalui Animal Pop Family berkesempatan mengadakan pelatihan untuk murid dan guru sekolah dasar dan menengah, publik, koreografer, serta penari. Tujuannya, memperkenalkan konsep Animal Pop sebagai bentuk koreografi. Adapun, konsep koreo Animal pop ini bersumber dari berbagai bentuk tari, seperti street dance, hip hop, robotik, postur ataupun gerakan hewan. Konsep ini diciptakan koreografer kontemporer asal Papua Jecko Siompo.

“Workshop ini juga bertujuan memperkaya wawasan tentang khasanah tari Indonesia bagi para guru pengajar budaya Indonesia. Dan, menjadikan Animal Pop sebagai salah satu variasi pelajaran tari di sekolah. Eksekusi workshop-nya berbeda-beda, disesuaikan dengan karakter peserta tiap sesi,” ujar Rama via surel, Jumat (10/11).

Lebih lanjut Rama mengatakan, partisipasi dalam sebuah festival tidak semata untuk dilihat atau dikenal. Namun, lebih jauh dari itu, Indonesia bisa masuk ke dalam pergaulan kesenian global, berinteraksi, bertukar wawasan, dan membangun jaringan untuk kemungkinan kerja sama di masa mendatang,

“Sejak lama, kesenian Indonesia berjalan sendiri-sendiri, sehingga gaungnya tidak terdengar. Perlu, strategi pemasaran yang jitu dan konsistensi jangka panjang, seperti yang dilakukan, misalnya oleh Jepang, Korea, dan China. OzAsia Festival jadi salah satu pintu bagi kesenian Indonesia untuk masuk ke situ. Dan, kita perlu banyak pintu lain, baik di Australia maupun dunia internasional pada umumnya,” ujarnya.

Deputi Pemasaran Bekraf Joshua Simandjuntak mengatakan, selain menjadi salah satu cara memperkuat seni kontemporer, khususnya tari, kehadiran Indonesia ke sana juga untuk mempelajari soal penyelenggaraan festival dan membangun jejaring internasional. Dari sini, Bekraf sedang mempersiapkan delegasi Indonesia agar bisa tampil di event yang lebih besar lagi, seperti Adelaide Festival.

“Kita pelajari bagaimana sebuah festival bisa berdampak tidak hanya untuk pertunjukannya sendiri. Ternyata, sebuah festival itu punya dampak bagus secara ekonomi di daerah itu. Kami membayangkan, Indonesia harus bisa membuat festival semacam ini,” ungkap Joshua. [VTO]

Dedikasi untuk menuju Panggung Internasional

Tari merupakan bagian dari seni pertunjukan. Ini menjadi salah satu subsektor ekonomi kreatif.Di Indonesia, sektor ini, saat ini sedang dalam proses pengembangan yang luar biasa.

Data statistik ekonomi kreatif yang dikeluarkan Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf), Maret 2017, memperlihatkan, dalam kurun waktu 2010–2015, besaran produk domestik bruto (PDB) ekonomi kreatif naik dari Rp 525,96 triliun menjadi Rp 852,24 triliun (naik rata-rata 10,14 persen per tahun). Secara keseluruhan, sektor ekonomi kreatif memberikan kontribusi 7,38 persen terhadap total perekonomian nasional.

Dari hal itu, terlihat bahwa posisi sektor ekonomi kreatif tak dapat lagi dipandang sebelah mata. Namun, sayangnya, seni tari yang masuk ke subsektor ekonomi kreatif ini, perjalanannya untuk dapat semakin gemilang di negeri sendiri, masih menemui banyak kendala.

Beragam upaya

dokumen Esti Nimita Sartomo

Memasyarakatkan seni tari agar tetap dapat lestari dan semakin memberikan kontribusi positif bagi bangsa menjadi langkah penting. Koreografer Indonesia dan pendiri Nan Jombang Dance Company, Ery Mefri menyampaikan, untuk dapat berkontribusi dalam melestarikan seni tari Indonesia diperlukan kerja sama antarseniman. Tidak hanya antarseniman tari, tetapi juga lintas bidang.

“Kolaborasi menjadi salah satu cara terbaik agar seni ini dapat semakin kaya gerakannya dan kisahnya sehingga makin menarik untuk dinikmati. Untuk sang seniman, berkolaborasi dapat menjadi cara untuk semakin mengembangkan tarian yang selama ini dilakoni. Jadi, tidak itu-itu saja penampilannya. Selain itu, berkolaborasi merupakan bentuk dari networking yang dimiliki oleh sang seniman. Networking itu penting juga bagi seniman,” terang Ery.

Selain itu, dalam memasyara­katkan seni tari Indonesia, berbagai macam festival tari perlu juga diikuti dan diadakan agar seni ini tak hanya dapat dinikmati oleh sekelompok orang. Dalam lima tahun belakang ini, festival tari yang digelar di Indonesia semakin beragam. Festival ini pun bukan hanya diikuti oleh seniman tari lokal tetapi juga mancanegara.

Festival tari tertua di Indonesia, Indonesian Dance Festival (IDF), misalnya. Festival ini didirikan pada 1992 dan sejak saat itu rutin menggelar acara ini setiap dua tahun sekali. Salah satu pendiri IDF, Maria Darmaningsih menyampaikan, festival tari menjadi wadah penting bagi seniman untuk mempertunjukkan keahliannya.

“Dari mengikuti festival ini, akhirnya juga para seniman dapat memperluas networking,” ujar Maria.

Hal yang perlu diingat agar festival tari Indonesia bisa mendapatkan tempat yang sejajar dengan festival tari ternama dunia lainnya adalah faktor kurasi. “Kurator yang berpengalaman dan terbuka bagi semua orang penting dimiliki. Jadi, diharapkan kurator tak hanya memilih orang-orang dari kelompoknya. Tetapi, jika ada penari dari kelompok lain yang lebih bagus dan memang layak untuk masuk ke festival maka harus dipilih,” ungkap Ery yang juga menjadi penggagas Kaba Festival.

Dokumen Nan Jombang Company

Selain itu, masih ada kendala yang begitu besar dalam menyelenggarakan festival, yaitu dana. Hal ini sempat diutarakan oleh penari profesional dan pemrakarsa SIPA (Solo International Performing Art) Irawati Kusumorasri.

Selama dirinya menggelar SIPA, Ira menyadari betul bahwa sponsorship yang tetap sangat dibutuhkan agar festival ini dapat berlangsung secara berkelanjutan.

“Oleh karena itu, tentu butuh dukungan besar dari pemerintah, tidak hanya daerah, tetapi juga pusat. Banyak hal, mulai dari dana, perizinan, serta birokrasi yang jelas dan dimudahkan ketika kita mengajukan proposal misalnya,” papar Ira.

dokumen Irawati Kusumorasri

Festival menjadi wadah yang bagi seniman tari untuk mempertunjukkan kebolehan tari yang telah dipelajari. Festival juga menjadi langkah penting bagi seniman tari untuk menunjukkan keberadaan mereka, di dalam dan luar negeri.

Yang tak kalah penting, pendidikan menjadi akarnya. Sanggar-sanggar tari atau dance company dengan cakupan yang luas perlu dimiliki. “Soko guru dari tari adalah sanggar tari. Sanggar tari tradisi, misalnya, menjadi sumber generasi muda Indonesia untuk dapat melanjutkan dan melestarikan tari Nusantara. Sanggar-sanggar tari ini perlu selalu dihidupkan dan didukung keberadaannya,” ungkap Ira.

Bukan hanya itu, menyelenggarakan event-event kecil terkait tari seperti workshop, diskusi, atau pertunjukan bulanan juga dapat menjadi langkah dalam memasyarakatkan seni. Seperti yang dilakukan Ery dengan menghadirkan Ladang Nan Jombang. Di tempat ini, setiap bulannya tidak hanya membicarakan dan menampilkan seni tari, tetapi juga seni pertunjukan lainnya.

“Setiap tanggal 3, kami menggelar pertunjukan mini, tempat para seniman bisa berunjuk kebolehan. Banyak seniman tari, khususnya dari berbagai daerah di Sumatera ini sengaja datang untuk dapat tampil di Ladang Nan Jombang. Karena ini sudah menjadi kegiatan rutin, masyarakat pun juga menantikan dan selalu datang untuk menyaksikannya,” papar Ery. [ACH]

Prestasi, prestasi, prestasi

Kelompok paduan suara anak The Resonanz Children’s Choir (TRCC) asuhan Avip Priatna kembali menorehkan prestasi sebagai juara umum pada ajang 49th Tolosa Choral Contest. Pada ajang yang digelar 2–5 November 2017 di Tolosa, Spanyol, itu TRCC juga meraih juara pertama pada kategori Children’s Choir dan Public Audience Award.

Terdiri atas 40 penyanyi anak dan remaja berusia 10–17 tahun, TRCC berkompetisi pada kategori Children’s Choir dengan membawakan lima lagu berjudul “Ihauteri Habanerak” karya David Azurza, “Ikusten duzu” karya komponis Basque Josu Elberdin, “Táncnotá” karya komposer Hongaria Zoltán Kodály, “137 Hip Street” karya Fero Aldiansya Stefanus, dan lagu daerah Papua “Yamko Rambe Yamko” aransemen Bambang Jusana.

dokumen TRCC

Raihan ini menambah panjang deretan prestasi TRCC. Masih segar dalam ingatan, Juli 2017 lalu TRCC juga merengkuh juara umum pada Musica Eterna Roma International Festival & Competition 2017 di Roma, Italia. Kala itu, TRCC juga menjadi juara untuk dua kategori yang diikuti, yaitu kategori Children’s Choir dan kategori Gospel and Spirituals. Kedua raihan ini menjadi kado manis TRCC yang tahun ini genap berusia 10 tahun.

Menurut catatan harian ini, sejak berdiri pada 2007, TRCC memenangi sejumlah kompetisi paduan suara anak, yakni Bali International Competition (2012), Hongkong International Youth and Children Choir Festival (2013), Cantemus International Festival di Hongaria (2014), The Golden Gate International Choral (2015), Claudio Monteverdi Choral Festival and Competition (2016), serta Musica Eterna Roma International Festival & Competition dan Tolosa Choral Contest (2017).

Tekun

Menurut Project Manager TRCC Dani Dumadi, kesuksesan TRCC adalah buah dari minat dan ketekunan dari masing-masing anak. Juga kerja sama yang baik antara para pelatih, orangtua, dan anak-anak.

Ia menuturkan, sebelum mengikuti kontes, persiapan dilakukan sangat serius. “Masing-masing mencoba melakukan tugas dan tanggung jawabnya sebaik-baiknya. Baik pelatih, dalam merencanakan program yang akan ditampilkan, lesson plans serta kegiatan kepelatihannya. Anak-anak dengan tanggung jawab, menjaga kehadiran karena tidak mudah membagi waktu dengan sekolah masing-masing yang berbeda-beda.”

Anak-anak dituntut untuk mempelajari lagu-lagu baik nada, pelafalan, musical phrasing, musical expressios/dynamic, koreografi, dan detail-detail lainnya. “Orangtua dan saya selaku project manager bekerja sama dalam koordinasi logistik dan teknis pergerakan di lapangan serta komunikasi intens dengan panitia kompetisi, melengkapi semua berkas-berkas kompetisi, visa, dan tiket,” papar Dani, yang ketika dihubungi, Kamis (9/11), sedang dalam perjalanan kembali ke Tanah Air.

Lebih jauh, ia menjelaskan, banyak dari anak-anak TRCC yang juga terus mengembangkan diri dengan belajar menyanyi secara privat. “Ini juga sangat membantu memajukan paduan suara ini karena kita bisa berbuat lebih secara grup ketika skill individualnya punya dasar yang solid.

Yang mengagumkan, ungkap Dani, anak-anak TRCC melakukan persiapan kompetisi sambil juga melakukan persiapan pementasan perdana musikal “Suara Hati” dalam rangka memperingati 10 tahun TRCC dan The Resonanz Music Studio. Tidak sia-sia kerja keras mereka, karena membuahkan hasil manis berupa gelar juara serta mengharumkan nama bangsa di pentas dunia. [ACA]

Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 11 November 2017