Dalam berinteraksi di media sosial, sebaiknya kita menghindari menggunakan kata kasar, provokatif, bersifat pornografi, ataupun SARA. Selain itu, hindari berbagi artikel atau status yang sifatnya berbohong, dan jangan copy-paste artikel atau gambar yang mempunyai hak cipta. Mengapa demikian? Indonesia sudah memiliki hukum yang mengaturnya, yaitu Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 sebagai perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Agar terhindar dari hoaks dan hukuman yang diakibatkan olehnya, kita bisa melakukan hal-hal, seperti memperhatikan judul informasi, melihat sumber berita, memeriksa foto dan video, dan selalu mewaspadai bentuk pesan yang sifatnya diteruskan.
Menyikapi hal itu, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) bekerja sama dengan Jaringan Pegiat Literasi Digital (Japelidi) dan Siberkreasi Gerakan Nasional Literasi Digital dalam menggelar webinar dengan tajuk “Melawan Hoax, Cerdas Ber-Media Sosial”. Webinar yang digelar pada Senin (5/7/2021) diikuti oleh sejumlah peserta secara daring.
Dalam forum tersebut, hadir Akhmad Firmannamal PhD (praktisi kehumasan Kementerian Sekretariat Negara RI), Erista Septianingsih (Kaizen Room), Dr Rosnaini Daga SE MM CPHCM (Direktur Pascasarjana Institut Bisnis dan Keuangan Nitro Makassar), Rika Iffati Farihah, MA (Pendiri dan Tim Redaksi Neswa.id), dan Aditya Suryo (influencer) selaku narasumber.
Dalam pemaparannya, Erista Septianingsih menyampaikan informasi, “Beberapa dampak negatif dalam bermedia sosial adalah pengguna akan selalu merasa kurang, mengalami FOMO atau fear of missing out, dapat mengalami gangguan kesehatan, kurang bersosialisasi di dunia nyata, serta gampang terpapar hoaks. Dengan semakin mudah mendapatkan informasi secara online dan real time, dan media yang bervariasi dan saling terhubung atau terkoneksi satu sama lain, menjadi sulit untuk memilah informasi yang mana adalah benar dan mana yang merupakan hoaks. Oleh karena itu, kita memerlukan mindful communication yang merupakan komunikasi dengan penuh perhatian dan melibatkan penerapan prinsip-prinsip perhatian dalam berhubungan dengan sesama agar tidak semakin menyebarkan konten-konten yang bersifat negatif.”
Para partisipan yang hadir juga dipersilakan untuk mengutarakan pertanyaan dan tanggapan. Salah satu peserta bernama Petrus menyampaikan, “Jejak digital memang tidak bisa dihilangkan. Jika seluruh perusahaan mencari jejak digital untuk para pelamar pekerjaannya, bagaimana jika memang ada jejak digital yang buruk, sedangkan jejak digital itu sudah bertahun-tahun lamanya dibuat sebelum pelamar memiliki pemikiran yang lebih matang. Apakah itu tindakan yang adil jika perusahaan melakukan tindakan sampai tidak jadi menerima lamaran pekerjaan karena jejak digital yang sudah lama dibuat?”
Pertanyaan tersebut pun dijawab dengan lugas oleh Rika Iffati Farihah, “Harus menyadari bahwa segala sesuatu yang kita share bisa saja dianggap negatif dan ketika perusahaan mengatakan demikian, akan dipertimbangkan dengan baik mengenai apa pun itu. Walau begitu, mereka juga bisa mempertimbangkan kualifikasi yang lain. Semua harus berawal dari diri sendiri; kita harus lebih pede dan yakin kalau kita memiliki kualifikasi yang pantas dan baik, asal rekam jejak negatif itu tidak terus-menerus polanya berulang, dan kita mau untuk memperbaiki diri sendiri.”
Webinar ini merupakan salah satu rangkaian kegiatan literasi digital di Jakarta Barat. Kegiatan ini pun terbuka bagi semua orang yang berkeinginan untuk memahami dunia literasi digital. Untuk itulah penyelenggara pada agenda webinar selanjutnya, membuka peluang sebesar-besarnya kepada semua anak bangsa untuk berpartisipasi pada webinar ini melalui akun Instagram @siberkreasi.dkibanten.
Kegiatan webinar ini juga mengapresiasi partisipasi dan dukungan semua pihak sehingga dapat berjalan dengan baik, mengingat program literasi digital ini hanya akan sukses mencapai target 12,5 juta partisipan jika turut didukung oleh semua pihak yang terlibat.