Mewujudkan lingkungan yang inklusif dan ramah terhadap penyandang disabilitas merupakan manifestasi amanat yang terkandung dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
Merespons amanat tersebut serta semakin meningkatnya diskursus mengenai inklusivitas, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (Fisipol UGM) tengah bersiap diri menjadi kampus inklusif. Hal tersebut disampaikan oleh Wakil Dekan Bidang Keuangan, Aset, dan Sumber Daya Manusia, Nurhadi Susanto.
Nurhadi mengatakan, saat ini berbagai upaya telah dilakukan oleh Fisipol UGM untuk mendukung terwujudnya kampus inklusif. Salah satu aspek utama yang patut disoroti adalah upaya rehabilitasi dan pembenahan infrastruktur kampus yang masih belum cukup akomodatif bagi kawan-kawan difabel.
Pembangunan infrastruktur ramah disabilitas di Fisipol UGM meliputi instalasi guiding block, ramp, serta handrail atau pegangan tangan dalam lift. Selain itu, rencana untuk memperbaiki aksesibilitas fasilitas toilet yang kurang akomodatif bagi pengguna kursi roda juga tengah diupayakan.
“Fisipol UGM memang sangat bersemangat dan berkomitmen untuk menginvestasikan fasilitas yang ramah difabel,” kata Nurhadi.
Untuk memastikan bahwa proses pembangunannya tepat dan sesuai, Fisipol UGM juga melibatkan teman-teman difabel untuk memantau dan mengevaluasi proses perencanaan, implementasi, hingga saat digunakan.
Nurhadi menambahkan, penting untuk memiliki sumber daya manusia (SDM) yang tanggap dan responsif dalam berinteraksi dengan civitas akademika maupun tamu yang ada di kampus. Dirinya mengakui bahwa hal tersebut merupakan tantangan karena tidak semua orang memiliki pengalaman berinteraksi dengan difabel.
Menurut Slamet Thohari, Ketua Australia-Indonesia Disability Research and Advocacy Network (AIDRAN), berinteraksi dengan difabel tidak jauh berbeda dengan berinteraksi dengan orang-orang pada umumnya. Tentu, terdapat perbedaan dalam kemampuan penyandang disabilitas sehingga memerlukan beberapa kebutuhan khusus. Namun, hal tersebut tak lantas membuat mereka harus diperlakukan secara berbeda.
Menurutnya, yang harus dilakukan adalah dengan berinteraksi dan bergaul sebaik mungkin. Melalui hal tersebut, nantinya akan ada pola interaksi yang akan terbentuk dan ditemukan dengan sendirinya. “Berinteraksi seperti biasa saja, yang penting adalah menawarkan bantuan dan memastikan apakah butuh bantuan atau tidak,” ujar Slamet.
Mewujudkan kampus inklusif tidak cukup dilihat dari segi infrastruktur dan SDM saja, membangun ekosistem yang inklusif di lingkungan akademik juga penting untuk dilakukan.
Menurut Budi Irawanto, Dosen Fisipol UGM, terdapat tiga poin penting yang harus diperhatikan untuk membangun ekosistem yang inklusif. Pertama, perlunya partisipasi serta keterwakilan penyandang disabilitas dalam civitas akademika, baik mahasiswa maupun staf, tenaga pendidik, hingga dosen.
Kedua, fasilitas dalam proses pembelajaran yang akomodatif bagi penyandang disabilitas, seperti kemudahan akses terhadap materi pembelajaran hingga adanya sesi tutorial khusus bagi mahasiswa difabel. Ketiga, adanya integrasi isu dan perspektif disabilitas dalam kurikulum akademik melalui mata kuliah, riset, hingga diskusi-diskusi akademik.
“Poin terakhir ini sangat penting karena isu disabilitas akan menjadi bagian dari wacana akademik, dampaknya lebih longlasting,” ungkap Budi.
Sejalan dengan pendapat Budi, Fisipol UGM juga menyadari pentingnya membawa isu dan perspektif disabilitas ke ranah akademik sebagai salah satu upaya mewujudkan kampus inklusif. Di samping perbaikan infrastruktur, komitmen Fisipol UGM juga tercermin dalam pelaksanaan acara International Conference on Disability Rights (ICDR) pada 21-23 November 2023 di Yogyakarta dengan Fisipol UGM sebagai tuan rumah konferensi tersebut.
ICDR merupakan konferensi 2 tahunan AIDRAN atau AIDRAN Biennial Conference yang ketiga. Tahun ini, konferensi diselenggarakan dengan kolaborasi berbagai pihak, yaitu dengan UGM, Kemitraan Australia-Indonesia Menuju Masyarakat Inklusif (INKLUSI), serta Australian Catholic University (ACU). Dengan tajuk “Advancing Disability Rights: Disability Inclusive Development Reimagined”, konferensi berfokus pada konsep Pembangunan Inklusif Disabilitas atau Disability-Inclusive Development (DID).
Konferensi ini terselenggara sebagai forum yang dapat memberikan wadah terhadap berbagai macam diskusi, refleksi, serta rekomendasi yang bertujuan mengakhiri marginalisasi terhadap penyandang disabilitas dalam berbagai aspek pembangunan. Di antaranya, dapat menjadi tonggak awal UGM mewujudkan lingkup kampus yang inklusif.
“UGM telah berkomitmen untuk terus mengembangkan lingkungan kampus yang inklusif dan berjanji untuk terus mendukung inisiatif dan kolaborasi terkait isu ini. Konferensi ini merupakan kesempatan bagi kita untuk saling memahami tantangan masing-masing dan merumuskan solusi bersama,” ungkap Rektor UGM Ova Emilia.
Pada 2024, Fisipol UGM akan terus berupaya mewujudkan komitmennya sebagai kampus ramah disabilitas, baik melalui pengembangan infrastruktur maupun pengembangan eksosistem yang inklusif di ranah akademik.