Beberapa kejadian bencana besar yang terjadi di Indonesia dengan korban jiwa dan infrastruktur antara lain gempa dan tsunami di Aceh (2004) yang menelan ratusan ribu korban jiwa, Yogyakarta (2006), Padang (2009), Yogyakarta dan Wasior (2010), dan terakhir dua bencana besar di tahun 2018 meluluh lantakkan Lombok dengan gempa yang mengakibatkan rumah rusak berat, serta Palu yang diterpa gempa, tsunami disertai likuefaksi yang menelan banyak korban jiwa.
Kejadian bencana yang berturut-turut tersebut memperingatkan bangsa Indonesia untuk mempersiapkan Kota Tangguh Bencana untuk mengurangi dampaknya yaitu tingginya korban jiwa khususnya yang rentan terhadap bencana (perempuan, wanita hamil, serta anak-anak), kerusakan infrastruktur, meningkatnya kemiskinan, penurunan produksi, dan produktivitas tenaga kerja, mempertinggi ketimpangan ekonomi, serta mengancam ketahanan pangan nasional. Direktur Jenderal Cipta Karya, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Danis Hidayat Sumadilaga menyatakan bahwa gempa tidak membunuh manusia, tetapi bangunan yang rubuh akibat gempa yang mengakibatkan korban jiwa.
Pembelajaran
Menurut Direktur Pengembangan Kawasan Permukiman Didiet Arief Akhdiat, sebagai unit organisasi pada Direktorat Jenderal Cipta Karya yang menangani perencanaan kawasan permukiman, penanganan rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana yang selama ini telah dilakukan Kementerian PUPR menjadi pembelajaran untuk mendukung perwujudan kota berketahanan pada masa yang akan datang.
Sinergi dalam pengelolaan risiko bencana dimulai dari identifikasi kawasan rentan bencana, perencanaan kawasan, pengendalian pemanfaatan ruang, penyelenggaraan infrastruktur berbasis kebencanaan, serta teknologi dalam mitigasi dan adaptasi terhadap bencana.
Kolaborasi lintas instansi dalam pembangunan Rumah Instan Sederhana Sehat (RISHA), lokasi NTB. Sejalan dengan komitmen New Urban Agenda (NUA) di Quito tahun 2016, disepakati bahwa pengarusutamaan pengurangan dan pengelolaan risiko bencana yang holistik difokuskan pada permukiman formal dan informal yang berada di kawasan rentan, termasuk permukiman kumuh. Mengingat kawasan tersebut memiliki kombinasi kepadatan penduduk tinggi dengan infrastruktur permukiman yang tidak memenuhi Standar Pelayanan Minimal (SPM). Oleh karena itu perlu dikembangkan kolaborasi peran, terutama masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengelolaan risiko bencana dalam rangka mewujudkan kota tangguh.
Selanjutnya, Pemerintah harus mengubah pendekatan dari reaktif ke proaktif yang berbasis risiko bencana dan masyarakat, seperti meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai risiko bencana, dan mendorong perkiraan investasi, membangun infrastruktur yang berketahanan, sekaligus memastikan respons lokal yang efektif dan tepat waktu untuk memenuhi kebutuhan mendesak penduduk yang terkena dampak bencana. “Dengan pengembangan infrastruktur permukiman berbasis masyarakat, diharapkan tidak hanya terwujud pelayanan publik yang andal, aktivitas dan kegiatan ekonomi juga dapat berkembang lebih baik, sekaligus menumbuhkan kembali social capital yang diwujudkan dalam kegiatan gotong-royong,” pungkas Didiet Arief Akhdiat.
Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 3 Desember 2018.