Pengembangan potensi ekonomi kreatif lokal masih menjadi perhatian Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf). Ini sesuai mandat dari pemerintah pusat. Program Inovatif dan Kreatif melalui Kolaborasi Nusantara (Ikkon) menjadi salah satu cara Bekraf untuk mendukung ekonomi kreatif daerah.

Inisiatif Ikkon dimulai sejak tahun lalu. Ini merupakan program residensi bagi sejumlah pelaku kreatif pada suatu wilayah untuk berkolaborasi dengan pelaku kreatif lokal. Kerja sama ini memang dibutuhkan daerah agar kapasitas mereka bisa terangkat dan ekonomi kreatif pada wilayah itu bisa semakin bergairah.

Direktur Edukasi Ekonomi Krea­tif pada Deputi Riset, Edukasi, dan Pengembangan Bekraf Poppy Savitri menjelaskan, Ikkon memang ditempatkan sebagai program untuk meningkatkan kompetensi pelaku kreatif dan mendorong pengembangan potensi ekonomi kreatif lokal. Konsep live in yang dipilih diharapkan mampu menghadirkan kolaborasi antara perajin lokal dengan desainer yang berpengalaman.

“Masing-masing pihak bisa ter­libat secara penuh dan keduanya saling memperoleh manfaat secara etis (ethical benefit sharing) yang berkelanjutan. Ikkon memberikan ruang bagi para desainer menyalurkan kemampuannya untuk mendukung pengembangan ekonomi kreatif di Indonesia,” ujarnya, Kamis (16/11).

Peserta Ikkon mendapatkan merchandise, fasilitas transportasi lokasi, honor, dan sertifikat. Sementara itu, akomodasi dan konsumsi difasilitasi pemerintah kota dan kabupaten.

Tahun ini, lima kota yang terpilih adalah Banyuwangi, Bojonegoro, Toraja Utara, Belu, dan Banjarmasin. Poppy menjelaskan, dua tahun ini keputusan pemilihan tempat residensi untuk tim Ikkon lebih didasarkan pada arahan pimpinan dan permintaan dari wali kota atau bupati. Namun, pada 2018, sebagian akan diarahkan ke beberapa destinasi wisata prioritas nasional, selain daerah yang sudah menandatangani nota kesepahaman dengan Bekraf.

Penguatan tim

Pada 2017, Ikkon menambahkan spesialisasi untuk memperkuat komposisi tim Ikkon. Kali ini, Ikkon memberikan ruang bagi mereka untuk berperan menjadi business advisor dan media specialist. Pada 2016, Ikkon hanya melibatkan desainer fashion, desainer produk, desainer interior, desainer komunikasi visual, desainer tekstil, arsitek, serta fotografer dan videografer.

Hal itu dikatakan Ketua Steering Committee Ikkon 2017 Mizan Allan De Neve. “Improvement tahun ini menambah dua spesialisasi. Business advisor agar produk bisa mempenetrasi pasar lebih baik. Media specialist agar gaungnya terdengar lebih kuat,” katanya, Jumat (17/11).

Perbaikan lainnya juga dilakukan terutama dari sisi rekrutmen. Allan mengatakan, tahun ini proses rekrutmen dilakukan dengan asses­ment dari sisi psikologi. Hasilnya, Allan melihat lebih baik.

Ikkon tahun ini menghadirkan posisi manajer lapangan. Baik Allan maupun Poppy sepa­kat, manajer lapangan harus ada. Tujuannya, agar desainer ini bisa fokus men­ciptakan kar­ya yang memang sesuai de­ngan karakter wilayah tersebut. “Sementara itu, manajer lapangan punya peran untuk me­ngatur segalanya, misalnya koordinasi dengan pemerintah da­erah, mengatur jadwal, dan lainnya,” ujar Poppy.

Dalam seleksi, Bekraf dan tim seleksi mempertimbangkan banyak aspek dalam menilai calon peserta Ikkon. Peserta harus melalui rangkaian tes yang panjang. Mulai dari seleksi administrasi dan porto­folio, wawancara, dan asesmen yang meliputi 13 item penilaian. Semen­tara itu, penempatan di­la­kukan berdasarkan pengambilan undian. Hal ini didasarkan pada azas keadilan dan mereka harus bersedia ditempatkan di mana pun di daerah yang sudah ditentukan.

Program ini mendapatkan res­pons positif dari kepala da­erah. Kebanyakan dari mereka menanyakan kelanjutan program ini. Poppy mengatakan, Bekraf akan terus melakukannya dan tentu saja de­ngan pendampingan. Hampir semua desainer masih berkeinginan mengembangkan produk lainnya, karena waktu 4 bulan dirasa terlalu singkat. Banyak dari mereka terdorong untuk kembali dan melanjutkannya.

“Sementara itu, para perajin menjadi lebih bersemangat untuk mengerjakan desain baru, apalagi begitu banyak pre-order saat pro­duk hasil Ikkon itu dipamerkan. Kekhawatiran bahwa produk mereka tidak laku menjadi hilang,” ujarnya.

Ikkon secara langsung membuka lapangan kerja, mengenalkan keka­yaan alam, dan budaya Indonesia pada generasi muda yang berprofesi sebagai pelaku kreatif. Program ini diharapkan selain menjadi modal inspirasi untuk berkarya kreatif, juga berkontribusi bagi daerah di mana pun dan meningkatkan nasionalisme pelaku ekonomi kreatif, terutama anak muda. [VTO]

Merangkum Potensi dalam Satu Keranjang

Siapa tidak kenal Banyuwangi. Kabupaten yang tengah naik daun ini dianggap sudah memiliki semuanya. Inilah yang pertama kali terpikir oleh Manager Lapangan Ikkon Banyuwangi Fadilah Arief dan anggota timnya.

“Saat datang ke Banyuwangi, kami cukup bingung akan membuat apa. Sebab, bagi kami, Banyuwangi sekarang ini sudah memiliki semuanya. Namun, akhirnya kami bisa memutuskan membuat Kanggi, Keranjang Rasa Banyuwangi,” ujar Fadilah.

dokumen Ferdi Perwiranata

Dalam pembuatan Kanggi, tim Ikkon Banyuwangi bekerja sama dengan banyak UKM. Fadilah bercerita, Kanggi merupakan sebuah payung besar untuk mencakup banyaknya potensi Banyuwangi.

“Kanggi berupaya untuk mengekplorasi pancaindra. Oleh karena itu, kami benar-benar memanfaatkan waktu riset dan survei, kemudian mengonsep desain dan pembuatan purwarupa agar sesuai dan bisa dilempar ke pasar,” ujarnya.

Dalam perancangannya, tim memperhatikan aspek-aspek yang menyentuh pengalaman indrawi itu. Pengalaman bagi indra peraba diwujudkan lewat tekstur anyaaman bambu, pembuatannya bekerja sama dengan Widya Handycraft. Untuk mempercantik visual, mereka menggandeng Gondho Arum dengan menghadirkan batik bermotif khas Banyuwangi, seperti gajah oling dan kopi pecah.

Untuk indra perasa, Kanggi diisi bagiyak, kue kering asal Banyuwangi. Pembuatan bagiyak bekerja sama dengan UKM Srimulyo. Selain bagiyak, kopi Banyuwangi yang mewakili indra penciuman juga menjadi isi Kanggi. Sementara itu, untuk indra pendengaran, ada peluit berbahan bambu.
Fadilah mengatakan, selain menjadi salah satu “ikon” pemerintah daerah, produk ini cukup oke sebagai oleh-oleh bagi wisatawan.Pelibatan desainer-desainer dan berbagai UKM juga meningkatkan kapasitas mereka.

Produk ini sudah diserahkan ke Dinas Koperasi dan UKM mikro setempat. Ke depannya, Kanggi bisa dikembangkan lebih lanjut, baik dari sisi isi maupun ukuran keranjang. [VTO]

Kemilau Wilayah Perbatasan

Meski Kabupaten Belu, Timor Barat, yang berada wilayah perbatasan, memiliki beragam etnis, suku, dan agama, masyarakatnya bisa saling menghormati dan mengasihi. Hal ini dirasakan Manajer Lapangan Ikkon Belu Andrew Rogers dan Antropolog Ikkon Belu Dwi Fajar Sejati selama live in di sana.

“Belu merupakan salah satu daerah di Indonesia yang saya pikir memiliki nasionalisme sangat tinggi. Penduduknya sangat ramah dan jauh dari bingkai media yang menggambarkan Atambua (ibu kota Belu) sebagai daerah rawan konflik,” ungkap Dwi.

Menurut Andrew, kehidupan masyarakat Belu masih cukup kental secara budaya. Hal ini terlihat dari rutin diadakannya upacara adat, terutama untuk pernikahan dan kematian. Namun dia menduga, modernisasi sedikit mengubahnya, seperti tampak pada rumah adat.

“Di beberapa daerah masih ada yang mempertahankan rumah adat dalam bentuk tradisional, tetapi lainnya sudah diperbaharui dengan tembok dan seng. Padahal, keunikan rumah adat dapat menjadi salah satu daya tarik wisata. Kemudian, dari segi alam, kabupaten ini memiliki potensi yang luar biasa, seperti padang Fulan Fehan di Gunung Lakaan. Sayangnya, mungkin karena warga sudah biasa dengan budaya dan alamnya, hal itu tidak terasa spesial lagi untuk mereka. Kondisi ini menjadi perhatian kami,” terang Andrew.

dokumen Tim Ikkon Belu

Selama empat bulan live-in, tim mengangkat program yang dinamakan Leloq. Tim Ikkon Belu berhasil membuat purwapura produk hasil kolaborasi masyarakat lokal bersama desainer. Program ini dibagi menjadi fashion, produk, dan sistem wisata.

Dalam kategori fashion, tim membuat tenun berkomposisi warna baru dari bahan-bahan alami. Selama ini, kekurangan tenun Belu, warnanya tidak sesuai dengan tren pasar. Oleh karena itu, tenun ini diberi tone pastel sesuai dengan tren saat ini.

Untuk kategori produk, tim membuat live in kit berisi piring dari anyaman, peralatan makan bambu, dan tas ransel anyaman. Tas ini akan diberikan kepada wisatawan yang ikut paket wisata desa yang telah dibuat.

Paket wisata ini meliputi kunjungan ke rumah adat, belajar menenun, belajar mengukir, dan juga menikmati pengalaman tinggal di desa bersama masyarakat setempat. [ACH]

Fokus pada Diversifikasi

Masyarakat bisa lebih berdaya dengan mengoptimalkan potensi internal mereka sendiri. Semangat inilah yang dibawa tim Ikkon dalam mengembangkan komunitas masyarakat di Bojonegoro. Sejak lama, Bojonegoro telah dikenal sebagai penghasil sejumlah kerajinan tangan yang khas.

Manajer Lapangan Ikkon Bojonegoro Anastasia Sulemantoro mengatakan, Bojonegoro kaya akan produk kerajinan tangan, termasuk dari olahan bahan sisa. Di sisi lain, peralatan produksi masih sederhana. Eksposur pasar juga masih kurang sehingga masyarakat ragu-ragu untuk membuat produk yang lebih eksploratif.

“Dari seluruh potensi di Kabupaten Bojonegoro, akhirnya kami memutuskan untuk mengangkat empat potensi yang kami lihat merupakan komoditas sekaligus membawa identitas Bojonegoro, yaitu gerabah, batu onyx, kayu jati, dan kain batik. Gerabah Bojonegoro sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu memiliki bentuk karakter khas yang berbeda dengan gerabah-gerabah dari kota lain. Kami mengangkat karakter tersebut menjadi berbagai macam fungsi produk, bahkan hingga maskot kota,“ ujar Anastasia, Jumat (17/11).

dokumen Tim Ikkon Bojonegoro

Diversifikasi fungsi produk menjadi konsep pengembangan produk yang dilakukan tim Ikkon Bojonegoro. Dalam eksekusinya, tim Ikkon masih menggunakan teknik produksi yang sama dengan produk sebelumnya sehingga dapat memperluas pasar tanpa memerlukan investasi teknologi baru yang cenderung mahal.

Ketika diadakan pameran pada akhir program Ikkon, tanggapan masyarakat positif. “Masyarakat tidak menyangka, produk sehari-hari mereka dapat menjadi sesuatu yang sangat baru dan segar hanya dengan sedikit sentuhan kreativitas. Ini juga membuat masyarakat Bojonegoro semakin bangga dan percaya diri berkarya,” tuturnya.

Untuk menjaga keberlanjutan program kolaborasi ini, tim Ikkon dan pemerintah daerah tengah menggodok rencana kerja sama di masa depan. Bentuknya antara lain mengadakan bimbingan teknis, pelatihan desain, dan bersama-sama mempromosikan produk Bojonegoro. [NOV]

Pesona Kota Seribu Sungai

Kota Seribu Sungai. Inilah julukan bagi Banjarmasin, ibu kota Provinsi Kalimantan Selatan. Terdapat lebih dari 60 sungai yang mengalir di kota ini. Sebagian besar aktivitas masyarakatnya pun dilakukan di atas sungai karena sungai dimanfaatkan sebagai jalur transportasi dan tempat berlangsungnya banyak kegiatan sehari-hari.

“Inilah keunikan Banjarmasin. Selama di kota ini, tim kami mendapati berbagai sisi menarik kehidupan masyarakat Banjarmasin yang begitu dekat dan kental dengan sungainya,” terang Manajer Lapangan Ikkon Banjarmasin Ramdhan Muhammad.

Berdasarkan kondisi ini pula, Tim Ikkon Banjarmasin akhirnya membuat sebuah trip wisata yang menjadikan sungai sebagai primadonanya. Wisata susur sungai dengan tema-tema yang berbeda.

“Misalnya dengan tema trip wastra, jadi tetap wisata susur sungai tetapi nanti ada destinasi ke Kampung Sasirangan, daerah penghasil kain tradisional Banjarmasin. Kemudian, ke destinasi wisata lainnya seperti tempat-tempat kuliner di Banjarmasin. Diharapkan ini bisa menjadi trip adventure yang khas di Banjarmasin,” papar Ramdhan.

dokumen Tim Ikkon Banjarmasin

Bukan hanya itu, dari segi produk mereka mengembangkan motif-motif baru kain sasirangan dengan desain modern. Pola sasirangan digambar secara manual. Pola tersebut selanjutnya dijelujur dengan jarak tak lebih dari setengah sentimeter. Proses menjelujur inilah yang menjadi ciri khas teknik pembuatan kain sasirangan. Sasirangan sendiri berasal dari kata sirang, yang artinya tidak lain adalah menjelujur.

Meski sekilas tampak sama dengan teknik kain ikat celup seperti jumputan Palembang dan shibori dari Jepang, ketika kain sasirangan ditelisik lagi dengan cermat akan ditemukan bekas tusukan jarum di sepanjang motif kain, yang membedakannya dengan kain jumputan.

Tim Ikkon Banjarmasin juga mengajak banyak komunitas di kota ini untuk ikut serta dalam program-program yang dikembangkan. Semua komunitas dari berbagai keahlian dikoordinasikan sehingga dapat memunculkan berbagai ide kreatif untuk membangun Kota Banjarmasin. Mulai dari komunitas pariwisata, komunitas peduli sungai, komunitas save bekantan, dan komunitas fotografi. [ACH]

Wisata Berbasis Kopi

Bicara soal Toraja sulit untuk lepas dari topik tentang kopi. Ternyata, kopi Toraja tak sekadar minuman saja, tetapi dapat dikembangkan menjadi yang lain. Inilah yang dilakukan tim Ikkon Toraja Utara (Torut).

Manager Lapangan Ikkon Torut Gusti M Hamdan bercerita, dia dan temannya melihat kopi Toraja berpotensi lebih dari sekadar menjadi produk olahan. Oleh karena itu, tim Ikkon Torut menggagas konsep wisata berbasis kopi bernama Toraja Coffee Experience (TCE).

“Kami mengembangkan sebuah sistem jalur wisata kopi. Mulai dari harvesting, tasting, tracking, shopping, dan staying. Konsep ini dikerjakan bersama teman-teman sesuai dengan kemampuan di bidangnya masing-masing. Misalnya, desainer grafis membuang branding dan signage. Sementara itu, desainer interior dan arsitek bekerja sama membuat desain untuk hospitality-nya. Semua produk dan jasa yang telah dibuat tersebut, kemudian akan dilempar ke pasar sesuai dengan strategi yang dibuat oleh business advisor,” ujar Gusti.

TCE dipilih karena bisa memayungi semua potensi yang ada. Selama ini, orang hanya mengenal kopi Toraja sebagai minuman. “Kami ingin mengenalkan lebih jauh, mulai dari proses hingga pengembangan kopi, seperti sabun beraroma kopi, pewarna kopi, dan lainnya. Konsep kopi sebagai jalur wisata memberikan turis alternatif baru mengenal Toraja,” ujarnya.

dokumen Tim Ikkon Toraja Utara

Tim Ikkon mengajak salah satu lembaga yang cukup dikenal oleh masyarakat Toraja, yaitu Credit Union Sauang Sibarrung (CUSS). Lembaga ini memiliki pengalaman bertahun-tahun membina dan mengembangkan masyarakat Torut. CUSS dalam hal ini akan memainkan peran sebagai pemodal dan pemasar.

TCE dibuat untuk memanjakan pancaindra wisatawan. Gusti mengungkapkan, dari segi visual wisatawan bisa menyaksikan pemandangan alam yang indah serta desain apik dari rekan desainer. Dari segi penciuman, wisatawan bisa menikmati sabun dan aromaterapi berbahan kopi. Segi pendengaran, bisa melalui suara alam Torut yang masih alami.

“Sementara itu, dari segi perasa wisatawan bisa merasakan langsung hidangan asli yang telah disiapkan warga. Dari segi peraba, wisatawan bisa merasakan langsung proses pembuatan kopi, seperti memetik, sangrai, dan lain-lain,” ujarnya.
Pengembangan TCE yang lain adalah mengubah rumah adat Toraja, Tongkonan menjadi home stay. Mereka juga membuat beberapa alat makan tradisional seperti Kandean Dulang dan lainnya. [VTO]

Artikel ini terbit di Harian Kompas 18 November 2017