Interaksi di media sosial menempatkan kita sebagai pengguna media digital di tengah antara kebebasan dan kerentanan. Tidak dapat dipungkiri bahwa teknologi digital mengubah gaya hidup, perilaku, dan bahkan nilai yang dianut masyarakat, termasuk dalam berinteraksi.

Internet kini memungkinkan kita bisa berinteraksi dengan individu dan komunitas yang kita sukai, tanpa hambatan geografis. Namun, ruang digital tidak dilengkapi oleh rambu-rambu, sehingga memunculkan kerentanan, termasuk rentan terpapar konten atau perilaku negatif dan kekerasan seksual.

Menyikapi hal itu, maka lembaga Kominfo bekerja sama dengan Jaringan Pegiat Literasi Digital (Japelidi) dan Siberkreasi Gerakan Nasional Literasi Digital dalam menggelar webinar dengan tajuk “Pahami Aturan Bersosialisasi di Media Sosial”. Webinar yang digelar pada Selasa, 23 November 2021, pukul 13:00-15:30 diikuti oleh sejumlah peserta secara daring.

Dalam forum tersebut hadir Didin Sutandi (Penulis & Jurnalis), Rusman Nurjaman (Peneliti & Penulis), Antonius Galih Prasetyo (Sosiolog & Penulis), Ahmad Wahyu Sudrajad (Peneliti dan Pendidik PP. Al-Qadir Yogyakarta), dan Sony Ismail (Musisi Band J-Rocks) selaku narasumber.

 

Bersosialisasi

Dalam pemaparannya, Didin Sutandi menyampaikan, “Untuk memahami aturan bersosialisasi, kita bisa memaksimalkan media sosial yang bisa berfungsi sebagai networking, berkolaborasi, untuk membentuk personal branding, dan tentunya berniaga secara online untuk menghasilkan pundi-pundi pemasukan. Saat ini pertumbuhan berniaga online naik signifikan dan berpeluang besar bagi masyarakat Indonesia, namun tentunya diperlukan skill untuk bisa mencapai itu semua. Selain itu, sebagai pengguna media sosial, ada aturan yang harus kita terapkan seperti dalam menyebar konten, tidak boleh menyebarkan konten tentang pornografi, hoaks dan ujaran kebencian karena ada konsekuensi hukumannya yang diatur dalam Pasal 28 UU ITE dan KUHP.”

“Sanksinya tertulis dalam pasal 45A ayat (1) UU 19/2016, yaitu dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 miliar. Adapun aturan-aturan yang tidak tertulis, antara lain kita harus selalu konfirmasi soal informasi, mengingat bahwa menyebarkan informasi hoaks berarti mempermalukan diri sendiri. Lalu ingat bahwa mengkritik boleh, tetapi bedakan dengan menghina. Selain itu, dilarang menyampah; meskipun akunnya merupakan hak pribadinya, jika berlebihan akan mengganggu, dan jangan berpikir takkan terlacak ketika menggunakan akun palsu.”

Sony Ismail selaku narasumber Key Opinion Leader juga menyampaikan bahwa bersosialisasi yang baik dan benar di sosial media itu tidak ada bedanya dengan kehidupan yang nyata atau pada keseharian kita. Seperti menyapa teman secara langsung dengan baik, begitupun juga di media sosial kita juga menyapa tidak mungkin menggunakan huruf besar semua, yang artinya etikanya tidak ada. Kalau kita ingin dihargai, kita juga harus menghargai orang lain juga; tidak perlu berkomentar tentang hal-hal yang tidak kita ketahui, apalagi kalau kita tidak kenal dengan orang tersebut.

Ia melihat di Instagram banyak yang tidak saling kenal tetapi sering memberikan komentar-komentar yang berisikan hate speech terhadap satu orang atau kelompok, yang dimana seharusnya itu tidak diperlukan. “Kita tidak perlu ikut-ikutan menyebar suatu berita yang belum tentu benar atau hoaks, dan ia sampaikan untuk jangan suka ikut-ikutan cyberbullying. Lebih baik kita samakan saja dunia digital dengan aslinya di kehidupan nyata. Sopan santun itu seharusnya juga diterapkan di dunia digital.”

Para partisipan yang hadir juga dipersilakan untuk mengutarakan pertanyaan dan tanggapan. Salah satu peserta bernama Abidzar Alfatih menyampaikan pertanyaan “Apa yang menyebabkan keahlian atau kecakapan digital yang dimiliki seseorang justru digunakan untuk melakukan kejahatan digital, seperti hacker dan lainnya? Bagaimana cara mengedukasi anak-anak agar tidak menyalahgunakan skill tersebut tetapi dapat dimanfaatkan untuk hal yang lebih positif dan produktif?”

Pertanyaan tersebut pun dijawab dengan lugas oleh Didin Sutandi, “Hal ini biasanya terjadi karena iseng, lalu yang kedua biasanya mereka melakukan itu karena alasan ekonomi demi mendapatkan uang dengan cara yang salah tersebut. Untuk mengedukasinya, yang diperlukan dan dilakukan adalah perangkat dari lingkungan sekitar terutama keluarga. Jadi kita harus sering-sering melakukan komunikasi dan sediakan alokasi berdiskusi tentang bersosialisasi dan menggunakan alat-alat digital. Dengan terbangunnya komunikasi yang baik, maka kita bisa menyisipkan pesan dan memotivasi kepada anak-anak untuk melakukan hal-hal yang baik dan benar.

Webinar ini merupakan salah satu rangkaian kegiatan literasi digital di Kota Jakarta Utara. Kegiatan ini pun terbuka bagi semua orang yang berkeinginan untuk memahami dunia literasi digital. Untuk itulah penyelenggara pada agenda webinar selanjutnya, membuka peluang sebesar-besarnya kepada semua anak bangsa untuk berpartisipasi pada webinar ini melalui akun Instagram @siberkreasi.dkibanten. Juga, bagi yang ingin mengetahui tentang Gerakan Nasional Literasi Digital secara keseluruhan bisa ikuti akun Instagram @siberkreasi.

Kegiatan webinar ini juga turut mengapresiasi partisipasi dan dukungan semua pihak, sehingga dapat berjalan dengan baik, mengingat program literasi digital ini hanya akan sukses mencapai target 12,5 juta partisipan jika turut didukung oleh semua pihak yang terlibat.