Di era digital saat ini banyak menimbulkan dampak negatif dan positif bagi negara kita. Dengan keberagaman suku, budaya, bahasa, dan agama di Indonesia, sering kita jumpai dampak negatif yang tersebar di masyarakat yang memengaruhi generasi muda hingga timbulnya radikalisme, bullying, dan hoaks di tengah masyarakat.
Dampak negatif ini harus diawasi dan dicari solusinya. Di dunia digital terdapat oknum-oknum yang tidak menginginkan persatuan atas keragaman tersebut dan ada juga yang berusaha menyebarkan radikalisme yang dapat memicu konflik. Untuk mengatasi hal-hal yang tidak diinginkan tersebut, diperlukan penanaman kembali nilai-nilai kebersamaan, persatuan, serta mengurangi ego dan politik identitas. Kita harus jalani dan yakini Pancasila, bukan hanya dihafalkan.
Menyikapi hal itu, Kominfo bekerja sama dengan Jaringan Pegiat Literasi Digital (Japelidi) dan Siberkreasi Gerakan Nasional Literasi Digital menggelar webinar dengan tajuk “Interaksi Online Nyaman, Kikis Ujaran Kebencian”. Webinar yang digelar pada Kamis, 2 September 2021, diikuti oleh sejumlah peserta secara daring.
Dalam forum tersebut hadir Dr Bevaola Kusumasari MSi (Dosen Fisipol UGM dan IAPA), Dr Aminah Swarnawati (Dosen Prodi Magister Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta), Antonius Galih Prasetyo (Analis Kebijakan Lembaga Administrasi Negara), Dr Ayuning Budiati SIP MPPM (Universitas Sultan Ageng Tirtayasa dan IAPA), dan Tiwu Rayie (penyanyi dan entrepreneur) selaku narasumber.
Dalam pemaparannya, Antonius Galih Prasetyo menyampaikan bahwa “dalam berinteraksi di dunia digital pengguna harus sadar akan jebakan algoritma yang berlaku dan dibuat sedemikian rupa di berbagai platform media digital. Khususnya di media sosial, yang dapat terbentuk ruang gema (echo chamber) dan gelembung filter (filter bubble) untuk membatasi pengguna dengan konten dan informasi yang diinginkan secara terus-menerus, menciptakan bias konfirmasi sehingga sempit pikirannya tanpa menerima pandangan di luar dari apa yang diyakininya.
“Hal ini menjadi tempat subur hate speech karena menggabungkan sentimen dan opini negatif yang dimiliki dan menghubungkannya dengan seseorang, sesuatu, atau kelompok lainnya. Media sosial sendiri terdapat aspek-aspek ambiguitas yang dapat menyuburkan hate speech. Untuk menata komunikasi digital, perlu dipahami bahwa kebebasan komunikasi menemui batasnya dalam penggunaan kekerasan verbal demi menjamin kebebasan komunikasi itu sendiri. Dibutuhkan strategi penataan komunikasi digital secara demokratis,” katanya.
Tiwu Rayie selaku narasumber Key Opinion Leader juga menyampaikan bahwa sebagai tokoh publik, tentunya pernah mengalami hate comment di akun sosial media. Dengan mudahnya akses berkomunikasi atas hadirnya sosial media, pengguna masih banyak yang belum teredukasi akan bagaimana untuk bisa bijak, terutama generasi muda. Ia juga menyampaikan bahwa content creator harus bertanggung jawab dengan apa yang mereka suarakan karena adanya follower atau audiens yang bereaksi kepada apa yang mereka bagikan.
“Sebagai pengguna medsos, kita sangat bisa membatasi konten-konten yang diterima atau menggunakan fitur filter, dengan tujuan dan kebutuhan diri sendiri, baik untuk menghibur, memotivasi, maupun berefek positif lainnya kepada diri sendiri. Follow akun-akun yang membawa dampak positif dan bermanfaat bagi orang banyak,” ujarnya.
Salah satu peserta bernama Karina Ramadhanty Budiman menyampaikan, zaman sekarang banyak sekali public figure atau influencer yang hanya menyatakan pendapat, tapi sebenarnya lebih terlihat seperti ujaran kebencian, tanpa mereka sadari.
“Apabila seperti ini, bagaimana caranya kami bisa menanggapinya secara baik agar tidak meninggalkan jejak digital yang buruk dan tanpa harus mengujarkan kebencian juga?” tanyanya.
Bevaola Kusumasari menjawab, hal yang perlu dilakukan adalah memiliki kecakapan digital. Dalam menanggapi influencer tersebut, tidak usah terlibat dengan ikut berkomentar atau membagikan hal-hal mengenai influencer yang terlibat, cukup menjadi pengetahuan saja. Misalkan orang tersebut adalah orang dekat, ingatkan dan nasehati mereka melalui jalur komunikasi pribadi sehingga tidak meninggalkan jejak digital di ranah publik.
Webinar ini merupakan salah satu rangkaian kegiatan literasi digital di Kota Jakarta Timur. Kegiatan ini pun terbuka bagi semua orang yang berkeinginan untuk memahami dunia literasi digital. Untuk itulah penyelenggara pada agenda webinar selanjutnya, membuka peluang sebesar-besarnya kepada semua anak bangsa untuk berpartisipasi pada webinar ini melalui akun Instagram @siberkreasi.dkibanten.
Kegiatan webinar ini juga turut mengapresiasi partisipasi dan dukungan semua pihak, sehingga dapat berjalan dengan baik, mengingat program literasi digital ini hanya akan sukses mencapai target 12,5 juta partisipan jika turut didukung oleh semua pihak yang terlibat. [*]