Keamanan pangan masih menjadi suatu tantangan di Asia Tenggara yang salah satunya diakibatkan oleh kontaminasi bakteri patogen. Kontaminasi ini disebabkan sanitasi yang kurang baik pada saat pengolahan, penyimpanan, maupun penyajian makanan.
Keberadaan bakteri patogen pada bahan pangan menyebabkan timbulnya berbagai macam penyakit dari yang mudah disembuhkan, seperti diare, hingga yang dapat menyebabkan kematian. Data BPOM tahun 2017 menunjukkan penyebab Kejadian Luar Biasa (KLB) keracunan pangan didominasi oleh mikroorganisme, yang sebagian besar belum teridentifikasi.
Umumnya, antibiotik dapat digunakan untuk mengatasi penyakit karena infeksi. Namun, resistensi terhadap antibiotik terus meningkat. Faktor gen resistensi dan pembentukan biofilm oleh bakteri patogen menyebabkan antibiotik tidak lagi efektif.
Hal itu dijelaskan pada orasi ilmiah Prof Dr Diana Elizabeth Waturangi, guru besar termuda Fakultas Teknobiologi Unika Atma Jaya. Menurutnya, eliminasi mikroorganisme penyebab penyakit bawaan dan mengetahui strategi komprehensif untuk mengatasinya sangat diperlukan.
“Dua hal yang berkaitan dengan strategi komprehensif ini adalah perlunya pengembangan molekuler yang cepat, spesifik, dan sensitif. Dari hasil penelitian kami, telah dikembangkan metode deteksi secara molekuler untuk beberapa bakteri patogen bawaan. Secara bersamaan, perlu pula dilakukan eksplorasi komponen bioaktif yang berfungsi sebagai biofilm,” jelasnya.
Selain Prof Diana, Unika Atma Jaya mengukuhkan guru besar dari Fakultas Pendidikan dan Bahasa, yaitu Prof Dr Setiono Sugiharto SPd MHum.
Dalam orasi ilmiah yang berjudul “Unmasking and Resisting Linguistic Injustice In Global Academic Publishing: Towards A Politics of Locality”, ia memaparkan adanya ketidakadilan linguistik dalam konteks publikasi akademik. Ini dikarenakan bahasa Inggris telah mendominasi jurnal-jurnal ilmiah sehingga memarjinalkan akademisi lokal dalam menyuarakan karyanya.
Faktanya, dominasi bahasa Inggris sebagai bahasa akademik global meningkatkan beberapa keprihatinan mendasar. Misalnya, ketidaksetaraan konstruksi pengetahuan, politik rasial, imperialisme linguistik, ketidakadilan linguistik, dan kerenggangan intelektual. Untuk itu, guru besar yang dikenal sebagai kolumnis ini menyarankan untuk mengembangkan pemahaman yang kritis di antara sarjana lokal.
“Selain para sarjana yang perlu berpikir kritis, harapannya pemerintah dapat lebih mengapresiasi jurnal-jurnal lokal dan nasional yang terakreditasi dan mengangkat jurnal-jurnal ini ke forum internasional,” jelas Prof Setiono.
Orasi karya ilmiah tersebut disampaikan pada acara pengukuhan guru besar di Kampus Semanggi Unika Atma Jaya, Selasa (29/1/2019). Acara ini dihadiri oleh lebih dari 100 akademisi. Kedua guru besar tadi mempunyai pencapaian akademik sebelum mereka mendapatkan gelar akademik tertinggi.
Prof Diana pernah meraih penghargaan sebagai dosen berprestasi peringkat pertama dari Asosiasi Perguruan Tinggi Katolik (APTIK) tahun 2009 dan peringkat pertama dari LLDikti wilayah III tahun 2010. Selain itu, beliau kerap mendapatkan penghargaan nasional dan internasional seperti Indonesia Toray Science Foundation (ITSF) tahun 2017 dan International Society for Infectious Disease (ISID) tahun 2018.
Adapun Prof Setiono dikenal sebagai kolumnis karena keaktifannya dalam menulis karya ilmiah populer pada kolom surat kabar nasional. Ia pun meraih gelar “Penulis Nasional Produktif” dari Kementerian Pendidikan Nasional tahun 2009. Karya-karya ilmiah dalam bidang linguistik terapan bahasa Inggris yang telah ia tulis, diterbitkan di jurnal-jurnal internasional seperti Indonesia Toray Science Foundation (ITSF) tahun 2017 dan International Society for Infectious Disease (ISID) tahun 2018. [*]