Tempo Media Group menyelenggarakan dialog dengan mengusung tema “Keabsahan Grondkaart di Mata Hukum” dengan supported by PT Kereta Api Indonesia (Persero) , Kamis (6/12/2018), di Ballroom Singosari Hotel Borobudur, Jakarta.
Dialog ini dipandu oleh Redaktur Ekonomi Tempo Media Grup Ali Nuryasin dan dihadiri tiga narasumber, yakni Prof Djoko Marihando MSc (pakar sejarah dan Guru Besar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia), Dr Iing R Sodikin Arifin (Tenaga Ahli Menteri ATR/BPN), serta AKP Dr Suradi SH MHum (Kepala Sub Unit II Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri).
Tempo Media Group menyelenggarakan dialog dengan mengusung tema “Keabsahan Grondkaart di Mata Hukum” dengan supported by PT Kereta Api Indonesia (Persero) , Kamis (6/12/2018), di Ballroom Singosari Hotel Borobudur, Jakarta. Dialog ini dipandu oleh Redaktur Ekonomi Tempo Media Grup Ali Nuryasin dan dihadiri tiga narasumber, yakni Prof Djoko Marihando MSc (pakar sejarah dan Guru Besar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia), Dr Iing R Sodikin Arifin (Tenaga Ahli Menteri ATR/BPN), serta AKP Dr Suradi SH MHum (Kepala Sub Unit II Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri).
Pesatnya pengembangan perkeretaapian saat ini tentu harus didukung dengan pengamanan dan pengelolaan aset-aset sebagai salah satu modal utamanya. Sayangnya, penyerobotan dan penguasaan aset KAI oleh pihak-pihak yang tidak berhak dan secara ilegal masih marak terjadi.
Selain itu, berkembangnya isu Grondkaart akhir-akhir ini di tengah masyarakat mendapatkan perhatian khusus dari sejumlah pihak salah satunya Dr Iing R Sodikin Arifin. Di tengah paparannya saat berdiskusi dengan para narasumber dalam dialog ini, ia mengatakan, “Grondkaart merupakan petunjuk kuat sebagai bukti kepemilikan sekaligus hak penguasaan penuh milik kereta api.”
Seperti diketahui, PT Kereta Api Indonesia (Persero) merupakan BUMN dengan perjalanan panjang yang awalnya merupakan perusahaan milik Kolonial Belanda. Setelah Indonesia merdeka dan mendapat pengakuan dari Belanda, perusahaan-perusahaan swasta milik Belanda pun kemudian dinasionalisasi menjadi milik Indonesia.
Berdasarkan UU Nomor 86 Tahun 1958 tentang Nasionalisasi Perusahaan-perusahaan Milik Belanda, dinyatakan bahwa semua perusahaan swasta Belanda yang ada di Indonesia dinasionalisasi dengan membayar ganti kerugian kepada Kerajaan Belanda. Pelaksanaannya diatur dalam PP RI Nomor 2 Tahun 1959 tentang Pokok-Pokok Pelaksanaan Undang-Undang Nasionalisasi Perusahaan Belanda.
Aset Staats Spoorwegen (SS) atau perusahaan kereta api Pemerintah Belanda dan Verenigde Spoorwegbedrijf (VS) atau Perusahaan Kereta Api Swasta Belanda setelah dinasionalisasi, maka menjadi aset KAI berkapasitas sebagai kekayaan/aset negara yang dipisahkan dan tunduk pada UU Perbendaharaan Negara, Instruksi Presiden RI Nomor 9 Tahun 1970, Keputusan Presiden RI Nomor 16 Tahun 1994, Kepmenkeu Nomor 225 Tahun 1971, Nomor 350 Tahun 1994 & Nomor 470 Tahun 1994 dan UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Pengertian aset negara meliputi semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang serta segala sesuatu, baik berupa uang maupun barang, yang dapat dijadikan sebagai milik negara.
Berbicara mengenai aset tanah hasil nasionalisasi, maka tak terlepas dari Grondkaart. Grondkaart merupakan produk hukum masa lalu yang bersifat tetap yang sampai dengan saat ini keabsahannya diakui menurut hukum. Grondkaart termasuk jenis dokumen yang menerangkan status kepemilikan obyek tanah yang sah dan sempurna, bukan merupakan dari jenis obyek tanah. Grondkaart dapat dijadikan sebagai bukti kepemilikan terhadap tanah milik pemerintah yang kuat dan sempurna.
Secara harfiah, grond berarti tanah dan kaart berarti peta atau berarti peta tanah. Akan tetapi, pemahamannya secara hukum menjadi sangat kuat dan sempurna karena legalitas Grondkaart memenuhi syarat hukum formil dan hukum materiil yang berlaku.
Kekuatan hukum Grondkaart pertama kali sejak tahun 1895 (Besluit Van Gouverneur General tanggal 14 Oktober 1895 Nomor 7) mengenai Grondkaart sebagai pengganti resmi dari bukti administrasi tentang kepemilikan lahan, yang artinya grondkaart dijadikan alas hak kepemilikan lahan yang sah secara hukum. Grondkaart merupakan penampang lahan yang dibuat dari surat ukur tanah dan disahkan oleh lembaga/instansi terkait sebagai alas bukti kepemilikan tanah yang sah dan memiliki landasan hukum sesuai peraturan yang berlaku peraturan.
Sayangnya, ada kesalahan historis administratif karena Grondkaart dan alat bukti kelengkapannya (besluit) dipisahkan penyimpanannya. Grondkaart tersimpan di KAI, sedangkan besluit tersimpan di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). Grondkaart yang tersimpan di Unit Dokumen KAI adalah Grondkaart asli dengan prosedur resmi untuk melihatnya, yaitu atas seizin Direktur Utama KAI.
Keaslian Grondkaart dapat dilihat dari empat aspek. Pertama, aspek otentisitas yakni dibuat dengan materi dari zamannya (tinta, kertas, ciri-ciri fisik). Kedua, aspek orisinalitas yakni dibuat atau diterbitkan oleh institusi atau pejabat yang berwenang pada zamannya. Ketiga, aspek integritas yakni memiliki kelengkapan dokumen yang menjelaskan. Keempat, aspek kredibilitas/legalitas yakni ada aturan yang menaungi penerbitan dan penggunaannya.
Keabsahan Grondkaart sebagai alas hak, telah dibuktikan melalui persidangan pada pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht). Pada putusan pengadilan tersebut membatalkan dan mencabut Sertifikat Hak Milik (SHM) yang berada pada tanah milik KAI yang memiliki alas hak Grondkaart.
Grondkaart dibuat berdasarkan surat ukur tanah oleh kadaster (BPN pada masa Hindia Belanda). Pada setiap Grondkaart terdapat tanda tangan pengesahan oleh ahli ukur tanah (landmeter).Selain itu, setiap Grondkaart terdapat pengesahan oleh para pejabat terkait. Di setiap Grondkaart ada surat keputusan/ketetapan pejabat negara yang mendasari penerbitannya dan memuat penjelasan tentang riwayat perolehan tanahnya.
Ada beberapa metode yang dapat digunakan dalam upaya menyamakan satu persepsi bahwa Grondkaart sebagai alas hak kepemilikan tanah KAI untuk sebagai dasar legalitas dan legitimasinya dalam rangka menyelamatkan dan mengamankannya sebagai aset BUMN.
Di antaranya, meminta dan meneliti asli bukti-bukti dokumen, surat, akta otentik yang terkait dengan Grondkaart atau legalisirnya yang dikeluarkan dari Instansi yang berwenang, baik di Indonesia maupun di Belanda perihal asal usul/riwayat/sejarahnya Grondkaart, sebagai alas hak kepemilikan atas bidang tanah milik PT Kereta Api Indonesia (Persero).
KAI sendiri sudah melakukan berbagai upaya dalam penjagaan dan pengelolaan asetnya. Bahkan, KAI sampai ke Belanda untuk menelusuri dokumen-dokumen kepemilikan asetnya. KAI juga sudah berkoordinasi dengan BPN, baik di jajaran instansi pusat maupun kewilayahan, untuk menggali informasi yang dimuat dalam Grondkaart agar diperoleh kesamaan pemahaman dalam rangka penyelamatan aset negara.
Namun, langkah penjagaan ini harus dilakukan kontinu dan konsisten. Khususnya di antara para pemangku kepentingan (stakeholder) harus segera membuat peraturan perundang-undangan terbaru yang mengatur mengenai alas hak kepemilikan dan penguasaan tanah berupa Grondkaart dan hal-hal yang berkaitan dengan Grondkaart secara lebih jelas dan terperinci sebagai alas hak.
Diharapkan dengan adanya sinergi antar pihak yang terkait, maka aset-aset negara dapat dijaga dan diamankan dari tangan-tangan pihak yang tidak berhak agar dapat dikelola semaksimal mungkin demi kemajuan perkeretaapian nasional. [*]
Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 10 Desember 2018.