Setiap tahun Artjog mengundang seniman dengan rekam jejak panjang untuk secara khusus merespons tema penyelenggaraan. Seniman ini dipilih karena mempunyai fokus keterkaitan yang sama dengan tema tahun tersebut sehingga diharapkan mampu memberikan gambaran awal tentang tema dan konsep pameran.
Tahun ini Artjog mengundang Christine Ay Tjoe sebagai seniman yang menggarap proyek khusus Artjog MMXXII: Arts in Common-Expanding Awareness. Christine Ay Tjoe adalah seniman asal Bandung yang sangat aktif terlibat dalam pameran-pameran besar, baik nasional maupun internasional.
Agung Hujatnikajennong selaku tim kurator menyampaikan, “Kami mengenal Christine sebagai seniman yang karya-karyanya berbicara tentang aspek psikis dan spiritual manusia, hal yang sangat berkaitan dengan awareness yang kami angkat.”
Christine Ay Tjoe banyak dikenal sebagai pelukis, tetapi ia juga mengerjakan karya-karya instalasi tiga dimensi dan eksplorasi lain. Christine adalah lulusan studio seni grafis Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB pada 1997 dengan spesialisasi di teknik drypoint. Sebuah teknik cetak yang mengandalkan ketelitian dan ketekunan.
Eksplorasi pada medium lain ia lakukan secara bertahap. Mulai dari kanvas yang awalnya ia perlakukan seperti media cetak, hingga penggunaan beragam objek untuk menciptakan karya-karya tiga dimensi dengan media yang halus, kasar, atau keras. Christine menyadari bagaimana pemilihan medium sangatlah penting untuk menguatkan tema yang sedang ia bicarakan. Sehingga ia tidak membatasi penggunaan satu medium dan memungkinkan penggabungan medium lain dalam membuat suatu karya.
Menurut Christine, “Setiap hal yang saya alami, saya cerap, dan apa pun yang ada di depan adalah bagian penting dari proses perjalanan. Saya rasa ini adalah dasar yang harus kita pikirkan bahwa progres yang dialami tiap individu sungguh dapat bermakna untuk terus memperbaiki kualitas dirinya.”
Pengalaman dan cerapan yang ia tangkap atas kehidupan manusia selama masa pandemi menjadi inspirasinya dalam membuat karya “Personal Denominator”. Bentuk karya ini terinspirasi dari Tardigrada, spesies mikroskopis berukuran 0,5 mm yang memiliki kemampuan bertahan hidup dalam lingkungan ekstrem.
Daya hidup Tardigrada membuat Christine merefleksikannya pada situasi masyarakat yang selama dua tahun terakhir ditimpa masa pandemi. Bahwa ada begitu banyak orang melalui masa pandemi dengan sumber daya yang sangat terbatas. Mereka, kita, memiliki kemampuan bertahan dengan cara-cara yang luar biasa.
Karya instalasi kinetik setinggi 2 meter ini memiliki karakter multisensori dengan menggunakan elemen bunyi, gerak, dan kualitas taktil pada material yang digunakan memungkinkan pengunjung untuk merasakan seluruh tekstur permukaan obyek dengan meraba, menyentuh, bahkan memeluk. Sehingga pada kaitannya dengan gagasan inklusivitas dalam seni, karya ini dapat dinikmati oleh siapa saja, termasuk pengunjung yang hanya dapat mengandalkan indera sentuhan atau raba.
Karya ini juga menghadirkan 80 relief beraneka ragam bentuk yang tertata di lantai. Selayaknya guiding block yang dibuat untuk memfasilitasi penyandang tuna netra, relief ini disusun sedemikian rupa menjadi penunjuk jalan dari pintu masuk, mengitari instalasi, kemudian mengarahkan pengunjung menuju ruang pamer. Pada akhirnya, karya ini ingin menguatkan bahwa kita semua sama-sama manusia.
Proses perwujudan proyek khusus ini berlangsung secara kolaboratif. Dimulai dengan diskusi antara tim kurator dan Christine, menghasilkan beberapa alternatif tema dan konsep karya. Setelah rancangan karya selesai, pembuatan karya juga melibatkan tim produksi di Yogyakarta.
Setidaknya terdapat tiga hal yang ingin dimunculkan dalam karya ini. Pertama, refleksi atas daya hidup manusia. Kedua, kemampuan seni untuk mendekatkan dirinya melalui pemilihan material atau rancangan yang memungkinkan karya untuk bertemu lebih banyak pengunjung. Ketiga, ajakan untuk kembali berani membuka diri, setelah dua tahun kita hidup dengan serba terbatas dan tertutup.
“Saya berharap, selama pameran ini akan lebih banyak interaksi terjadi. Pengunjung bisa lebih mendekatkan diri dan memeluk obyek, dan merasakan benar-benar bagaimana obyek ini bergerak. Satu bentuk sederhana untuk memberi pandangan baru dan mungkin memberi arti tersendiri bagi setiap pengunjung,” ungkapnya. [*]