Oleh: Prof Adiwijaya – Guru Besar Universitas Telkom

Hari ini, kita hidup di dunia yang tak lagi mudah ditebak. Istilah “BANI” — brittle (rapuh), anxious (cemas), nonlinear (tak terduga), dan incomprehensible (sulit dipahami) — menggambarkan wajah zaman dengan cukup tepat.

Di tengah ketidakpastian itu, perguruan tinggi tak bisa lagi berjalan seperti biasa. Kampus bukan lagi sekadar pabrik ijazah, melainkan harus menjadi sumber solusi, pusat inovasi, dan ladang pembentukan karakter bangsa.

Kesadaran inilah yang melatarbelakangi munculnya paradigma baru dari Kemendikbudristek: Kampus Berdampak. Sebuah semangat baru yang menggantikan pendekatan sebelumnya, Kampus Merdeka, dengan pesan yang lebih kuat—kampus harus menghadirkan perubahan nyata bagi masyarakat, bukan hanya bagi mahasiswanya. Namun, sebelum melangkah lebih jauh, mari, kita tengok dulu realita di lapangan

Potret pendidikan tinggi kita 

Pertama, soal akses. Hingga 2023, angka partisipasi kasar (APK) pendidikan tinggi di Indonesia masih berada di sekitar angka 32 persen. Bandingkan dengan Malaysia (45 persen) atau Korea Selatan (93 persen). Di balik itu, ketimpangan juga terlihat jelas: mahasiswa kita mayoritas berasal dari kelompok ekonomi atas.

Kedua, dari sisi mutu dan daya saing, tantangan kita masih besar. Dari 4.000 lebih perguruan tinggi di Indonesia, masih kurang dari 5 persen yang terakreditasi unggul. Rasio dosen bergelar doktor pun hanya sekitar 25 persen dan itu pun terkonsentrasi di segelintir kampus besar. Selain itu, masih sangat sedikit kampus Indonesia yang berhasil menembus peringkat dunia.

Ketiga, riset dan inovasi kita pun belum optimal. Jumlah paten dan hasil riset yang dimanfaatkan industri masih jauh tertinggal dari negara seperti Korea Selatan atau Singapura. Banyak riset kita berhenti di jurnal, belum menjadi solusi bagi masyarakat dan industri. Terakhir, terkait tata kelola, banyak kampus masih terjebak pada pendekatan birokratis dan administratif. Ukuran keberhasilan masih soal kuantitas: berapa publikasi, berapa kegiatan. Padahal, yang jauh lebih penting adalah apa dampaknya bagi masyarakat.

Bagaimana mewujudkan Kampus Berdampak?

Untuk menjawab tantangan itu, ada beberapa syarat agar kampus bisa benar-benar berdampak.

1. Kurikulum yang menyentuh dunia nyata

Mahasiswa tidak bisa hanya belajar teori. Mereka harus bergulat dengan masalah nyata lewat proyek, kolaborasi dengan industri, hingga tugas akhir berbasis solusi konkret bagi masyarakat.

2. Kolaborasi aktif: kampus, industri, dan masyarakat

Kampus tidak bisa berjalan sendiri. Harus ada jembatan yang kokoh antara dunia pendidikan, dunia usaha, dan kebutuhan sosial. Magang mahasiswa tidak boleh hanya jadi pengamat, tetapi juga harus menjadi pelaku perubahan.

3. Riset dan pengabdian yang punya hasil nyata

Setiap penelitian dan program pengabdian harus diarahkan untuk menciptakan dampak. Entah itu teknologi yang dipakai industri, kebijakan yang diadopsi pemerintah, ataupun solusi yang menjawab kebutuhan masyarakat.

4. Tata kelola yang lincah dan terbuka

Perguruan tinggi perlu bertransformasi dari sistem birokratis menuju tata kelola yang gesit, transparan, dan berorientasi pada dampak nyata. Ukuran keberhasilan tak lagi sekadar laporan administratif, tetapi sejauh mana hasil Tridharma memberi manfaat bagi masyarakat.

5. Pendidikan karakter yang membumi

Dunia yang cemas dan rapuh seperti sekarang memerlukan lulusan yang tahan banting, adaptif, dan berempati. Pendidikan tidak hanya sharing knowledge ataupun skills, tetapi juga harus menginspirasi dan membangun karakter. Kampus perlu menanamkan nilai bahwa menjadi manusia yang bermanfaat adalah pencapaian tertinggi.

Beberapa kampus ternama dunia memberi inspirasi kuat dalam membangun perguruan tinggi yang berdampak. Stanford University menekankan design thinking untuk mendorong mahasiswa menciptakan solusi berbasis kebutuhan sosial, sementara MIT melibatkan mahasiswa sejak tahun pertama dalam riset nyata melalui program UROP.

University of Cambridge mewajibkan setiap riset memiliki knowledge transfer plan agar hasil penelitian benar-benar diterapkan di sektor publik atau industri. Arizona State University (ASU) menempatkan inovasi sosial sebagai fokus utama dan menjalankan tata kelola adaptif berbasis misi.

Inspirasi serupa juga hadir dari Asia. National University of Singapore (NUS) mengintegrasikan inovasi dan kewirausahaan ke dalam kurikulum lintas disiplin, serta memiliki ekosistem inkubasi yang kuat seperti NUS Enterprise, yang menghubungkan mahasiswa dengan tantangan dunia nyata sejak masa studi. Tsinghua University di China mendorong pendekatan interdisipliner dalam riset terapan, dan menjalin kolaborasi erat dengan industri teknologi untuk memastikan hasil penelitian cepat masuk ke tahap hilirisasi.

Sementara itu, University of Tokyo menekankan pada keterlibatan mahasiswa dalam community-based research yang dirancang untuk menjawab persoalan sosial secara langsung, khususnya dalam bidang urban sustainability dan teknologi publik.

Kampus-kampus tersebut menunjukkan bahwa pendidikan tinggi pada era sekarang tidak cukup hanya mengajarkan ilmu, tetapi juga harus melatih mahasiswa menjadi pemecah masalah dan kontributor aktif bagi kemajuan masyarakat.

Realitas di lapangan menunjukkan bahwa transformasi pendidikan tinggi bukan perkara mudah. Resistensi terhadap perubahan masih terjadi, baik di kalangan dosen maupun manajemen kampus. Di sisi lain, keterbatasan anggaran dan sumber daya manusia menjadi kendala yang tidak bisa diabaikan, apalagi ketika kesenjangan kapasitas antara perguruan tinggi besar dan kecil masih cukup lebar. Namun, tantangan ini bukan alasan untuk berhenti bergerak—justru harus menjadi pemantik perubahan.

Solusi berkelanjutan hanya akan lahir jika dibangun dari dalam: mulai dari penguatan kapasitas dosen dan pimpinan sebagai inovator pembelajaran dan mitra riset, pemanfaatan pendanaan kompetitif berbasis inovasi seperti LPDP dan DRTPM, hingga pembentukan kolaborasi antarkampus yang saling menguatkan melalui konsorsium.

Pada saat yang sama, perlu didorong penguatan sistem penjaminan mutu internal yang berbasis budaya reflektif, serta pemanfaatan teknologi digital untuk memperluas akses dan efisiensi tata kelola. Dengan strategi yang terintegrasi ini, setiap kampus—besar maupun kecil, di pusat maupun di pinggiran—memiliki peluang yang sama untuk bertumbuh, relevan, dan berdampak nyata bagi masyarakat.

Paradigma Kampus Berdampak bukan sekadar slogan. Ini adalah panggilan untuk semua insan perguruan tinggi — dosen, mahasiswa, pimpinan kampus, bahkan mitra industri dan komunitas serta media — untuk bersatu dalam misi mulia: menjadikan pendidikan tinggi sebagai penggerak peradaban.

Kini, bukan zamannya lagi kampus hanya mencetak sarjana. Yang kita butuhkan adalah kampus yang mencetak manusia pembelajar, pencipta solusi, dan penjaga nilai-nilai kemanusiaan. Karena pada akhirnya, keberhasilan sebuah bangsa bukan diukur dari seberapa banyak gedung kampusnya berdiri megah, melainkan seberapa besar dampak yang dihasilkan kampusnya bagi masyarakat.

Hanya dengan menjadikan perguruan tinggi sebagai pusat pencetak solusi, karakter, dan inovasi, kita dapat melahirkan generasi unggul yang menjadi fondasi kokoh menuju Indonesia Emas 2045—maju, berdaya saing, dan bermartabat.