SEMARANG, Selasa (14/3/2023) – Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Jawa Tengah (Jateng) menggelar Dialog Publik bertema “Fenomena Harga Sembako Jelang Ramadhan”. Topik yang sangat relevan dalam menyambut bulan suci Ramadhan pekan depan. Acara ini diisi oleh tiga narasumber yang berasal dari latar belakang berbeda, yaitu pemerintah dan akademisi.

Akar dari fenomena kenaikan harga sembako menjelang Ramadhan adalah tradisi dan kebiasaan masyarakat yang dihadapkan oleh kenaikan harga akibat peningkatan permintaan. Wakil Ketua Komisi B DPRD Provinsi Jawa Tengah Sri Marnyuni memberikan contoh tradisi mudik saat sanak saudara berkumpul dan membuat tuan rumah menyediakan jamuan yang enak dan lebih banyak sebagai bentuk kebiasaan.

“Ramadhan dan Lebaran itu identik dengan membeli barang-barang baru dan makanan yang lebih bergizi. Sehingga kecenderungan belanja menjadi tinggi,” kata Sri. Oleh karena itu, masyarakat perlu diimbau untuk belanja secara berkecukupan dari awal hingga akhir momentum Ramadhan sampai saat Idul Fitri.

Wakil Ketua Komisi B DPRD Provinsi Jawa Tengah Sri Marnyuni

Harga dan stok jelang Ramadhan

Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jawa Tengah, M Arief Sambodo, yang turut hadir sebagai narasumber dalam acara ini memaparkan kesediaan stok dan harga barang menjelang Ramadhan tahun ini.

“Sementara ini, harga masih baik. Untuk stok tidak ada masalah. Beras memasuki musim panen. H-7 Lebaran biasanya pergerakan mulai terasa atas permintaan konsumen. Paling tidak 10 hari menjelang Lebaran mulai ada pergerakan harga,” jelas Arief.

Meskipun stok tersedia, tapi harga beras saat ini justru mengalami kenaikan. Di sisi lain, telur yang menjadi bahan pokok paling praktis selama bulan puasa harganya masih stabil. Menurut Arief, menurunkan harga beras ini memang masih menjadi pekerjaan rumah utama pemerintah yang belum bisa teratasi.

Penyebab kenaikan harga

Permintaan yang tinggi membuat harga menjadi naik. Permintaan erat kaitannya dengan perilaku konsumen yang dipengaruhi oleh budaya, termasuk pada fenomena menjelang Ramadhan. Budaya yang dimaksud adalah tradisi sedekah atau berbagi di antara masyarakat Indonesia yang menyebabkan tingginya permintaan barang di pasaran.

“Kenaikan harga dianggap biasa karena tradisi, padahal jika ada perbaikan (harga) maka rakyat akan senang. Jadi, kewajiban pemerintah untuk menyediakan stok dan haluan distribusi yang harus diperhatikan karena banyak pemain yang mencari peluang,” kata Dekan Fakultas Ekonomi Muhammadiyah Semarang Dr Haerudin.

Pada praktiknya, kenaikan harga ini tidak dinikmati oleh petani, melainkan para distributor. Walaupun telah BUMP (Badan Usaha Milik Petani), dalam pelaksanaannya perlu untuk diperkirakan karena potensi penimbun yang bermain di pasar akan selalu ada.

Meskipun tradisi Ramadhan yang berkembang di masyarakat dinilai wajar menjadi faktor penyebab kenaikan harga, sistem dan kebijakan yang dapat memastikan ketersediaan stok adalah kuncinya. Agar harga dapat stabil dan membuat masyarakat selaku konsumen dapat senang dan tenang dalam beribadah. [SITI ZAHWA H/TSABITA S NAJA/ANF]