Apa itu radikalisme? Ia merupakan suatu sikap yang mendambakan perubahan total dan bersifat revolusioner, dengan menjungkirbalikkan nilai–nilai secara drastis melalui kekerasan dan tindakan ekstrim. Radikalisme seringkali dijumpai pada kaum millennial atau bahkan mahasiswa. Hal ini didasari dari adanya radikalisme dan kekerasan keagamaan yang kini cenderung tidak mudah diidentifikasi penyebabnya serta tidak berpusat di tempat tertentu. Walau begitu, di era digital ini muncul sebuah kemudahan untuk semakin menyebarluaskan paham radikalisme ini melalui fasilitas jejaring internet. Oleh karena itu, para pengguna media digital harus berbekali literasi digital agar tidak mudah terjerat oleh paham tersebut.
Menyikapi hal itu, maka lembaga Kominfo bekerja sama dengan Jaringan Pegiat Literasi Digital (Japelidi) dan Siberkreasi Gerakan Nasional Literasi Digital dalam menggelar webinar dengan tajuk “Berantas Radikalisme Melalui Literasi Digital”. Webinar yang digelar pada Kamis, 16 September 2021, pukul 13.00-15.30 diikuti oleh sejumlah peserta secara daring.
Dalam forum tersebut hadir Mikhail Gorbachev Dom (Peneliti Institut Humor Indonesia Kini), Sandy Nayoan (Lawyer IT & Dosen Universitas Gunadarma), Dr Lintang Ratri Rahmiaji SSos, MSi, (Dosen Fisip Univ Diponegoro, Japelidi), Djaka Dwiandi Purwaningtijasa, ST (Digital Designer & Photographer), dan Gloria Vincentia (Juara 3 Putri Batik Nusantara 2018) selaku narasumber.
Dalam pemaparannya, Djaka Dwiandi Purwaningtijasa, ST menyampaikan informasi penting bahwa “Apa saja yang disebabkan di internet akan ada jejak digital. Jejak digital mengetahui siapa kita di dunia digital; apapun yang kita lakukan saat beraktivitas daring akan meninggalkan jejak digital dan efeknya ini sangat nyata. Belum lama ini terdapat pejabat BUM yang terjerat karena memiliki jejak digital terpapar radikalisme. Jejak digital aktif mencakup data platform digital, contohnya dari Facebook, TikTok dan lainnya. Biasanya jejak digital ini ada gunanya secara positif, tetapi ada yang dimanfaatkan secara kurang menyenangkan untuk kita. Kemudian bagaimana kita memahami atau mendalami tentang jejak digital? Nah, ini harus kita asah kemampuannya agar lebih paham lagi tentang jejak digital. Setelah kita paham, kita akan mampu membentuk rekam jejak digital yang positif dan mengurangi potensi terpapar pada radikalisme yang tersebar di berbagai platform digital.”
Gloria Vincentia selaku narasumber Key Opinion Leader juga menyampaikan bahwa terkait konten radikalisme, untungnya sampai detik ini secara pribadi ia belum mengalami sampai se-ekstrim seperti itu. Ia menyarankan agar kita sebagai pengguna media digital lebih bijak lagi dengan menerapkan literasi digital. Hal itu akan berpengaruh terhadap pemberantasan isu radikalisme, dan mengajak sesama pengguna lainnya untuk membentuk ruang digital yang positif dengn tidak hanya mengikuti informasi tetapi tren dalam hal melawan radikalisme. Kita harus mampu memberikan pemahaman kepada pengguna lain bahwa berbeda itu Indonesia; bahwa budaya kita sendiri menjunjung tinggi perbedaan. Maka dari itu, harus bisa mengajak dan mendukung sesama untuk mencintai budaya dan mengeksplorasi potensi yang ada di Indonesia.
Para partisipan yang hadir juga dipersilahkan untuk mengutarakan pertanyaan dan tanggapan. Salah satu peserta bernama Rani Febrianti menyampaikan pertanyaan “Bagaimana cara menciptakan sikap cinta tanah air dan menerapkan nilai-nilai Pancasila bagi Generasi Z dan Generasi Alpha di tengah situasi pandemi saat ini, khususnya dengan pembelajaran diadakan daring, di mana pembelajaran daring ini emosi siswa tidak semaksimal seperti saat pembelajaran secara langsung? Generasi sekarang belum mampu maksimal dalam menyaring hal-hal negatif dari budaya-budaya luar dan melakukan managemen diri dalam menggunakan smartphone. Bagaimana caranya memanfaatkan digitalisasi ini agar generasi sekarang bisa tetap Pancasilais dan ideologis, juga bijak menggunakan smartphone?”
Pertanyaan tersebut pun dijawab dengan lugas oleh Dr Lintang Ratri Rahmiaji SSos, MSi, bahwa “Menyukai kebudayaan luar negeri itu tidak salah, tetapi kita juga harus menghargai dan mencintai budaya sendiri yang lebih dikuatkan kembali sekarang. Sebetulnya daring atau luring tidak ada hubungannya; nilai tetap bisa ditransformasikan. Kita harus berpikir secara multiperspektif; bagaimana cara masuk ke generasi sekarang bukan kontennya saja tetapi pengemasannya pun harus di sesuaikan dengan anak jaman sekarang. Misalnya, kita harus pikirkan bagaimana Pancasila dapat diterima dengan lebih kreatif untuk dapat dipahami dan diterapkan oleh anak.”
Webinar ini merupakan salah satu rangkaian kegiatan literasi digital di Kota Jakarta Barat. Kegiatan ini pun terbuka bagi semua orang yang berkeinginan untuk memahami dunia literasi digital. Untuk itulah penyelenggara pada agenda webinar selanjutnya, membuka peluang sebesar-besarnya kepada semua anak bangsa untuk berpartisipasi pada webinar ini melalui akun Instagram @siberkreasi.dkibanten. Juga, bagi yang ingin mengetahui tentang Gerakan Nasional Literasi Digital secara keseluruhan bisa ikuti akun Instagram @siberkreasi.
Kegiatan webinar ini juga turut mengapresiasi partisipasi dan dukungan semua pihak, sehingga dapat berjalan dengan baik, mengingat program literasi digital ini hanya akan sukses mencapai target 12,5 juta partisipan jika turut didukung oleh semua pihak yang terlibat.