Guru dalam tradisi Jawa merupakan akronim dari “digugu dan ditiru”—orang yang dipercaya dan diikuti. Menjadi guru bukan hanya bertanggung jawab mengajar mata pelajaran, melainkan lebih dari itu yang juga mendidik moral, etika, integritas, dan karakter. Seperti yang pernah diucapkan Ki Hajar Dewantara, “Ing ngarso sung tulodo, ing madya mangun karso, tut wuri handayani.”

Dengan perpaduan in­­te­legensi dan ka­rakter yang kuat, ke­terbatasan bagi guru bukanlah menjadi peng­halang. Terlebih la­gi mengingat membangun bangsa ada­lah proses tanpa akhir dari satu generasi ke generasi berikutnya. Setiap generasi bertanggung jawab membangun per­adaban dan sistem yang lebih baik untuk diserahkan kepada dan diteruskan oleh generasi berikutnya.

Keempat insan ini contohnya yang menjadi guru sekaligus ino­vator dalam me­­majukan kon­disi pendidikan di Indo­nesia. Keter­batasan tidak menjadi peng­­halang untuk mereka dalam meng­ajar.

Foto-foto : dokumen Kemendikbud.

Me­reka terus konsisten berupaya mem­­berikan pendidikan terbaik bagi anak muridnya.

Dengan kemampuan yang di­miliki, mereka berusaha meng­ha­dirkan metode pembelajaran atau alat ajar-mengajar yang kreatif. Di­fasilitasi oleh Kementerian Pen­di­dikan dan Kebudayaan (Kemen­dikbud) mereka menjadi peserta ter­pilih yang berkesempatan un­tuk memperkenalkan inovasi di pa­­meran yang diadakan dalam Rem­buk Nasional Pendidikan dan Kebudayaan (RNPK) 2018 di Sa­wangan, Depok, Senin (5/2).

Sekretaris Direktorat Jendral Gu­ru dan Tenaga Kependidikan Kemen­terian Pendidikan dan Kebudayaan (Ditjen GTK Kemendikbud) Indonesia Dr E Nurzaman AM MSi MM menyampaikan, guru ideal adalah yang memiliki karakter pembelajar.

Pengembangan profesionalisme gu­ru harus mengem­bangkan dirinya di mana pun dan kapan pun. Selain itu, pengembangan yang dilakukan bukan karena serti­fikasi, karier, atau kepala sekolah, tetapi karena telah menjadi bagian inheren konsep dirinya.

Dalam rangka mewadahi guru-guru yang kreatif, GTK Kemendikbud setiap tahun mengadakan lomba inovasi pembelajaran dan keempat guru ini pernah menjadi pesertanya.

APE multiguna untuk PAUD

Puji Riswati adalah guru TK Mus­­limat NU Masitoh 15 Sukorejo, Pekalongan Timur, Jawa Tengah. Puji telah menjadi guru PAUD selama lebih dari 10 tahun. Meski hingga saat ini masih menyandang sebagai guru honorer, tak menyu­rutkan semangatnya untuk terus mengajar. Adanya kebutuhan akan alat permainan edukatif (APE) yang praktis dan multiguna bagi muridnya, mengarahkan Puji untuk membuat Loker Divergen (Lodi).

Lodi adalah nama APE yang ia kembangkan. Selama menjadi guru PAUD, ia mengaku sering kesulitan me­nentukan jenis APE untuk anak didiknya. Kebanyakan mainan yang dipakai oleh anak didiknya hanya sebatas untuk bermain, tapi tidak turut melatih bahasa, psikomotorik, dan sosial emosional anak.

“Biasanya APE itu kalau ha­bis dipakai, digeletakkan, tidak di­simpan. Saya ingin membuat APE yang bisa langsung disimpan, tidak berantakan begitu,” tuturnya.

Berbekal motivasi itu, Puji me­ngem­bangkan loker yang pada dasarnya adalah tempat penyim­panan. Tak hanya sebagai tempat menyimpan, loker ini juga dapat dimainkan. Lodi diciptakan oleh Puji dengan mengacu pada enam bidang pengembangan pendidikan PAUD. Enam bidang tersebut terdiri atas nilai agama dan moral, fisik motorik, kognitif, sosial emosional, bahasa, dan seni.

Bersama Lodi, Puji menjadi pe­­menang utama dalam lomba pe­ngembangan APE PAUD tingkat Na­sional 2013 di Jakarta. Sejak itu, enam prototipe Lodi telah dibuat, salah satunya dipergunakan langsung di sekolah tempat Puji mengajar. Ke depan, ia berharap APE hasil karyanya juga dapat digunakan oleh pendidik dan anak didik usia dini di seluruh Indonesia.

Dari Indonesia timur

Bagi Arif Darmadiansah SPd Gr, menjadi guru di daerah tertinggal, terluar, dan terdepan (3T) tak membuatnya kehilangan akal untuk menghadirkan perangkat edukatif yang membantu siswa lebih memahami pelajaran. Arif adalah guru biologi di SMAN Probur, Kabupaten Alor, NTT. Arif menginisiasi pene­rapan pembelajaran disqovery inquiry berbasis HDProtens, yaitu hologram digital proyektor tenaga surya untuk meningkatkan kualitas pembelajaran biologi kelas X di Tapal Batas Timur SMAN Probur.

Latar belakang Arif membuat alat ini adalah karena kualitas pen­didikan di sekolah yang berada di daerah 3T masih sangat rendah. Mi­nim­nya fasilitas sarana dan pra­sarana penunjang kegiatan belajar mengajar (KBM), terutama me­dia pembelajaran, menjadi salah satu faktor utama rendahnya kualitas belajar di sekolah.

Kurangnya media pembelajaran mem­batasi guru untuk dapat menyampaikan materi dengan baik. Pembelajaran berlangsung monoton dan cenderung membosankan. Hal ini diperparah de­ngan tidak adanya aliran listrik sehingga media pembelajaran berbasis elektronik hampir mustahil untuk dapat digunakan sebagai penunjang kegiatan belajar.

Dengan alat ini, dalam pem­belajaran Biologi, memungkinkan dilaksanakannya berbagai kegiatan seperti presentasi infor­masi dalam bentuk teks, grafik, simulasi, gambar, video, animasi, dan instruksi yang bersifat mandiri (indi­vidual) sesuai dengan kemajuan belajar. Media ini dapat membuat suatu konsep lebih menarik dengan tampilan 3D (yang listriknya berasal dari tenaga surya) sehingga menambah motivasi untuk mempelajari dan menguasainya. Ma­­teri-materi yang sebelumnya abstrak dan monoton da­pat dikemas secara interaktif serta mem­berikan pengalaman belajar yang baru.

Salah satu manfaat dari peng­gunaan alat ini adalah hasil belajar siswa (khususnya mata pelajaran Bio­logi) setelah penerapan model pembelajaran disqovery inquiry berbasis HDProtens sebesar 66, 67 persen ketuntasan klasikal secara umum, meningkat dibanding sebe­lum­nya yang hanya 35 persen.

“Semoga alat ini dapat tersebar dan digunakan oleh sekolah lain, khususnya di sekolah-sekolah yang berada di daerah 3T,” ungkap peraih hibah dana SEAQIS Research Grants 2017 ini.

Memudahkan Fisika

Guru Fisika SMAN 1 Sumarorong, Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat, Arizenjaya Sambokaraeng menemukan alat pengukur energi serap benda berwarna. Temuannya itu diberi nama Instrumen Termodinamika Arizenjaya. Instrumen ini bekerja berdasarkan prinsip dasar dari gejala-gejala termodinamika.

Arizenjaya memaparkan, alat tersebut berupa pengukur perbedaan energi serap benda berwarna yang dilengkapi dengan postulat. “Jika benda memiliki energi serap sesuai warnanya, pemberian warna benda dapat diintervensi melalui pemberian energi,” jelasnya.

Tujuan paling mendasar dari temuannya tersebut adalah agar semua lapisan masyarakat mulai anak-anak hingga orangtua bisa mencintai ilmu fisika. “Menariknya adalah dengan alat ini kita bisa dengan mudah belajar fisika. Artinya hanya satu alat dengan delapan materi yang bisa dipelajari dengan sangat mudah,” jelasnya.

Alat ini hanya ada satu di dunia, bahkan sudah memiliki sertifikat hak cipta dari Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (HKI) De­partemen Hukum dan HAM Republik Indonesia.

Mengenal jaringan internet “lebih dekat”

Arief R Budiman, guru SMKN 4 Tasikmalaya, menginisiasi Purba Network Simulator. Alat ini merupakan media pembelajaran dan pengenalan teknologi internet dari hulu hingga hilir. Awal­nya, Purbaratu Network merupakan  alat praktik yang dirancang khusus untuk memenuhi kompetensi yang ada dalam Program Keahlian Teknik Komputer dan Jaringan SMK khususnya kompetensi pada kelas XI dan Kelas XII.

Trainer itu dibuat didasarkan kepada kebutuhan siswa-siswa TKJ dalam mengaplikasikan kompetensi yang sedang diampu. Trainer kit TKJ ini disesuaikan dengan kurikulum yang terdapat pada program keahlian Teknik Komputer dan Jaringan SMK baik kurikulum KTSP maupun kurikulum 2013. Trainer kit TKJ terdiri atas Trainer LAN dan Trainer WA.

Dengan dukungan Kemendikbud, alat ini telah memiliki Surat Pendaftaraan Ciptaan dan Berita Res­mi Paten dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Alat ini juga telah tersebar di 26 SMKN di berbagai pulau di Indonesia. [ACH]

Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 10 Februari 2018.