Global Islamic Finance Report (GIFR) 2019 dari Cambridge Institute of Islamic Finance (IIF) mengumumkan, Indonesia menjadi negara peringkat teratas dalam hal keuangan Islam global. Dengan skor 81,93, Indonesia menggeser Malaysia yang sudah mendominasi peringkat ini sejak 2011.

Memang sudah seharusnya, Indonesia menjadi pemain utama industri halal dan pusat ekonomi syariah dunia. Untuk melihat gambaran besarnya, koran ini mewawancarai beberapa anggota Dewan Pengarah Komite Nasional Keuangan Syariah (DP KNKS), yaitu Gubernur Bank Indonesia (BI) dan Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), serta Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas selaku Sekretaris Dewan Pengarah.

Walaupun memiliki populasi muslim terbesar di dunia, Indonesia justru masih banyak mengimpor produk halal. Salah satunya makanan.

Mengutip laporan Global Islamic Economy Report (GIER) 2019/2020, konsumsi makanan halal Indonesia mencapai 173 miliar dollar AS. Nilai ini membuat Indonesia menjadi konsumen makanan halal terbesar di dunia. Justru yang menjadi pengekspor makanan halal terbesar di dunia adalah Brasil dengan nilai 5,5 miliar dollar AS.

Di bidang lainnya, seperti keuangan, pariwisata, fashion, media dan rekreasi, serta kosmetik dan obat-obatan, Indonesia pun juga belum menjadi pemimpin. GIER 2019 melaporkan, keuangan syariah berada di urutan 5, modest fashion berada di urutan 3, dan pariwisata berada di urutan 4. Secara keseluruhan skor GIER Indonesia adalah 49 dan menempatkannya di urutan 5.

Namun, hal ini tidak membuat risau pemerintah. Menteri PPN/Bappenas Suharso Monoarfa optimistis, Indonesia bisa menjadi pemimpin industri halal dan ekonomi syariah dunia.

“Saat ini, Indonesia belum menjadi yang terbaik di pasar halal, tetapi perkembangan pasar halal Indonesia dari tahun ke tahun menunjukkan perbaikan peringkat di internasional. Asalkan Indonesia bisa meng­optimalkan peluang pasar yang mencapai triliunan dollar AS ini,” ujarnya.

Global Islamic Economy Report (GIER) 2019/2020 melaporkan, konsumsi makanan halal Indonesia mencapai 173 miliar dollar AS. Nilai ini membuat Indonesia menjadi konsumen makanan halal terbesar di dunia.

Penguatan rantai nilai halal

Sebenarnya berbicara prestasi di sektor syariah, pada riset lainnya, Indonesia tidaklah buruk. Di laporan Global Muslim Travel Index (GMTI) 2019, Indonesia berada di peringkat satu dalam pariwisata halal bersama Malaysia. Sedangkan, untuk keuangan syariah, berdasarkan laporan Islamic Finance Development Report (IFDI) 2019, Indonesia berada di urutan ke-4, berada di bawah Malaysia, Bahrain, dan Uni Emirat Arab.

Di sektor makanan dan minuman, Indonesia berpeluang mendominasi dunia. Contohya, Indomie sudah menembus 80 negara, antara lain Malaysia, Arab Saudi, Nigeria, dan Mesir.

Di bidang fashion, beberapa desainer Indonesia mendapatkan penghargaan internasional, contohnya pada 2017 Jenny Tjahyawati mendapat penghargaan dari Islamic Fashion and Design Council, Italia dan Nur Zahra menerima penghargaan dari AAB Fashion dan Debenhams.

Belum lagi dari sektor kosmetik. Wardah, merek kosmetik halal asal Indonesia, mendapatkan penghargaan di ajang Beautyfest Asia 2017. Ini membuktikan Wardah bisa bersaing dengan merek kosmetik lainnya di internasional.

Sektor-sektor inilah yang harus didorong untuk ekspor. Produk halal ini bisa menjadi substitusi impor yang tepat dan mendapatkan devisa. Seperti diketahui, nilai transaksi ekspor impor ekonomi halal dunia ini mencapai 210 miliar dollar AS pada 2018 dengan nilai impor mencapai 1,8 triliun dollar AS di seluruh negara OKI.

Agar bisa meraih peluang itu, salah satu caranya adalah membentuk rantai nilai halal (RNH) dengan membangun kawasan industri halal. Suharso mengatakan, Indonesia harus mengejar kemajuan negara lain dalam hal industri produk halal, salah satunya dengan mempromosikan dan meng­inisiasi kawasan industri halal.

“Kita ingin bisa menjadi produsen produk halal berkualitas pada masa depan. Dengan pasokan dan produksi yang cukup di dalam negeri, impor bisa dikurangi dan akan membantu neraca perdagangan Indonesia ke depannya,” ujarnya.

Kawasan ini dibentuk di dalam kawasan industri yang sudah ada, tetapi dengan sistem dan fasilitas yang memadai untuk menghasilkan produk halal, sesuai dengan Jaminan Produk Halal (JPH). Sejauh ini, sudah ada empat kawasan industri halal, yaitu Batamindo Industrial Estate, Bintan Industrial Park, Jakarta Industrial Estate Pulogadung, dan Modern Cikande Industrial Estate.

“Bappenas, Komite Nasional Keuangan Syariah (KNKS), dan Kementerian Perin­dus­trian terus berkoordinasi terkait hal ini. Rencana ini telah masuk dalam rancangan teknokratik rencana pembangunan jangka menengah nasional 2020–2024,” ungkap Suharso.

Indonesia harus mengejar kemajuan negara lain dalam hal industri produk halal, salah satunya dengan mempromosikan dan meng­inisiasi kawasan industri halal.

Meningkatkan literasi ekonomi dan keuangan syariah

Penguatan RNH tidak hanya mencakup infrastruktur, tetapi juga pelaku usaha, pem­biayaan, dan regulasinya. Pendampingan aspek teknis untuk peningkatan kualitas dan akses pasar menjadi penting.

Peningkatan skala usaha ini harus dilakukan bertahap dan implementasi mulai mengarah pada pengembangan usaha syariah pada UMKM, usaha besar, bahkan pesantren. Pesantren sangat prospektif untuk mendukung pengembangan syariah.

Promosi berkelanjutan kepada masyarakat juga menjadi penting. Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan literasi keuangan syariah di Indonesia. Bank Indonesia (BI), misalnya, secara rutin sejak 2014 mengadakan Indonesia Sharia Economic Festival (ISEF).

ekonomi syariah
Peresmian Pembukaan Indonesia Sharia Economic Festival 2019 oleh Wakil Presiden Republik Indonesia Ma’ruf Amin

ISEF memiliki dua kegiatan utama, yaitu Shari’a Economic Forum dan Shari’a Fair, yang menghadirkan beragam outlet bagi pelaku usaha industri halal, pesantren, lembaga keuangan, dan lainnya.

“Tahun ini, ISEF mengintegrasikan seminar, forum, pelatihan, expo, dan business matching untuk memperkuat posisi Indonesia dalam RNH global. Pada posisi tersebut, eko­nomi syariah dapat menjadi salah satu mesin pertum­buhan ekonomi nasional sekaligus me­wujudkan center of production and trade yang efisien serta kredibel sesuai dengan per­kem­bangan teknologi,” ujar Gubernur BI Perry Warjiyo.

Penyelenggaraan Sharia Fair pada ISEF merupakan showcase dari pencapaian blueprint pengembangan Ekonomi dan Keuangan Syariah yang antara lain meliputi penguatan rantai nilai halal di empat sektor, yaitu food and fashion, halal tourism, integrated farming, dan renewable energy.

Dana umat untuk pembangunan nasional

Sistem ekonomi dan keuangan syariah menempatkan sektor komersial dan sosial secara berdampingan untuk saling mendukung. Perry menambahkan, hal ini sejalan dengan nilai-nilai dan prinsip dasar ekonomi syariah yang mengupayakan secara maksimal pencapaian tujuan sosial dengan menafkahkan sebagian harta untuk kepentingan bersama.

Salah satu bentuk integrasi itu adalah Cash Waqf Linked Sukuk (CWLS), sebuah instrumen investasi dana wakaf uang yang dikelola Badan Wakaf Indonesia (BWI) sebagai nadzhir (pengelola dana wakaf) dalam negeri pada SBSN dengan skema fiduciary untuk mendukung program pemerintah dalam pembangunan sarana publik.

“Pada CWLS, imbal hasil yang diperoleh digunakan untuk proyek tertentu (targeted project atau investment), misalnya pembiayaan infrastruktur yang terkait dengan SDGs dan pembangunan sarana sosial, serta program atau kegiatan sosial,” ujarnya.

Hal ini beralasan karena menurut perhitungan BWI, potensi wakaf di Indonesia mencapai Rp 180 triliun per tahun. Begitu juga dengan zakat, berdasarkan data dari Baznas, potensinya mencapai Rp 232 triliun, sementara realisasinya mencapai Rp 8 triliun.

“Untuk dapat mengoptimalkan manfaat zakat secara makro dan menyeluruh dalam perekonomian, optimalisasi peran dan keberadaan badan amil zakat/lembaga amil zakat mutlak menjadi penting apabila Indonesia ingin menjadikan zakat sebagai salah satu instrumen peningkatan kesejahteraan masyarakat,” ujar Perry.

Terkait hal itu, Ketua Dewan Komisioner LPS Halim Alamsyah mengatakan, pengum­pulan dana umat seharusnya terintegrasi. Sela­ma ini, masih berjalan sendiri dan belum bersinergi dengan baik.

Padahal, dana umat bisa menggerakkan pertumbuhan ekonomi, meng­entaskan rakyat dari kemiskinan, dan pada akhirnya mendorong Indonesia menjadi pu­sat keuangan syariah dunia. Dalam konteks fung­si intermediasi, dana umat adalah sumber utama bagi perbankan syariah yang mempunyai multiplier effect.

Potensi wakaf di Indonesia mencapai Rp 180 triliun per tahun. Begitu juga zakat, data dari Baznas mencatat, potensinya mencapai Rp 232 triliun. 

“Saat ini, pengumpulan dana umat yang te­lah terintegrasi adalah pengelolaan dana haji oleh Badan Pelaksana Pengelola Keuangan Ha­ji (BPKH). Dana haji ini ditempatkan di dua instrumen, yaitu di bank syariah dan SBSN. Dana di bank syariah bisa membantu ma­­syarakat bergerak di sektor riil, sedangkan di SBSN bisa menambah anggaran di APBN un­­tuk kepentingan pembangunan,” ujar Halim.

Sejauh ini, LPS sudah menjamin simpanan masyarakat di perbankan syariah. Tugas ini sudah ditetapkan melalui Undang-Undang LPS Nomor 24 Tahun 2004 yang diimplementasikan pada Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2005. Dalam aspek kepatuhan syariah, tugas LPS tersebut juga telah diperkuat Fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia Nomor 118/DSN-MUI/II/2018 tentang Pedoman Penjaminan Simpanan Nasabah Bank Syariah.

Halim mengatakan, LPS masih menjajaki kemungkinan dan melakukan kajian terkait penjaminan simpanan yang belum termasuk skema penjaminan yang berlaku saat ini, misalnya untuk Baitul Mal Tamwil (BMT). Komunikasi antarlembaga terkait masih terus dilakukan. Saat ini, yang bisa dilakukan LPS adalah menjamin simpanan BMT yang ditempatkan di bank syariah.

“Dengan cara ini, penjaminan dana masyarakat yang dilakukan LPS sesuai yang ditetapkan oleh Undang-undang. Saat ini penjaminan LPS maksimal sebesar Rp 2 miliar dan hanya berlaku pada bank syariah yang sudah terdaftar di LPS, yaitu Bank Umum Syariah (BUS) dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS),” pungkas Halim.

Menteri PPN/Kepala Bappenas
Sekretaris Dewan Pengarah KNKS
Suharso Monoarfa.

Tingkatkan “Awareness”, Dorong Sektor Riil

Ekonomi dan keuangan syariah Indonesia masih belum sesuai harapan salah satunya karena tingkat kesadaran masyarakat masih rendah. Namun, tren awareness meningkat karena tumbuhnya pola dan gaya hidup halal.

“Untuk itu, literasi produk halal akan diupayakan lebih masif ke depan dengan mengembangkan pola dan gaya hidup halal, misalnya pariwisata muslim friendly, modest fashion, dan media rekreasi halal,” ujar Suharso.

Namun, dampak paling terasa jika awareness naik ada di sektor makanan dan minuman serta siap saji. Hal ini mendorong UMKM makanan dan minuman untuk ikut proses sertifikasi halal dengan program pendampingan dari pemerintah daerah.

Komite Nasional Keuangan Syariah (KNKS) sedang menyusun strategi nasional peningkatan literasi ekonomi syariah Indonesia. Hasilnya, peringkat Indonesia mulai membaik menurut Global Islamic Finance Report dan Islamic Finance Development Index di 2019.

Walaupun demikian, masih ada beberapa kendala dalam pengembangan ekonomi syariah. Saat ini, cakupan dan pengembangan ekonomi syariah masih condong kepada sektor keuangan. Sektor riil harus mulai ditingkatkan agar peran ekonomi syariah di masyarakat lebih optimal. Kemudian, sertifikasi halal harus diadopsi secara menyeluruh ke berbagai aspek.

“KNKS ke depannya diharapkan mampu membuat kluster dan strategi pengembangan RNH sesuai dengan Masterplan Ekonomi Syariah Indonesia 2019-2024. Selain itu, KNKS mampu menjadi wadah koordinasi, sinkronisasi, dan sinergi arah kebijakan, serta program strategis pembangunan nasional di sektor keuangan syariah,” pungkasnya.

Gubernur Bank Indonesia
Anggota Dewan Pengarah KNKS
Perry Warjiyo

Prospek Besar Pesantren dalam Ekonomi Syariah

Sesuai dengan arahan Presiden RI, KNKS merupakan wadah koordinasi, sinkronisasi, dan sinergi arah kebijakan dan program strategis pembangunan nasional di sektor keuangan syariah. Dalam hal ini, pengembangan keuangan syariah tidak bisa dilepaskan dari upaya penguatan sektor riil.

Salah satu yang menjadi prospek besar yang harus diperhatikan adalah pesantren, lembaga pendidikan yang prospektif untuk pengembangan ekonomi syariah karena memiliki sumber daya insani dan agen pertumbuhan inklusif. Bersama dengan UMKM dan dunia usaha besar, pesantren masuk ke dalam pengembangan ekosistem rantai nilai halal.

Dengan jumlah 28.984 pesantren (data Kemenag, 2016) dengan jumlah 4.158.003 santri bisa memperkuat ekonomi syariah, selain untuk kemandirian ekonomi pesantren. Adapun visi yang ingin dicapai pesantren dalam 20 tahun mendatang adalah menjadi lembaga pendidikan Islam yang mandiri secara ekonomi dan profesional sehingga mampu mencetak lulusan yang unggul dalam bidang agama, modern, dan wirausaha.

“Dengan fungsi sebagai lembaga pendidikan, keagamaan, dan pemberdayaan ekonomi masyarakat, pesantren bisa mencetak sumber daya insani yang berkualitas, melalui program pengembangan yang komprehensif untuk mencapai kemandirian ekonomi,” ujar Perry.

BI pun menetapkan visi dan misi yang sudah diturunkan menjadi roadmap program pengembangan kemandirian ekonomi pesantren secara bertahap. Bersama KNKS, BI akan terus mendukung aktif upaya-upaya ini dan berkolaborasi dengan banyak pihak, termasuk di luar KNKS.

Ketua Lembaga Penjamin Simpanan
Anggota Dewan Pengarah KNKS
Halim Alamsyah

Menjadi Lokomotif Ekonomi Syariah

KNKS punya banyak tantangan untuk mendorong ekonomi syariah. Salah satu tantangan yang harus dilewati adalah pembenahan, penyelarasan, serta pengharmonisasian seluruh peraturan dan UU yang berkaitan dengan ekonomi dan keuangan syariah. Dari situ, KNKS mampu menjadi lokomotif untuk mengarahkan kegiatan dan aktivitas ekonomi dan keuangan syariah di level institusi maupun non-institusi.

Halim menuturkan, KNKS harus mampu menghasilkan perangkat kebijakan yang tidak hanya menekankan pada pasar, tetapi juga mengantisipasi gejolak dari setiap kegiatan dan aktivitas perekonomian syariah. Oleh karena itu, pengembangan instrumen bisnis dan keuangan sangat dibutuhkan. Produk itu tidak hanya mengacu pada produk konvensional.

“Misalnya, produk keuangan syariah tidak melulu harus sepadan dengan produk keuangan konvensional. Harus ada produk yang secara spesifik memiliki identitas dan ciri khas keuangan syariah,” ujar Halim.

KNKS juga harus membuat gaya hidup Islami lebih stand out dengan harapan mampu menciptakan pionir atau role model yang mampu menemukan potensi ekonomi yang muncul. Sehingga, manfaatnya berguna untuk kemaslahatan dan kesejahteraan masyarakat hingga di level terbawah.

Namun, tolok ukur keberhasilannya tidak hanya berdasarkan indikator bisnis, tetapi juga sosial. Pengelolaan zakat dan wakaf berpotensi membantu menurunkan tingkat kemiskinan. Keduanya bisa punya multiplier effect untuk banyak sektor, antara lain pendidikan, pemberdayaan masyarakat, dan indikator sosial lainnya.

Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 22 November 2019.