Transplantasi menurut KBBI adalah pemindahan tanaman ke tanaman lain. Arti lainnya adalah pemindahan jaringan atau organ tubuh manusia ke tempat atau orang lain. Dalam konteks ilmu hukum, transplantasi hukum adalah “the borrowing and transmissibility of rules from society or sistem to another “ (Alan Watson). Definisi ini disebut definisi yang luas karena tidak hanya mempertimbangkan pembentukan hukum sebagai hubungan antarnegara, tetapi juga pengaruh dari tradisi hukum antarmasyarakat. Menurut Frederick Schauer, legal transplantation “… the process by which laws and legal institutions developed in one country are then adopted by another”. Dalam hal ini, transplantasi hukum tidak hanya merupakan proses adopsi hukum sebagai aturan tertulis, tetapi juga adopsi terhadap kelembagaan hukum yang menyertainya.
Transplantasi hukum sering menimbulkan problematika. Tri Budiyono menganalogikan problematika yang ditimbulkan transplantasi hukum dengan persoalan medis akibat penolakan organ tubuh terhadap organ yang ditransplantasikan. Transplantasi hukum terutama yang mengatur aktivitas ekonomi menempati posisi yang sangat dominan.
Romli Atmasasmita (2003) mengatakan bahwa menghadapi perubahan yang terjadi pada masyarakat, perlu penataan dan efektivitas hukum nasional termasuk dalam hukum ekonomi. Menurut Romli, empat masalah mendasar yang mendesak untuk dilaksanakan dalam penataan dan efektivitas hukum nasional. Keempat masalah tersebut, pertama, reaktualisasi sistem hukum yang bersifat netral dan berasal dari hukum lokal (hukum adat dan hukum Islam) ke dalam hukum nasional. Di sisi lain juga reaktualisasi sistem hukum yang bersifat netral dan berasal/bersumber dari perjanjian internasional. Kedua, penataan kelembagaan aparatur hukum. Ketiga, pemberdayaan masyarakat. Keempat, pemberdayaan birokrasi (beueucratic engineering/BE). Dikaitkan dengan hukum perbankan syariah, hukum perbankan syariah muncul akibat interaksi hukum Islam dan sistem hukum nasional. Awalnya terbatas pada hukum keluarga, perkawinan, waris dan perjanjian. Selain itu, merupakan konsekuensi dari perkembangan pesat atau dinamika interaksi ekonomi internasional yang mengarah pada ”rule making proces” yang bersifat mendunia. Dengan demikian, hukum perbankan syariah merupakan reaktualisasi hukum perbankan di Indonesia.
Menurut Miranda Gultom, sekurang-kurangnya terdapat lima faktor yang mendukung sistem ekonomi dan keuangan syariah di Indonesia. Pertama, Fatwa Majelis Ulama Indonesia bahwa bunga bank adalah riba dan haram. Kedua, tren kesadaran umat Islam makin meningkat. Khususnya di kalangan masyarakat kelas menengah ke atas. Ketiga, sistem ekonomi syariah berhasil menunjukkan keunggulannya, teruji pada saat krisis ekonomi. Ketika bank-bank konvensional tumbang dan butuh suntikan dana pemerintah hingga ratusan triliun, bank syariah mampu melewati krisis tanpa bantuan dana pemerintah sepeser pun. Keempat, UU Perbankan Syariah akan menjadi payung hukum bagi perbankan syariah di Indonesia. Kelima, tuntutan integrasi Lembaga Keuangan Syariah (LKS) yang saling menopang. Asuransi syariah, pasar modal syariah, reksa dana syariah dan lain-lain.
Untuk mendukung pengembangan perbankan syariah di Indonesia, diperlukan upaya harmonisasi hukum dari berbagai aspek. Hal ini dikarenakan perbankan syariah menyangkut banyak aspek hukum, antara lain hukum perikatan, hukum perjanjian, hukum jaminan (hak tanggungan, fidusia, gadai), hukum tanah, hukum kepailitan dan lain-lain.
Prodi Doktor Ilmu Hukum Pascasarjana Unisba mendorong dosen dan mahasiswa untuk melakukan penelitian dan kajian yang berkontribusi dalam upaya harmonisasi hukum nasional. Harmonisasi hukum, baik sebagai akibat adanya transplantasi hukum maupun sebagai upaya reaktualisasi hukum nasional. (Neni Sri Imaniyati, Guru besar Fakultas Hukum Unisba, Kaprodi Doktor Ilmu Hukum Pascasarjana Unisba)
Menghasilkan lulusan berakhlakul Karimah dan Kompeten. Website : https://www.unisba.ac.id