Tak dapat dimungkiri, perkembangan dunia digital telah menyasar ke segala sisi kehidupan. Saat ini, rasanya hampir tidak ada sisi kehidupan manusia yang tidak terpengaruh proses digitalisasi.
Namun, masih banyak pengguna internet yang hanya mampu menerima informasi tanpa kemampuan memahami dan mengolah informasi tersebut secara baik, sehingga masih banyak masyarakat terpapar oleh informasi yang tidak benar.
Menyikapi hal itu, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menggelar seri webinar literasi digital #MakinCakapDigital dengan tema “Menjadi Pejuang Anti Kabar Bohong (Hoaks)”. Webinar yang digelar pada Kamis, 21 Oktober 2021 di Kabupaten Tangerang, diikuti oleh puluhan peserta secara daring.
Webinar ini mengundang narasumber dari berbagai bidang keahlian dan profesi, yakni Khairul Anwar (Marketing dan Communication Specialist), Erwan Widyarto (Mekar Pribadi, Penulis dan Jurnalis), Septa Dinata AS (Penelitian Paramadina Public Policy Institute), dan Andika Renda Pribadi (Kaizen Room).
Khairul Anwar membuka webinar dengan mengatakan, individu yang cakap bermedia digital dinilai mampu mengetahui, memahami, dan menggunakan perangkat keras dan lunak dalam lanskap digital.
Erwan Widyarto menambahkan, pejuang antihoaks harus memiliki kesadaran penuh dalam berperilaku di dunia digital. Dengan kata lain, dalam bermedia digital pejuang antihoaks harus memiliki tujuan.
“Tujuan yang baik, saat mengunggah konten harus sadar bahwa kontennya bukan hoaks. Bukan konten yang menyesatkan, false context, bukan yang memiliki ciri-ciri hoaks. Saat mengunduh dan meneruskan pesan (konten) pun secara sadar tahu bukan hoaks,” tuturnya.
Menurutnya, pejuang hoaks harus bertanggung jawab, maksudnya mengerti akan akibat yang timbul dari bermedia digital. Mengerti akan akibat dari informasi hoaks yang tersebar. Sikap tanggung jawab seorang pejuang hoaks adalah dengan memanfaatkan internet secara tepat sesuai dengan norma sosial dan etika yang berlaku.
Adapun ciri-ciri hoaks, antara lain menciptakan kecemasan, kebencian, permusuhan. Sumber tidak jelas dan tidak ada yang bisa dimintai tanggung jawab atau klarifikasi. Pesan sepihak, menyerang, dan tidak netral atau berat sebelah.
Biasanya, hoaks juga mencatut nama tokoh berpengaruh, membawa nama besar atau pakai nama mirip media terkenal. Memanfaatkan fanatisme atas nama ideologi, agama, suara rakyat. Judul dan pengertiannya provokatif dan tidak cocok dengan isinya. Memberi penjulukan, minta supaya di-share atau diviralkan.
Cara mengenali hoaks, yaitu periksa alamat url/website apakah kredibel atau tidak. Periksa halaman tentang situs website yang menampilkan informasi tersebut. Cross check di google, tema berita spesifik yang ingin di cek. Cek kebenaran gambarnya di Google Image.
Andika Renda Pribadi mengatakan, karakteristik digital society, antara lain cenderung tidak menyukai aturan yang mengikat atau tidak suka diatur-atur, dikarenakan tersedianya beberapa opsi. Senang mengekspresikan diri, khususnya melalui platform media sosial.
“Mereka terbiasa untuk belajar bukan dari instruksi melainkan dengan mencari, masyarakat digital lebih senang untuk mencari sendiri konten/informasi yang diinginkan. Tidak ragu untuk men-download dan upload, merasa tidak eksis bila tidak meng-upload,” paparnya.
Sayangnya, mereka rentan terhadap hoaks. Adapun jenis-jenis hoaks, antara lain satire parody, tidak ada niat untuk merugikan tapi berpotensi untuk mengelabui. Lalu konten yang menyesatkan, pengguna informasi yang sesat untuk membingkai sebuah isu atau individu.
Konten tiruan, ketika sebuah sumber asli ditiru, Koneksi yang salah, ketika judul, gambar, atau keterangan tidak mendukung konten. Konten yang salah, ketika konten yang asli dipadankan dengan konteks informasi yang salah. Konten yang dimanipulasi, ketika informs atau gambar yang asli dimanipulasi untuk menipu.
Dalam sesi KOL, Kevin Benedict mengatakan, dampak positif ruang digital yakni bisa merasakan pekerjaan jarak jauh dari rumah atau WFH, dan kalau mau liburan jarak jauh untuk pesan tiket bisa lewat HP.
“Kalau dampak negatifnya seperti yang dikatakan para narasumber yaitu hoax. Untuk menjadi pejuang hoaks kita harus memilih dan memilah informasinya harus yang benar-benar kredibel dan jelas sesuai faktanya yang ada,” tuturnya.
Salah satu peserta bernama Leo menanyakan, bagaimana cara membedakan antara provokasi, hoaks, opini, maupun deskripsi agar tidak terkena UU ITE yang menyebabkan kegaduhan di dunia maya?
“Kita harus kritis dan tidak boleh skeptis dengan apa yang disajikan, atau berita yang disajikan, jika kita ingin kritis maka kita jangan sampai mengutip fakta yang salah, kita melakukan kritik supaya kita bisa didengar, jika ingin mengkritik sampaikan saja fakta, dan bedakan hoax dengan fakta lebih teliti lagi,” jawab Erwan.
Webinar ini merupakan salah satu rangkaian kegiatan literasi digital di Kabupaten Tangerang. Kegiatan ini pun terbuka bagi semua orang yang berkeinginan untuk memahami dunia literasi digital. Untuk itulah penyelenggara pada agenda webinar selanjutnya, membuka peluang sebesar-besarnya kepada semua anak bangsa untuk berpartisipasi pada webinar ini melalui akun Instagram @siberkreasi.dkibanten.
Kegiatan webinar ini juga turut mengapresiasi partisipasi dan dukungan semua pihak, sehingga dapat berjalan dengan baik, mengingat program literasi digital ini hanya akan sukses mencapai target 12,5 juta partisipan jika turut didukung oleh semua pihak yang terlibat. [*]