Mengapa Nova Dianthy (tenaga dokter dan auditor internal di RSKIA Kota Bandung) menulis sebuah artikel yang begitu positif di tengah intaian infeksi SARS-CoV-2 terhadap tenaga kesehatan? Jawabannya tentu saja karena ia masih hidup.

Selama hayat masih dikandung badan, tentu kita dapat terus berusaha memetik hikmah dari berbagai peristiwa yang menerpa kehidupan kita sebagai manusia yang lemah, tetapi sekaligus mampu berpikir. Dan, tidak lupa dengan segenap simpati kepada keluarga teman sejawat yang telah wafat dalam tugas penanganan pandemi Covid-19 di tempat tugasnya masing-masing. Serta diliputi keyakinan bahwa Tuhan yang Mahakuasa akan membalas kebaikan yang telah dilakukan sesuai dengan kadarnya, bahkan bisa berlipat ganda dari kebaikan itu sendiri. Insyaallah.

Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19 Prof Wiku Adisasmito pada 10 November 2020 menyatakan penghormatan setinggi-tingginya kepada para pahlawan yang ikut serta dalam penanganan Covid-19, yang salah satunya adalah tenaga kesehatan. Sebutan pahlawan tersebut bukan target dari kinerja tenaga kesehatan selama ini. Namun, sebutan itu pun tidaklah keliru.

Sejak Desember 2019, telah beredar banyak video tentang tenaga kesehatan dari berbagai daerah di China yang dikirim ke Wuhan untuk mengatasi masalah wabah pneumonia yang berlangsung begitu dramatis. Walaupun virus tersebut belum dinyatakan sampai ke Indonesia, berbagai forum kajian telah banyak dibuka untuk diseminasi informasi tentang karakteristik virus tersebut sebagai bentuk kesiapsiagaan.

Ketika saatnya telah tiba untuk bertindak karena virus—yang telah dinamai SARS-Cov-2 dan sekaligus penyakitnya diberi nama Covid-19—telah sampai ke negeri kita, seluruh sektor tampak tak siap. Pun tenaga kesehatan. Kelangkaan masker bagi masyarakat melanda seluruh provinsi. Kelangkaan alat pelindung diri (APD) terjadi di seluruh fasilitas kesehatan. Beramai-ramai tenaga kesehatan memakai jas hujan. Sementara itu, beredar kabar pengadaan APD telah gagal dilaksanakan secara nasional.

Atmosfer penanganan Covid-19 di Indonesia amat berbeda dengan Wuhan karena perjalanannya di Indonesia berlangsung kronis dan antiklimaks. Sebagian masyarakat yang semula antusias melakukan perlindungan diri perlahan jemu dan terpengaruh dengan banyak berita bohong. Masker dinilai tak lagi dibutuhkan dan kegiatan berkumpul kembali dilakukan dengan gembira. Korban di kalangan tenaga kesehatan pun berjatuhan. Dan, tagar #IndonesiaTerserah pun menjadi trending. Bukan karena tenaga kesehatan telah menyerah, tetapi semata kecewa karena merasa telah berjuang tanpa dukungan.

Hingga Hari Kesehatan Nasional ke-56 pada 12 November 2020, tenaga kesehatan belum ada yang menyatakan menyerah. Fluktuasi kasus dan perubahan kebijakan Kementerian Kesehatan ditangani secara profesional. Penolakan masyarakat terhadap diagnosis Covid-19 ditanggapi dengan tidak banyak komentar. Bahkan, ketika terjadi perampasan jenazah pasien yang dinyatakan suspek (curiga), probable (diduga), atau konfirmasi (positif) Covid-19, disertai kata-kata kasar dan buruk sangka yang ditujukan untuk tenaga kesehatan, alih-alih melakukan pelaporan pencemaran nama baik, tenaga kesehatan tetap melakukan prosedur yang sedapat mungkin bisa dilakukan.

Bukan rahasia lagi bahwa rumah sakit distigma sebagai fasilitas kesehatan yang hanya mencari uang semata di tengah krisis keuangan masyarakat yang terdampak pandemi. Dari media sosial, dapat disimak bahwa sebagian masyarakat menduga setiap diagnosis Covid-19 diganjar biaya klaim ratusan juta. Padahal besaran biaya klaim setiap pasien tidak jauh-jauh amat dengan biaya riil.

Bila ada selisih yang menguntungkan bagi rumah sakit tentu wajar saja karena kebutuhan APD, sabun, tisu, hand sanitizer, penambahan SDM, dan pengelolaan sampah infeksius juga besar sekali peningkatannya. Bagaimana dengan dugaan “meng-Covid-kan” pasien? Setiap diagnosis Covid-19 akan diajukan ke Kementerian Kesehatan. Para pakar klaim di kementerian akan mengamati kesesuaian diagnosis dengan dokumen yang disertakan. Harus tercipta kesesuaian antara gejala, hasil pemeriksaan klinis, hasil laboratorium, hasil pemeriksaan radiologi, hasil pemeriksaan PCR swab, dan hasil pemeriksaan penunjang lain dengan diagnosis dan protokol penatalaksanaan.

Bila ingin melakukan rekayasa diagnosis tentu dibutuhkan kecurangan berjamaah yang rasanya tak terbayang sanggup untuk dilakukan karena melibatkan mesin-mesin pemeriksaan yang mustahil untuk diajak bekerja sama. Dan, kenyataannya sebagian rumah sakit terengah-engah mewujudkan neraca keuangan yang balance (seimbang antara debit dan kredit).

Sebagian masyarakat juga menduga bahwa seluruh tenaga kesehatan mendapat insentif Covid-19 sejak Maret hingga November 2020 yang dapat mencapai Rp 100 juta lebih untuk seorang dengan keahlian tertinggi. Padahal tenaga kesehatan yang mendapat insentif hanya tenaga kesehatan yang terlibat dalam penanganan Covid-19. Dan, jumlahnya pun tidak sedemikian fantastis.

Insentif tidak turun dengan besaran tetap, tetapi dengan perhitungan matematis menggunakan konstanta tertentu yang harus dipenuhi untuk jumlah pasien yang dilayani dan tenaga kesehatan yang menerima insentif. Sampai hari ini, tenaga kesehatan di tempat Nova bekerja baru mendapat insentif untuk dua bulan yang jumlahnya berbeda. Dan ternyata tidak semua tenaga kesehatan yang terlibat dalam penanganan Covid-19 mendapat insentif tersebut. Begitulah faktanya.

Insentif boleh jadi adalah kompensasi bagi rasa lelah, waswas, stres, sakit, bahkan uang duka bagi tenaga kesehatan yang wafat. Namun, bagi tenaga kesehatan yang tidak mendapat insentif, tentu tak berkurang pengabdiannya kepada pekerjaan yang telah dipilihnya dengan penuh kesadaran itu. Bagi tenaga kesehatan, uang tak dapat membeli rasa puas menyaksikan pasien yang pulih.

Bila seorang tenaga kesehatan tertular Covid-19 lalu sembuh dan sehat kembali, apa yang kemudian dilakukannya? Ia akan memasuki lagi kancah peperangan melawan makhluk tak terlihat itu. Itulah yang disebut pengabdian pada pekerjaan. Yang bila diawali dengan niat ikhlas untuk melakukan yang terbaik dalam hidup yang sesaat ini demi mengharap rida dari Ilahi Rabbi Sang Pemilik Hidup, maka pekerjaan itu berubah wujudnya menjadi ibadah. Insyaallah.

Pada Hari Kesehatan Nasional, para tenaga kesehatan Indonesia bertepuk tangan selama 56 detik untuk menghargai diri sendiri dan untuk menghargai masyarakat yang turut serta melakukan upaya pencegahan. Padahal, nun jauh di Kota New York yang kala itu berada dalam puncak peningkatan kasus, masyarakat berinisiatif melakukan tepuk tangan serempak setiap pukul 7 malam untuk menyemangati tenaga kesehatan yang sedang berjuang menangani 10.000 kasus dalam sehari.

Sungguh membahagiakan bila perjuangan dimengerti, sekaligus tidak disalahpahami. Berada di bawah cakrawala yang berbeda, sebagian masyarakat Indonesia memandang tenaga kesehatan sebagai kelompok yang mengekang kebebasan dalam menjalani hidup yang semakin sulit. Dan, menurut mereka, tenaga kesehatan merupakan golongan eksklusif yang diberi gaji dan tunjangan besar sehingga tidak merasakan kesulitan mencari sesuap nasi. Oleh karena itu, tak salah bila tahun ini tenaga kesehatan melakukan tepuk tangan untuk dirinya sendiri. Sedikit memanjakan diri di tengah ironi.

Dengan situasi khas Indonesia yang tak ada duanya, para tenaga kesehatan akan terus berjuang berusaha menjaga setiap hidup insani sesuai dengan sumpah yang telah diucapkan dengan sepenuh hati. Di tengah adu prioritas kepentingan kesehatan, ekonomi, politik, dan pendidikan, bahkan jabatan, tenaga kesehatan tetap merasa bersyukur karena telah terlibat dalam permasalahan pandemi terbesar dunia yang menorehkan pengalaman tak terlupakan tentang masa kelabu sekaligus penuh hikmah pada tahun 2020 ini. Bukankah kita harus bersyukur atas segala keadaan?

Selamat Hari Kesehatan Nasional ke-56.