Peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 2025 menjadi refleksi penting bagi seluruh pemangku kepentingan untuk memperkuat komitmen dalam menyediakan pendidikan yang bermutu, adil, dan inklusif terutama bagi kelompok rentan seperti penyandang disabilitas belajar.

Dengan mengusung tema “Partisipasi Semesta Wujudkan Pendidikan Bermutu untuk Semua”, pemerintah dan masyarakat diajak untuk lebih aktif berperan dalam menanggulangi kesenjangan pendidikan, termasuk melalui pemanfaatan teknologi.

Berdasarkan data BPS 2023, hanya 37,76 persen anak penyandang disabilitas usia sekolah yang bisa mengakses pendidikan formal. Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan anak tanpa disabilitas. Sebagian besar dari mereka tidak bersekolah karena ketiadaan fasilitas yang mendukung kebutuhan khusus.

Padahal, penyandang disabilitas memiliki hak yang sama dalam mengakses pendidikan sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Lebih dari itu, tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) pada poin ke-4 secara eksplisit menegaskan pentingnya pendidikan yang inklusif dan berkualitas untuk semua, dan poin 10 yang menyerukan perlunya mengurangi ketimpangan, termasuk memberikan perhatian khusus pada kelompok rentan seperti penyandang disabilitas.

Salah satu kelompok yang terdampak adalah anak-anak dengan gangguan bicara dan bahasa. Mereka kerap mengalami hambatan komunikasi yang berdampak pada keterlibatan mereka dalam kegiatan belajar mengajar, serta pada aspek sosial dan emosional mereka. Dalam konteks ini, partisipasi masyarakat dan inovasi teknologi menjadi kunci untuk menjembatani kesenjangan pendidikan tersebut.

Mengatasi ketimpangan akses pendidikan bagi penyandang disabilitas tidak bisa hanya bergantung pada kebijakan pemerintah. Dibutuhkan kolaborasi menyeluruh dari berbagai pihak. Pemerintah perlu memperkuat regulasi dan pendanaan pendidikan inklusif, sementara sekolah harus menciptakan ruang belajar yang ramah bagi semua anak, termasuk yang memiliki kebutuhan khusus. Media, dan masyarakat luas juga berperan penting dalam membangun pandangan positif terhadap disabilitas sebagai bagian dari keberagaman, bukan keterbatasan.

Dunia usaha memegang peran strategis dalam menciptakan pendidikan yang inklusif dan berkeadilan. Melalui dukungan pelatihan vokasi hingga penyediaan teknologi bantu, sektor swasta dapat menjadi katalisator perubahan. Jika seluruh elemen bangsa bergerak bersama, maka upaya menghadirkan pendidikan yang merata bukan lagi sekadar cita-cita, melainkan sebuah keniscayaan.

Taja Telkom University (2)

Hardiknas 2025 adalah seruan moral bahwa pendidikan bermutu tidak boleh eksklusif. Ia harus menjangkau semua termasuk mereka yang selama ini termarjinalkan. Dengan mengedepankan nilai inklusivitas dan keadilan sosial sebagaimana dimandatkan dalam SDGs 4 dan 10, bangsa ini tengah menapaki jalan menuju masa depan yang lebih setara.

Pendidikan yang mampu merangkul semua kelompok, tanpa diskriminasi, bukan hanya mencerdaskan kehidupan bangsa, tetapi juga memperkuat pondasi kemanusiaan yang adil dan beradab. Maka, partisipasi semesta bukan sekadar slogan, tetapi panggilan nyata untuk bertindak hari ini, demi masa depan yang tak meninggalkan siapa pun di belakang.

Program Innovillage sebagai wadah pemberdayaan berbasis teknologi digital, yang diinisiasi oleh PT Telkom Indonesia, telah melahirkan berbagai solusi kreatif yang menyasar kebutuhan sosial masyarakat. Salah satu inovasi yang menonjol dalam mendukung pendidikan inklusif adalah TUTUR sebuah aplikasi komunikasi visual berbasis Picture Exchange Communication System (PECS) yang dirancang sebagai media pembelajaran bagi anak-anak dengan gangguan bicara dan bahasa, karya mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung.

Ketua tim TUTUR, Muhammad Ahsani Taqwim menjelaskan TUTUR adalah aplikasi untuk anak disabilitas tunarungu, tuna grahita dan autisme yang memiliki keterbatasan komunikasi dan bahasa. “Kami membuat aplikasi ini ditujukan untuk membantu anak yang memiliki keterbatasan komunikasi dan bahasa dapat belajar dan berkomunikasi dengan metode Augmentative and Alternative Communication (AAC) dan Picture Exchange Communication System (PECS),” kata Ahsani.

Melalui aplikasi TUTUR, Ahsani berharap inovasi yang dikembangkannya bersama tim dapat memberikan manfaat khususnya untuk teman-teman disabilitas. “Kami sangat terbantu dengan adanya kegiatan ini, sehingga melalui TUTUR kami bisa memberikan kontribusi yang tepat untuk masyarakat,” ujarnya.

Selain sebagai alat bantu komunikasi, TUTUR juga didesain sebagai media edukatif yang dapat digunakan dalam kegiatan belajar di sekolah maupun di rumah. Guru dan orangtua dapat menyesuaikan konten visual dalam aplikasi sesuai dengan kurikulum dan kebutuhan anak. Dengan pendekatan ini, TUTUR tidak hanya memfasilitasi komunikasi, tetapi juga mempercepat proses belajar melalui visualisasi yang mudah dipahami.

Selain TUTUR, Innovillage di tahun ke-5 ini menghasilkan salah satu inovasi lainnya untuk mendukung pembelajaran bagi penyandang disabilitas, inovasi karya Telkom University ini diberi nama talkBook, sebuah inovasi yang mengusung konsep komunikasi alternatif berbasis audiovisual.

Dengan format seperti buku digital interaktif, TalkBook mengoptimalkan interaksi anak-anak penyandang hambatan komunikasi melalui kombinasi suara, teks, dan gambar yang dapat dipersonalisasi. Inovasi ini dirancang untuk meningkatkan respons emosional dan kemampuan reseptif anak terhadap materi pelajaran maupun interaksi sosial, terutama pada anak dengan autisme, afasia, atau cerebral palsy.

Baik TUTUR maupun TalkBook tidak hanya menjawab kebutuhan komunikasi, tetapi juga membuka peluang partisipasi lebih luas bagi anak-anak berkebutuhan khusus di lingkungan sekolah dan pendidikan tinggi. Inovasi-inovasi ini sejalan dengan prinsip utama SDG 4 dan 10: menjembatani kesenjangan melalui pendekatan yang adil, inovatif, dan berpusat pada individu.

Taja Telkom University (3)

Ketua Komisi Nasional Disabilitas, Dante Rigmalia, mengapresiasi peran aktif program ini dalam mendorong inklusi sosial. “Program Innovillage sangat bermanfaat bagi berbagai kalangan, khususnya penyandang disabilitas yang menjadi salah satu fokus utama dalam pengembangan inovasi berbasis teknologi. Inisiatif ini tidak hanya meningkatkan pemahaman peserta dan masyarakat terhadap penyandang disabilitas, tetapi juga berperan penting dalam menghilangkan stigma yang masih ada di lingkungan sosial,” terangnya.

Pendidikan tidak dapat diserahkan hanya kepada pemerintah atau institusi pendidikan. Diperlukan partisipasi semesta termasuk mahasiswa, akademisi, pelaku teknologi, komunitas, dan masyarakat sipil untuk merancang solusi yang menyentuh kelompok rentan.

Deputi Direktur Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek), Adhi Indra Hermanu, hadir sebagai reviewer pada program Innovillage 2025. Ia menyampaikan apresiasi mendalam terhadap semangat inovatif dan kolaboratif yang ditunjukkan oleh para peserta. Menurutnya, Innovillage telah berkembang menjadi lebih dari sekadar ajang kompetisi tapi menjadi ruang belajar bersama yang menghadirkan solusi nyata bagi masyarakat.

“Saya merasa beruntung bisa jadi bagian dari program yang penuh energi dan semangat muda ini. Tahun ini saya melihat banyak ide-ide segar dari mahasiswa yang langsung menyasar persoalan nyata di masyarakat. Nggak cuma inovatif, tapi juga terasa dampaknya,” ungkap Adhi.

Ia juga menyoroti kuatnya kolaborasi antara mahasiswa, dosen, dan mitra lokal dalam setiap proyek. Pendekatan ini dinilainya sebagai kekuatan khas Innovillage yang membuat setiap inisiatif terasa lebih membumi dan berkelanjutan.

“Yang saya suka dari Innovillage adalah kolaborasi antara mahasiswa, dosen, dan mitra lokal yang terasa alami tapi solid. Proses seleksi dan pendampingannya juga makin matang jadi nggak cuma sekadar proyek, tapi benar-benar bisa jadi solusi jangka panjang. Innovillage bukan cuma tentang kompetisi, tapi lebih ke ruang belajar bareng yang seru dan penuh makna. Semoga ke depan program ini terus tumbuh dan menjangkau lebih banyak daerah dengan inovasi-inovasi hebat lainnya,” lanjutnya.

Seperti yang baru diperkenalkan, sebuah gerakan yang diinisiasi Kemendiktisaintek, yaitu #KampusBerdampak. Kampus berdampak adalah gerakan bersama untuk menautkan ilmu dengan aksi, riset dengan kebutuhan nyata, dan pembelajaran dengan pemberdayaan.

Kampus-kampus di seluruh Indonesia akan digerakan untuk menjadi simpul transformasi sosial: membangun desa yang tertinggal, memberdayakan UMKM, merawat lingkungan yang rapuh, serta menyiapkan generasi muda yang tidak hanya pintar, tetapi juga tangguh, peduli, dan berdaya saing.

Program Innovillage sangat relevan dan sejalan dengan semangat gerakan Kampus Berdampak. Sebagai sebuah program inovasi sosial berbasis teknologi yang melibatkan mahasiswa dan dosen dari berbagai perguruan tinggi, Innovillage menjembatani ilmu pengetahuan dengan aksi nyata di masyarakat.

Berfokus pada isu-isu seperti pemberdayaan desa, penguatan UMKM, pelestarian lingkungan, dan pengembangan kapasitas generasi muda, Innovillage menjadi contoh konkrit dari implementasi Kampus Berdampak.