Jangan pandang sebelah mata Singapura. Total warga dan ekspatriat Singapura memang tak lebih dari separuh Jakarta. Luasan Pulau Singapura tak lebih dari seperempat Pulau Bali. Namun, hilir mudik orang dari seluruh penjuru dunia ke Negeri Singa Putih itu mengalir tak habis-habisnya.
Fakta itulah yang membuat Menpar Arief Yahya langsung merancang tiga skenario bernama Visit Wonderful Indonesia (ViWI) 2018. Yang pertama, paket Hot Deals. Berikutnya Colors of Indonesia. Satunya lagi Digital Destination. Sasaran market-nya, manalagi kalau bukan Singapura.
“Singapura itu negara hub. Tempat jutaan orang transit setiap tahun. Limpahan dari pengunjung Singapura itu sudah bisa melebar, dan itu bukan hanya warga negara Singapura,” ucap Arief, Selasa (5/6).
Lantas, mengapa harus Singapura? Alasan pertama, Singapura adalah titik penghubung barat-timur, utara-selatan, tenggara-barat laut. Semua negara di dunia, hampir bisa dipastikan transit di sana.
Yang kedua, potensi pasarnya sangat besar. Ada 3,5 juta warga negara Singapura, 1,5 juta ekspatriat yang tinggal di Singapura, dan 15,5 juta wisman dalam setahun di negara tetangga itu.
“Saya sering mengibaratkan menjaring ikan di kolam yang penuh ikan. Berpromosilah di tempat yang di situ sudah banyak wisatawannya. Berpromosi di Singapura, berpotensi mendapatkan wisatawan yang tidak hanya orang Singapura, tapi juga ekspatriat dan wisman di sana. Ini akan jauh lebih efektif daripada memancing di tengah lautan luas,” kata Arief.
Skenario Hot Deals pun langsung disiapkan. Warga negara Singapura ataupun ekspatriat dan wisman yang sedang berkunjung ke sana dirayu dengan paket yang sulit ditolak. Harganya dibuat sangat murah. Dibuat bundling. Semuanya ditawarkan saat weekdays. Momentum saat harga-harga hotel di Singapura bertarif sangat tinggi.
“Hot Deals, yang sering saya sebut more for less tourism, dilaksanakan untuk mengoptimalkan excess capacity melalui digitalisasi. Ketika excess capacity di 3A (accessibility, accomodation, dan attraction) digabungkan dalam sebuah platform digital, kita akan mudah mengoptimalisasi dan mengkapitalisasinya,” terang menteri asal Banyuwangi itu.
Menurutnya, ketika itu terjadi, affordability bisa diwujudkan. “Kita akan bisa menyediakan layanan turisme yang mudah dan murah. Paket ini kita jual saat low season dengan melakukan paket bundling yang memiliki komponen transportasi,” paparnya.
Pertanyaan berikutnya, apakah ini ampuh? Warga negara Singapura ataupun ekspatriat di Negeri Singa Putih bisa dialihkan ke Indonesia?
“Sangat ampuh. Kita sudah melakukan sebelumnya melalui event Promosi Wonderful Indonesia terpadu crossborder di Batam. Kerja samanya bundling dengan operator feri. Dari target 100 ribu paket, kita bisa menjual hingga 108 ribu paket,” ucapnya.
Success story pun ada di Kepri. Sampai dengan Desember 2017, Kemenpar berhasil menjual sekitar 102.000 paket. Padahal, sesi pertama baru berakhir Februari 2018. Bila ditarik sampai akhir sesi pertama, penjualan paket Hot Deals Kepri bertambah sekitar 6.000 paket lagi. Jadi, total terjual 108.000 paket sampai Februari 2018.
“Saya percaya diri untuk menaikkan target penjualan Hot Deals di Kepri tahun 2018 ini sebanyak 500.000 paket. Sukses Hot Deals di Kepri itu akan diduplikasi oleh 18 destinasi pariwisata di Indonesia. Terutama di tiga greater utama di samping Kepri, seperti Jakarta dan Bali. Inilah salah satu senjata kita untuk mewujudkan target 17 juta kunjungan wisman tahun ini,” tambahnya.
Menyasar 18 destinasi lainnya bagi Menpar tidaklah terlalu sulit. Maklum, sarana dan prasarana di 18 destinasi itu sudah sangat mumpuni. Ada Danau Toba, Kepri, Padang, Belitung, dan Palembang di Pulau Sumatera. Kemudian dilanjutkan Jakarta, Bandung, Joglosemar, Surabaya-Bromo Tengger Semeru, Jember-Banyuwangi di Pulau Jawa. Sisanya, diisi Bali, Lombok, Balikpapan, Makassar, Manado-Bunaken, Wakatobi, Labuan Bajo, dan Raja Ampat.
“Ide dasar Hot Deals adalah memberikan tawaran yang ‘more for less’. You get more, you pay less. Konsumen mendapat super banyak, tapi mereka membayar super murah,” tarangnya.
Pasti muncul pertanyaan lagi, kok, bisa? Menpar lagi-lagi punya jawabannya. Dengan yakin dia menjawab, “Bisa!” Caranya dengan menggunakan konsep sharing economy. Memanfaatkan excess capacity. Daripada excess capacity itu tak terjual sama sekali, lebih baik dijual murah alias diskon besar-besaran.
Di industri pariwisata, excess capacity misalnya berupa kamar hotel yang tak terjual ada di weekdays atau tiket pesawat yang tak laku di low season. Celakanya, kamar hotel dan tiket yang tak terjual tersebut mengandung fixed cost yang relatif sama. Untuk airlines misalnya, pesawat akan menghabiskan bahan bakar yang hampir sama baik kursi di pesawat tersebut kosong ataupun diisi penumpang. Fixed cost tersebut tetap ada, tak bisa dihilangkan seketika.
Berdasarkan prinsip asset utilization, agar utilitasnya maksimal, sejauh mungkin kursi pesawat atau kamar hotel itu harus terisi, tak boleh kosong. Akan lebih baik terjual dengan harga murah, ketimbang sama sekali tak terjual. “Dari sinilah ide Hot Deals muncul,” ucapnya.
Hot Deals ini kemudian diwujudkan dalam bentuk bundling. Harganya dibuat lebih rendah dari harga satuan. Contohnya harga feri dari Singapura ke Batam dari harga 49 dollar Singapura turun menjadi 20 dollar Singapura. Namun, harga tersebut ditambah lagi harga untuk hotel, atraksi, dan akomodasi, totalnya akan lebih tinggi dari 49 dollar Singapura. Jadi, orang yang berminat pada paket Hot Deals seharusnya tak akan membeli paket itu secara satuan karena jatuhnya ia akan rugi.
“Di industri pariwisata, low season itu sudah pasti ada. Low season itu adalah sebuah keniscayaan. Maka Hot Deals itu juga sebuah keniscayaan,” papar mantan Dirut Telkom itu.
Benchmark-nya bisa berkaca pada industri telekomunikasi. Pengalamannya membidangi sektor telekomunikasi pun ikut dipaparkan. “Tourism itu mirip seperti telecomunication dan transportation. Zaman dulu kalau kita meneelpon setelah jam 6 petang kita mendapat diskon 50 persen, lalu di atas jam 9 malam diskonnya menjadi 75 persen. Apakah manajemen perusahaan telekomunikasi bodoh? Nggak, malah dia pintar sekali. Daripada tidak ada yang menelepon sama sekali di petang dan malam hari, lebih baik ada yang menelepon dengan cara memberi insentif ke konsumen berupa diskon besar,” terangnya.
Jadi, pemberian diskon mendorong orang yang awalnya tak ingin menelepon menjadi berkeinginan menelepon dengan iming-iming diskon besar. Katakanlah sebelumnya revenue per menit hanya Rp 1.000. Setelah diberi diskon di petang dan malam hari, barangkali revenue per menitnya turun menjadi hanya Rp 250. Tapi jangan lupa, volume panggilan teleponnya melonjak drastic sehingga ujung-ujung revenue dan profitnya lebih besar.
“Yang ingin saya katakan dari contoh ini adalah supply yang murah itu bisa men-drive demand,” terangnya.
Yang membuat Menpar senang, program Hot Deals itu juga ikut ditopang program Colors of Indonesia. “Yaitu dengan memanfaatkan calendar of events (CoE) yang telah kita kurasi. Paket ini berlaku untuk event-event yang digelar saat low season, bundling dengan komponen tiket event. Ada 3 jenis event yang bisa kita manfaatkan, yaitu wonderful/premiere events, cultural/promising events, dan almanak/potential events,” paparnya.
Ditambah lagi, ada paket selanjutnya adalah Digital Destination. “Paket ini berlaku sepanjang tahun dengan mengoptimalkan experience-based product. Di era yang menurut Prof Rhenald Kasali adalah Esteem Economy, pengakuan dari peers (3F: Friends, Fans, Followers) kini menjadi faktor yang sangat penting dalam membentuk perilaku konsumen,” katanya.
Pembedaan dari sisi produk pariwisata pun makin kreatif, makin instagramable, memikirkan obyek gambar. Agar kalau difoto, layak diunggah di medsos, dan banyak likes, comments, banyak repost, share, dan interaksi positif.
“Branding dari sisi promosi, media harus berpromosi, jika ingin semakin kuat di pasar anak muda ke masa depan,” katanya. [*]
Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 12 Juni 2018.