Generasi digital yang dimulai 2000-2021 cenderung memiliki cara berpikir lebih cerdas, lebih kritis, menyukai hal-hal yang sifatnya instan, cenderung lebih banyak menggunakan media sosial, serta sangat aktif dalam mempergunakan teknologi. Pada era digitalisasi ini banyak yang berbeda dari zaman pendahulunya, dan teknologi digital telah memungkinkan terbentuknya budaya yang lebih berjejaring, kolaboratif, dan partisipatif.
Menyikapi hal itu, Kominfo bekerja sama dengan Jaringan Pegiat Literasi Digital (Japelidi) dan Siberkreasi Gerakan Nasional Literasi Digital menggelar webinar dengan tajuk “Literasi Digital: Bangun Masyarakat Digital Berbudaya Indonesia”. Webinar yang digelar pada Senin, 13 September 2021, ini diikuti oleh sejumlah peserta secara daring.
Dalam forum tersebut hadir Samuel Berrit Olam (Founder dan CEO PT Malline Teknologi Internasional), Achmad Uzair (Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta), Alviko Ibnugroho (financologist, motivator keuangan dan kejiwaan keluarga, IAPA), Andrea Abdul Rahman Azzqy SKom MSi MSi(Han) (Dosen Universitas Budi Luhur Jakarta), dan Astari Vern (Miss Tourism International dan content creator) selaku narasumber.
Dalam pemaparannya, Andrea Abdul Rahman Azzqy menyampaikan bahwa menurut survei Mastel pada 2019-2020, tantangan generasi digital itu 58 persen informasi, 9 persen media sosial, 23 persen audio-visual, dan 10 persen adalah hiburan. Perlu diketahui bahwa mencari informasi hingga hiburan, sangat memengaruhi fisik dan psikis seseorang, seperti munculnya kecenderungan antisosial, bahkan dapat menyalahgunakan adanya informasi dari internet.
Dapat juga mengakibatkan munculnya identitas alternatif (alter ego), karena mudahnya menjadi tokoh rekaan di ruang siber. Mulutmu harimaumu; jarimu menentukan nasibmu! Oleh karena itu, kita harus disiplin dengan waktu browsing, termasuk penggunaan paket data dan Wi-Fi. Untuk menjaga keamanan digital dapat dilakukan dengan menerapkan budaya tenggang rasa.
“Haus akan informasi tapi kurang tanggap dalam memilahnya akan menyebabkan seseorang merasa overwhelmed atau overload. Baiknya tanamkan budaya sabar agar generasi ini dapat cepat beradaptasi dan terbuka untuk belajar,” terangnya.
Astari Vern selaku narasumber Key Opinion Leader juga menyampaikan bahwa dalam bermain media sosial itu harus mempunyai etika. Kita tidak boleh blak-blakan begitu saja. Kalau kita punya rekam jejak yang positif dan membangun, itu semuanya bisa menjadi personal branding kita. Tips and trick agar kita semua aman dalam bermain media sosial adalah jangan menyebarkan berita bohong, SARA, pornografi, atau provokasi.
“Jangan termakan oleh hoaks, harus mampu lakukan validasi benar atau tidaknya informasi yang kita terima. Caranya memastikannya bisa cek langsung ke website yang tepercaya. Menghargai karya orang lain di internet juga merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan dan dilakukan,” katanya.
Salah satu peserta bernama Fernando menyampaikan, tajamnya komentar ujaran kebencian netizen tentu tidak bisa dihindari, karena itu berawal dari individu masing-masing. Dampaknya pun tidak main-main, sudah banyak public figure dalam maupun luar negeri memilih mengakhiri hidupnya menghadapi komentar netizen negatif tersebut.
“Apakah tips untuk kaum milenial menghadapi ujaran kebencian dari netizen jika kita yang berada di kondisi dikomentari tersebut?” tanyanya.
Andrea Abdul Rahman Azzqy menjawab, abaikan ujaran kebencian. Kalau komentar tidak sesuai dengan fakta cukup abaikan. Jika sudah sangat mengganggu, cukup report, atau bisa dengan langsung melaporkan kepada pihak berwajib jika itu sangat mengganggu.
Webinar ini merupakan salah satu rangkaian kegiatan literasi digital di Kota Jakarta Timur. Kegiatan ini pun terbuka bagi semua orang yang berkeinginan untuk memahami dunia literasi digital. Untuk itulah penyelenggara pada agenda webinar selanjutnya, membuka peluang sebesar-besarnya kepada semua anak bangsa untuk berpartisipasi pada webinar ini melalui akun Instagram @siberkreasi.dkibanten.
Kegiatan webinar ini juga turut mengapresiasi partisipasi dan dukungan semua pihak, sehingga dapat berjalan dengan baik, mengingat program literasi digital ini hanya akan sukses mencapai target 12,5 juta partisipan jika turut didukung oleh semua pihak yang terlibat. [*]