Banjir rob di pantura Jateng menerjang Brebes, Tegal, Pemalang, Pekalongan, Kendal, Semarang, Demak, Jepara, Pati, dan Rembang. Selain itu, tanggul jebol terjadi di Pelabuhan Tanjung Mas Semarang. Kejadian ini masih menyisakan pekerjaan rumah (PR) yang harus diselesaikan pihak terkait.
Menurut Guru Besar Fakultas Teknik (FT) Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Prof Dr Ir S Imam Wahyudi DEA, hal itu terjadi karena adanya air pasang tertinggi yang mencapai 2,1 meter di atas permukaan laut (DPL). Sedangkan secara umum, area daratan di pantura Jateng lebih rendah 0,5 sampai 1,5 meter dari permukaan laut.
”Kondisi inilah yang memicu banjir rob di sejumlah wilayah, yakni Brebes sampai Rembang, sedangkan di Kota Semarang, di kawasan Pelabuhan Tanjung Mas, diperparah dengan jebolnya tanggul penghalang air dari laut ke daratan,” jelasnya, Selasa (31/5/2022), dalam diskusi bertajuk “Tanggul Jebol dan Rob: Pengalaman Jakarta dan Semarang”.
Lebih lanjut, menurutnya, untuk mencegah peristiwa tersebut kembali terjadi, perlu perlindungan dengan membuat tanggul laut (sea wall) pada sisi barat (Kali Baru dan Ujung Seng), juga di sisi timur yakni di alur air pendingin PLTU Tambak Lorok. Sedangkan di utara adalah di beberapa area pelayanan pelabuhan.
“Untuk jangka panjang butuh rehabilitasi atau perbaikan break water (pemecah gelombang) di Pelabuhan Tanjung Mas,”jelasnya.
Imam menerangkan, pada dasarnya di beberapa area di Kota Semarang sudah terlindungi dengan sistem polder. Ini seperti di Wilayah Tengah (Sistem Polder Kali Semarang dan Kali Banger), Wilayah Timur (Kali Tenggang dan Sringin), sebagian Wilayah Barat (Madukoro, Semarang Indah). Sedangkan saat ini, area yang dalam pelaksanaan konstruksi (Yos Sudarso–Bandara Ahmad Yani).
Khusus untuk penanganan di lokasi Pelabuhan Tanjung Mas, lanjut Imam, yang segera dilakukan saat ini pada titik tanggul yang roboh ditutup darurat dan proses ditutup semi permanen.
Sementara itu, Elisa Sutanudjaja dari Rujak Center for Urban Studies lebih menyoroti kondisi banjir rob di Jakarta. Menurutnya, banjir rob di Ibu Kota disebabkan sejumlah faktor. Di antaranya pelanggaran tata ruang.
“Apa yang terjadi pada pelanggaran tata ruang terutama pada zonasi RTH/hijau yang dilakukan korporasi? Dalam periode 1985–2006 terjadi pelanggaran tata ruang besar-besaran terhadap RTR 1985-2005 yang kemudian ‘diputihkan’ dalam Perda 6/1999 RTRW 2010. Total ‘pemutihan’ karena proyek real estate besar, mencapai 4.200 hektar atau 6,5 persen dari wilayah DKI,” kata Elisa.
Sedangkan faktor lain menurut Elisa adalah topografi di Jakarta yang hampir datar. “Banjir di Jakarta disebabkan akibat hujan lokal, banjir akibat kiriman hulu, banjir rob, banjir akibat gagal infrastruktur, dan kombinasi di atas.”