Dilatarbelakangi bahwa ekstrimisme memunculkan situasi tidak aman dan menjadi ancaman keamanan nasional, perpres tersebut menuai pro dan kontra karena dikhawatirkan menimbulkan diskriminatif terhadap kelompok tertentu, utamanya yang menyangkut diksi “pemolisian” masyarakat. Diksi tersebut jika tidak dipahami secara tepat dikhawatirkan akan berpotensi menimbulkan konflik horizontal antarwarga masyarakat dan berpotensi main hakim sendiri.
Dari ekstrimisme ke terorisme
Ekstrimisme mencerminkan ideologi politik yang menentang nilai-nilai dan prinsip-prinsip inti dalam masyarakat. Ekstrimisme juga dapat digunakan untuk menggambarkan metode, yaitu aktor politik berusaha mewujudkan tujuan mereka dengan menggunakan sarana yang menunjukkan ketidakpedulian terhadap lingkungan, kebebasan dan hak asasi manusia orang lain.
Terorisme selalu identik dengan teror, kekerasan ekstrimnitas, dan intimidasi sehingga sering kali menimbulkan konsekuensi negatif menjatuhkan korban yang banyak (Yunus, AF, 2017 : 76-94). Indikator gerakan ekstrimis di antaranya menempatkan diri di luar arus utama, menggulingkan tatanan politik, meraih kekuasaan politik, mengacaukan tatanan hukum, tidak mengakui hak orang lain, menolak diversitas dan pluralisme, menolak prinsip demokrasi, mengancam yang tidak sependapat, dan memiliki ide yang tidak bisa diubah (Alex, P Schmid: 2014).
Terorisme dan responsnya telah menimbulkan dilema keseimbangan antara security dan liberty. Beberapa negara secara ofensif melakukan aksi-aksi pemberantasan terorisme, bahkan mengesampingkan prinsip-prinsip kedaulatan, hak asasi manusia dan hukum internasional. Masalah pendefinisian terorisme turut mempersulit penanggulangan terorisme. Sebab utamanya adalah berubahnya wajah terorisme dari waktu ke waktu.
Walter Lackuer dalam bukunya The Age of Terorrism menyatakan, tidak akan mungkin ada sebuah definisi yang bisa meng-cover ragam terorisme yang muncul dalam sejarah. Tindak kekerasan dapat dilakukan oleh individu, kelompok dan negara. Motivasi pelaku dapat bersumber pada alasan ideosinkretik, kriminal maupun politik. Sasaran atau korban bukan yang sesungguhnya, melainkan bagian dari taktik intimidasi, koersi ataupun propaganda untuk mencapai tujuan-tujuan mereka.
Tatanan demokrasi
Terorisme dan kewajiban memeranginya telah memperrumit proses demokrasi. Memunculkan tantangan bagi negara-negara demokrasi di dalam mencari keseimbangan antara security dan liberty. Inggris termasuk negara yang menggunakan deradikalisasi melalui perkuatan kohesi masyarakat dan skema monitoring yang bertujuan merehabilitasi masyarakat yang dianggap berisiko dan terpapar radikalisme, (Ragazi : 2017). Beberapa strategi dalam mencegah tindak pidana terorisme yang dilakukan tokoh adat selama ini adalah memberikan contoh keteladanan dalam menjaga keamanan dan ketertiban, melibatkan seluruh kelompok masyarakat (Harahap, AS, & Siregar, T : 2020).
Mengutamakan pendekatan moderasi sebagai antitesis dari penegakan hukum yang keras seperti yang digagas oleh beberapa ormas Islam menunjukkan setidaknya memberikan jalan keluar agar terorisme dapat disingkirkan dari akarnya dengan cara yang humanis (Lestari P, Prabowo A, Ishak A, Junaedi F, Budi S, dan Widodo Y : 2012).
Memerangi ekstrimisme berbasis kekerasan yang mengarah kepada terorisme membutuhkan kebijakan komprehensif baik dalam tataran anti maupun kontra terorisme. Tatanan demokrasi mengutamakan keunggulan cara-cara persuasif, negosiasi dan toleransi ketimbang cara-cara koersif, pemaksaan dan penggunaan kekerasan. Secara prosedural kewajiban ini menimbulkan dilema antara keniscayaan pemberian diskresi kewenangan kepada institusi negara di satu pihak dan keharusan negara untuk tetap melindungi kebebasan sipil.
Oleh karena itu, dibutuhkan penerapan optimal dalam prinsip check and balances dalam perumusan dan pengambil kebijakan, spesialisasi pelaksana kebijakan, dan tersedianya mekanisme akuntabilitas publik bagi pelaksanaan kebijakan. Pengalaman di berbagai negara telah menunjukkan terjadinya pelanggaran kebebasan warga negara dan hak asasi manusia dengan dalih pemberantasan terorisme. Penggunaan kekerasan tanpa pandang bulu akan menjadi kontra produktif dan membahayakan ruang demokrasi. Namun, patut juga diwaspadai aksi-aksi terorisme terkadang berselubung atas nama hak asasi manusia, demokrasi, maupun agama, sehingga kebijakan penanggulangannya harus menjaga keseimbangan imperatif antara liberty person dan security person. (Dr Dini Dewi Heniarti, SH, MHum, Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung)
Unisba 3M: Mujahid, Mujtahid, Mujaddid. Website : https://www.unisba.ac.id