Pada hari terakhir perhelatan Jakarta International Literary Festival (JILF) 2019 pada Sabtu (24/8/2019), digelar dua simposium bertema “Dilema Tema Umum Selatan” dan “Perlukah Kanon Selatan” di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki. Selain itu, satu talkshow bertajuk “Sastra” di Ruang Sastra dan Komunitas, Plaza Teater Besar.
Intan Paramaditha (Indonesia), Legodile Seganabeng (Bostwana), dan Sherlene Teo (Singapura) mempresentasikan makalah masing-masing dalam simposium bertajuk “Dilema Tema Umum Selatan”, dimoderatori oleh Nukila Amal.
Intan bicara tentang sastra global, makna kosmopolitanisme, dan bagaimana kesenjangan suara dan keterwakilan tetap terjadi dalam konstelasi sastra dan perbukuan dunia hari ini. Legodile menyajikan pengalamannya sebagai pengarang di Botswana yang tradisi penerbitannya belum berkembang jauh. Sastra sulit diterbitkan dan sering kali pengarang harus mengorbankan kreativitas dan orisinalitasnya agar dapat diterbitkan.
Sherlene, pengarang novel Ponti yang telah tinggal selama 13 tahun di Inggris, berbagi tentang bagaimana identitasnya terkadang menjadi beban dalam berkreasi, dengan adanya asumsi atau ekspektasi tentang dirinya sebagai warga kelahiran Asia Tenggara. Di sisi lain, posisinya yang jauh dari tanah kelahiran menciptakan jarak yang memudahkannya untuk berefleksi secara lebih mendalam.
Hilmar Farid (Indonesia), Ramon Guillermo (Filipina), dan Adania Shibili (Palestina) menjelajahi topik kanon Selatan. Dipandu Stephanos Stepanides (Siprus) sebagai moderator, simposium ini menjadi diskusi yang hidup tentang kemungkinan-kemungkinan akan kanon Selatan dan bagaimana komunitas sastra Selatan menyikapinya.
Ramon mengawali simposium dengan pijakan sejarah kokoh berupa grafis yang menggambarkan arus penerjemahan karya-karya Asia Tenggara di kota-kota besar dunia, seperti Moskwa, Paris, dan Tokyo. Grafis ini menjadi latar yang berguna saat kemudian gagasan tentang perlunya kanon Selatan dilontarkan oleh Hilmar, yang mempertimbangkan cita-cita para pendiri bangsa sesama kawasan terjajah baru saja merdeka dan beraliansi dalam Konferensi Asia-Afrika 1955.
Namun, Adania membuat audiens tertegun dengan presentasinya tentang bagaimana penjajahan Israel atas Palestina juga mencakup penyitaan dan penghapusan karya-karya sastra Palestina, lewat proyek-proyek National Library of Israel. Pada titik ini, Adania seperti mengajak penonton untuk membayangkan bagaimana berbicara tentang kanon Selatan saat bangsa Palestina tidak dapat mengakses khazanah sastra dan budayanya sendiri.
Pada akhirnya, diskusi berakhir dengan pemahaman bersama bahwa pembicaraan kanon Selatan mesti mengakomodasi narasi dan suara yang plural, kekayaan khazanah dunia, dan platform bagi representasi warga dunia yang lebih setara.
Di talkshow mengenai Sastra Boga, sejarawan budaya Timbul Haryono dan penulis sejarah boga Fadly Rahman mengajak hadirin menelusuri makanan lewat literatur, khususnya catatan para sejarawan dan pengelana zaman dulu. Dipandu moderator Ade Putri, bincang-bincang ini membuka cakrawala pengetahuan tentang bagaimana makanan sebagai aspek budaya dapat menjadi cermin suatu masyarakat dan zaman.
Diawali dengan cerita keduanya tentang asal kata “boga” dan “kuliner”, pembicaraan berkembang ke berbagai pengaruh luar hari ini dalam masakan Nusantara, misalnya vrijkadel, yang dalam masyarakat Belanda terbuat dari daging babi, tapi di Indonesia menjadi perkedel yang terbuat dari macam-macam bahan. Selain perubahan pada bahan, fungsi makanan dalam masyarakat kita akhirnya juga beralih. [*]
Artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 30 Agustus 2019.