Cyberbullying (perundungan dunia maya) ialah bullying atau perundungan dengan menggunakan teknologi digital. Hal ini dapat terjadi di media sosial, platform chatting, platform bermain game, dan ponsel. Oleh karena itu, baiknya kita sebagai pengguna media digital harus menerapkan “think before text” dan selalu memikirkan terlebih dahulu mengenai apa yang akan dikatakan atau diketik di ranah digital.

Cyberbullying adalah perilaku agresif dan bertujuan yang dilakukan suatu kelompok atau individu, menggunakan media elektronik, secara berulang-ulang dari waktu ke waktu, terhadap seseorang yang dianggap tidak mudah melakukan perlawanan atas tindakan tersebut. Jadi, terdapat perbedaan kekuatan antara pelaku dan korban. Perbedaan kekuatan dalam hal ini merujuk pada sebuah persepsi kapasitas fisik dan mental, dan perlu disadari bahwa hal ini dapat terjadi di ranah digital pun.

Menyikapi hal itu, Kominfo bekerja sama dengan Jaringan Pegiat Literasi Digital (Japelidi) dan Siberkreasi Gerakan Nasional Literasi Digital menggelar webinar dengan tajuk “Say No to Cyberbullying!”. Webinar yang digelar pada Rabu, 1 Desember 2021, diikuti oleh sejumlah peserta secara daring.

Dalam forum tersebut hadir Samuel Berrit Olam (Founder dan CEO PT Malline Teknologi Internasional), Anang Dwi Santoso (Dosen Universitas Sriwijaya dan IAPA), Eva Yayu Rahayu (Konsultan SDM dan Praktisi Keuangan & IAPA), Rusdiyanta (Dosen Universitas Budi Luhur), dan Adinda Daffy (News TV Presenter) selaku narasumber.

Dalam pemaparannya, Anang Dwi Santoso menyampaikan bahwa dampak perundungan daring yaitu secara mental korban akan merasa kesal, malu, bodoh, bahkan marah. Secara emosional mereka akan merasa malu atau kehilangan minat pada hal-hal yang disukai. Secara fisik mereka akan kelelahan atau mengalami gejala seperti sakit perut dan sakit kepada.

Dampak bagi pelaku yaitu akan cenderung bersifat agresif, berwatak keras, mudah marah, impulsif, lebih ingin mendominasi orang lain, kurang berempati, dan dapat dijauhi oleh orang lain. Perlu diketahui juga bahwa bagi pihak yang menyaksikan, atau disebut bystander, akan ada dampaknya. Jika cyberbullying dibiarkan tanpa tindak lanjut, maka orang yang menyaksikan dapat berasumsi bahwa cyberbullying adalah perilaku yang diterima secara sosial.

“Dalam kondisi ini, beberapa orang mungkin akan bergabung dengan penindas karena takut menjadi sasaran berikutnya dan beberapa lainnya mungkin hanya akan diam saja tanpa melakukan apapun dan yang paling parah mereka merasa tidak perlu menghentikannya,” terangnya.

Adinda Daffy selaku narasumber Key Opinion Leader juga menyampaikan bahwa kita harus share hal-hal yang positif di ruang digital. Menurutnya cyberbullying itu bisa terjadi karena terbiasa, maka kita harus memperlakukan orang lain dengan baik. Ia katakan bahwa cyberbullying itu perilaku kekanak-kanakan yang terkadang bercanda tetapi tanpa sadar melukai orang lain.

Terkait itu, orangtua harus mulai aktif untuk mengatakan say no to cyberbullying. Jangan sampai kita jadi pelaku. Perlu diketahui juga bahwa kalau misalnya korban tidak melawan dia akan berpikir bahwa dia tidak ada masalah dengan hal itu. Omongan itu berdampak penuh, dan kita harus meningkatkan kualitas diri. Jika kita menyaksikan cyberbullying kita harus speak up dan bantu mereka untuk keluar dari hal tersebut.

Salah satu peserta bernama Fitriani menyampaikan, “Apakah anak di bawah umur dapat dikenakan UU ITE terkait ujaran kebencian atau cyberbullying, mengingat banyaknya anak usia dini yang belum bisa menggunakan media sosial dengan etika digital yang baik? Lalu pola pembinaan seperti apa yang dapat kita lakukan pada anak usia dini?”

Anang Dwi Santoso menjawab, sebenarnya anak-anak tidak secara langsung diberlakukan UU ITE. Bullying oleh dan terhadap anak-anak biasa terjadi di sekolah, maka dari itu di sekolah harus membuat suatu lingkungan yang membuat siswa merasa aman dan nyaman untuk belajar.

“Ada upaya yang dilakukan di sekolah dibangun suatu mekanisme pengaduan, kemudian guru harus mengetahui langkah yang tepat untuk menindak hal tersebut. Di kurikulum pun harus diintegrasikan ke arah yang seperti itu,” jawabnya.

Webinar ini merupakan salah satu rangkaian kegiatan literasi digital di Kota Jakarta Timur. Kegiatan ini pun terbuka bagi semua orang yang berkeinginan untuk memahami dunia literasi digital. Untuk itulah penyelenggara pada agenda webinar selanjutnya, membuka peluang sebesar-besarnya kepada semua anak bangsa untuk berpartisipasi pada webinar ini melalui akun Instagram @siberkreasi.dkibanten dan @siberkreasi.

Kegiatan webinar ini juga turut mengapresiasi partisipasi dan dukungan semua pihak, sehingga dapat berjalan dengan baik, mengingat program literasi digital ini hanya akan sukses mencapai target 12,5 juta partisipan jika turut didukung oleh semua pihak yang terlibat. [*]