Tak dapat dimungkiri, perkembangan dunia digital telah menyasar ke segala sisi kehidupan. Saat ini, rasanya hampir tidak ada sisi kehidupan manusia yang tidak terpengaruh proses digitalisasi. 

Namun, masih banyak pengguna internet yang hanya mampu menerima informasi tanpa kemampuan memahami dan mengolah informasi tersebut secara baik, sehingga masih banyak masyarakat terpapar oleh informasi yang tidak benar.

Menyikapi hal itu, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menggelar seri webinar literasi digital #MakinCakapDigital dengan tema “Identifikasi dan Antisipasi Perundungan Digital (Cyberbullying)”. Webinar yang digelar pada Kamis, 23 September 2021 di Tangerang Selatan, diikuti oleh puluhan peserta secara daring. 

Webinar ini mengundang narasumber dari berbagai bidang keahlian dan profesi, yakni Yossy Suparyo (Direktur Gedhe Nusantara), Andrea Abdul Rahman Azzqy SKom MSi MSi(Han) (Dosen Universitas Budi Luhur Jakarta), Eva Yayu Rahayu (konsultan SDM dan praktisi keuangan), dan Ismita Saputri (CEO Kaizen Room).

Yossy Suparyo membuka webinar dengan mengatakan cyberbullying adalah perilaku agresif dan bertujuan yang dilakukan suatu kelompok atau individu, menggunakan media elektronik, secara berulang-ulang dari waktu ke waktu, terhadap seseorang yang dianggap tidak mudah melakukan perlawanan atas tindakan tersebut. 

Bullying secara langsung atau tatap muka dan cyberbullying seringkali dapat terjadi secara bersamaan. Namun, cyberbullying meninggalkan jejak digital, sebuah rekaman atau catatan yang dapat berguna dan memberikan bukti ketika membantu menghentikan perilaku salah ini,” tuturnya.

Adapun bentuk cyberbullying seperti flaming, pertengkaran dengan melibatkan kemarahan dan bahasa vulgar yang dilakukan menggunakan pesan elektronik. Harassment, pesan yang buruk, kejam, dan menghina yang dikirim secara berulang-ulang. Denigration, tindakan membenci seseorang secara online dengan cara mengirim atau memuat rumor tertentu untuk merusak reputasinya atau relasinya. 

Lalu ada impersonation, tindakan berpura-pura untuk menjadi orang lain dan kemudian mengirim atau membuat sesuatu yang dapat membuat orang lain berada dalam masalah atau merusak reputasi dan relasinya. 

Eva Yayu Rahayu menambahkan, latar belakang anak-anak dan remaja (dan mungkin juga orang dewasa) saling menindas dan mengintimidasi sejak lama, jauh sebelum adanya komputer dan internet. 

Penindasan bisa berbentuk perbuatan melecehkan, mengancam, mempermalukan, mengganggu, merepotkan, dan berbagai jenis yang dilakukan seseorang (atau sekelompok orang) terhadap orang (atau kelompok) lain. 

“Dengan meluasnya pemanfaatan teknologi informasi perbuatan penindasan ini mengalami transformasi cara penindasan ini mengalami transformasi cara penindasan di mana unsur perbuatan di atas masih ada namun berubah cara dan bentuknya,” ungkapnya.

Cyberbullying adalah perbuatan penindasan yang terjadi di ruang siber, yaitu ruang saat manusia saling berinteraksi dengan memanfaatkan teknologi informasi (termasuk jaringan internet) yang menghilangkan keterbatasan waktu dan tempat.

Menghadapi cyberbullying adalah dengan cara korban jangan merespons, korban jangan membalas dengan perbuatan serupa, simpan semua bukti perbuatan penindasan, dan selalu hindari publikasi di media sosial yang memprovokasi. Percaya dirilah dengan kelebihan dan kekuranganmu, jangan biarkan opini orang lain menenggelamkan suara dari dalam lubuk hatimu.

Sebagai pembicara terakhir, Ismita Saputri mengatakan, karakteristik digital society cenderung tidak menyukai aturan yang mengikat atau tidak suka diatur-atur, dikarenakan tersedianya beberapa opsi. Senang mengekspresikan diri, khususnya melalui platform media sosial. 

“Mereka terbiasa untuk belajar bukan dari instruksi melainkan dengan mencari, masyarakat digital lebih senang untuk mencari sendiri konten/informasi yang diinginkan. Maka diperlukan digital safety,” katanya.

Digital safety merupakan kemampuan individu dalam mengenali, mempolakan, menerapkan, menganalisis, dan meningkatkan tingkat keamanan digital dalam kehidupan sehari-hari. Seimbangkan waktu bermain di dunia maya dan nyata, hindari menjadikan gawai sebagai alat agar anak tidak rewel, berkomunikasi secara terbuka dengan anak.

Dalam sesi KOL, Stephanie Cecillia mengatakan, konteks kecantikan sudah pasti sangat erat sekali dengan cyberbullying. “Saranku untuk adik-adik semuanya jika terkena cyberbullying jangan dipendam sendiri, kita bisa share ke orangtua, sahabat, atau bisa datang ke tenaga profesional.”

Salah satu peserta bernama Ama Herianto menanyakan, bagaimana cara memberi teladan agar generasi milenial kita bisa bertutur kata berbahasa yang santun sebagai budaya bangsa Indonesia?

“Pertama dimulai dari diri sendiri terlebih dulu, kita harus bisa menjadi teladan untuk lingkungan sekitar kita. Khususnya kita sebagai orangtua dari anak-anak kita juga membiasakan mengucapkan kata-kata sopan. Didik tegas di lingkungan keluarga, jadi jika kita melihat anak menggunakan bahasa yang kurang baik itu segera diluruskan dan sebaiknya bapak-ibu guru memberikan sanksi tegas, karena kadang-kadang untuk mendidik membutuhkan ketegasan,” jawab Eva.

Webinar ini merupakan salah satu rangkaian kegiatan literasi digital di Tangerang Selatan. Kegiatan ini pun terbuka bagi semua orang yang berkeinginan untuk memahami dunia literasi digital. Untuk itulah penyelenggara pada agenda webinar selanjutnya, membuka peluang sebesar-besarnya kepada semua anak bangsa untuk berpartisipasi pada webinar ini melalui akun Instagram @siberkreasi.dkibanten.

Kegiatan webinar ini juga turut mengapresiasi partisipasi dan dukungan semua pihak, sehingga dapat berjalan dengan baik, mengingat program literasi digital ini hanya akan sukses mencapai target 12,5 juta partisipan jika turut didukung oleh semua pihak yang terlibat. [*]