Kondisi serba digital yang membuat kita terpenjara di depan perangkat kita sesungguhnya merupakan peluang kita untuk maju dalam mengasah keahlian dan mendapatkan hasil. Di ruang digital, terdapat rambu-rambu yang harus dipatuhi sebagai warga negara digital yang memiliki hak-hak digital yang terdiri dari hak berekspresi, hak mengakses informasi, dan hak membagikan. Rambu-rambu tersebut berkaitan dengan batasan-batasan etika yang membuat kita bersikap dengan tepat di ruang digital yang memiliki kekurangan kontak fisik. Dalam ruang digital, kita berinteraksi dengan sesama manusia yang memiliki latar belakang budaya sosial ekonomi dan berbagai aspek yang berbeda-beda. Di dalam ruang digital terdapat tanggung jawab yang harus diwaspadai akan segala hal yang kita lakukan di ruang digital, yang terekam di rekam jejak digital. Terutama sifat ruang digital yang serba instan yang cenderung membuat pengguna melakukan ‘tanpa sadar’ sepenuhnya.

Menyikapi hal itu, maka lembaga Kominfo bekerja sama dengan Jaringan Pegiat Literasi Digital (Japelidi) dan Siberkreasi Gerakan Nasional Literasi Digital dalam menggelar webinar dengan tajuk “Memahami Batasan Dalam Kebebasan Berekspresi di Dunia Digital”. Webinar yang digelar pada Senin, 1 November 2021, pukul 13.00-15.30 diikuti oleh sejumlah peserta secara daring.

Dalam forum tersebut hadir Dr Bevaola Kusumasari, MSi (Dosen/Pengajar Fisipol UGM & IAPA), Dr Rusdiyanta, SIP, SE, MSi (Dekan FISIP Universitas Budi Luhur), Dr Lintang Ratri Rahmiaji, SSos, MSi (Dosen Fisip Universitas Diponegoro & Japelidi), Annisa Choiriyah Muftada (Kaizen Room), dan Ayonk (Aktor, Musisi & Host) selaku narasumber.

Dalam pemaparannya, Dr Rusdiyanta, SIP, SE, MSi menyampaikan informasi penting bahwa “Kebebasan ekspresi dapat mengganggu kebebasan orang lain yang mengacu terhadap HAM. Kebebasan berekspresi di internet adalah ketika bisa bebas menyampaikan perasaan, opini, kritik, tanpa rasa takut di-bully, diperkarakan tetapi tetap menghargai hak dan kebebasan orang lain. Kebebasan tersebut terdapat kebebasan positif yang dapat mengendalikan diri, bertindak secara rasional, dan bertanggung jawab. Sedangkan kebebasan negatif adalah kebebasan dari campur tangan luar, bebas secara negatif dan tidak terbatas. Masalah etika yang dialami lingkungan digital Indonesia ditandai melalui riset Digital Civility Index 2020 yang dilakukan oleh Microsoft yang dipicu oleh faktor penyebaran hoaks, kejahatan online, diskriminasi, dan aksi-aksi negatif lainnya di ruang digital. Hampir setengah pengguna internet pernah terlibat dari aksi perundungan siber, yang mayoritas dialami oleh generasi muda (millennial dan gen-z). Literasi digital dapat membantu untuk mengurangi pengaruh eksternal karena terciptanya kedewasaan dan ketangguhan dalam berinternet.”

Ayonk selaku narasumber Key Opinion Leader juga menyampaikan bahwa dalam menggunakan perangkat pintar, kita sebagai pengguna media digital juga harus ikut pintar menggunakan perangkat dan ruang digital sedemikian rupa untuk berdampak positif terhadap diri sendiri dan lingkungan kita. Misal, ketika menerima informasi, kita harus dapat berpikir sejenak sebelum mengerti dan membagikan ke orang lain, dengan mengecek sumber dan juga melakukan crosscheck berkali-kali. Kita harus memiliki kemampuan untuk mengolah informasi tersebut, yang dapat dibantu dengan bimbingan orang tua. Bagi orang tua juga harus mau ikut belajar, yang selain berdampak positif bagi diri mereka sendiri, juga dapat mendatangkan manfaat pada anak.

Para partisipan yang hadir juga dipersilahkan untuk mengutarakan pertanyaan dan tanggapan. Salah satu peserta bernama Putri Sesarini menyampaikan pertanyaan “Bagaimana menjaga diri kita agar tidak terlalu berlebihan ketika mengekspresikan diri di ruang media sosial, karena terkadang netizen kita lupa akan batasan yang ada. Lalu bagaimana supaya pelajar seperti kami yang memiliki digital skill yang  cakap bisa memanfaatkannya untuk hal-hal yang positif, dan bukan malah untuk mem-bully netizen yang belum cakap digital? Masih banyak sekali kasus bullying terhadap teman yang mungkin masih gaptek, dan mereka yang cakap digital malah membully.”

Pertanyaan tersebut pun dijawab dengan lugas oleh Dr Bevaola Kusumasari, MSi, bahwa “Kita harus fokuskan dulu apa yang kita minati untuk disebarluaskan, misal mengenai topik kesehatan mental, sehingga melatih konsistensi kita dan kecakapan dalam bidang yang spesifik dan dapat menghindari kesalahan-kesalahan yang mungkin muncul. Dari sekolah kita dapat mulai dengan pengenalan literasi digital terhadap hal apa yang baik atau tidak di ruang digital, dan dapat dilatih seiring pengalaman dan usia.”

Webinar ini merupakan salah satu rangkaian kegiatan literasi digital di Kota Jakarta Timur. Kegiatan ini pun terbuka bagi semua orang yang berkeinginan untuk memahami dunia literasi digital. Untuk itulah penyelenggara pada agenda webinar selanjutnya, membuka peluang sebesar-besarnya kepada semua anak bangsa untuk berpartisipasi pada webinar ini melalui akun Instagram @siberkreasi.dkibanten. Juga, bagi yang ingin mengetahui tentang Gerakan Nasional Literasi Digital secara keseluruhan bisa ikuti akun Instagram @siberkreasi.

Kegiatan webinar ini juga turut mengapresiasi partisipasi dan dukungan semua pihak, sehingga dapat berjalan dengan baik, mengingat program literasi digital ini hanya akan sukses mencapai target 12,5 juta partisipan jika turut didukung oleh semua pihak yang terlibat.