Tak dapat dimungkiri, perkembangan dunia digital telah menyasar ke segala sisi kehidupan. Saat ini, rasanya hampir tidak ada sisi kehidupan manusia yang tidak terpengaruh proses digitalisasi.

Namun, masih banyak pengguna internet yang hanya mampu menerima informasi tanpa kemampuan memahami dan mengolah informasi tersebut secara baik, sehingga masih banyak masyarakat terpapar oleh informasi yang tidak benar.

Menyikapi hal itu, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menggelar seri webinar literasi digital #MakinCakapDigital dengan tema “Bersama Kita Cegah Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak”. Webinar yang digelar pada Kamis, 7 Oktober 2021 di Kota Tangerang Selatan , diikuti oleh puluhan peserta secara daring.

Webinar ini mengundang narasumber dari berbagai bidang keahlian dan profesi, yakni Mathelda Christy (Praktisi Pendidikan dan Training), Katriatun Sariwening (Pengawas Taman Kanak-kanak Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Tangerang Selatan), Irma Safitri (Ketua PUSPAGA  Kota Tangerang Selatan), dan Ayuning Budiato (Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, IAPA).

Mathelda Christy membuka webinar dengan mengatakan, maraknya aktivitas digital yang dilakukan mengharuskan kita untuk peduli pentingnya memproteksi perangkat digital yang kita miliki.

“Selain membantu memudahkan pekerjaan di dunia kerja, mencari hiburan, transaksi secara daring mulai menjadi kebiasaan baru. Karena kebiasaan baru tersebut menimbulkan banyaknya kejahatan di dunia digital, teknologi menjadi incaran upaya peretasan,” ungkapnya.

Salah satu kejahatan di dunia digital, yakni kekerasan terhadap perempuan dan anak. Kejahatan itu disebabkan antara lain persepsi sebagian masyarakat yang masih tidak adil terhadap perempuan, kurangnya penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak yang dapat menimbulkan efek jera.

“Kekerasan gender berbasis online (KGBO) adalah segala bentuk kekerasan yang bertujuan menyerang gender dan seksualitas baik orang atau pihak lain yang difasilitasi teknologi internet. Kekerasan berbasis gender online marak terjadi seiring dengan perkembangan teknologi,” katanya.

Adapun aktivitas yang bisa dikategorikan sebagai KGBO yakni pelanggaran privasi, pengawasan dan pemantauan, perusakan reputasi/kredibilitas, pelecehan, ancaman dan kekerasan langsung, serangan yang ditargetkan ke komunitas tertentu.

Katriatun Sariwening menambahkan, etika tradisional menyangkut tata cara lama/offline, kesepakatan bersama dalam sebuah kelompok, mengenai kepantasan. Ruang lingkup etika, yakni kesadaran, kebaikan, integritas, dan tanggung jawab.

“Etika digital, menuntun kita untuk tetap berada dalam koridor norma kepatutan dan kesopanan dalam berinteraksi di ruang digital, sehingga anak-anak tetap mendapat teladan yang baik sebagai netiket yang bertanggung jawab untuk berbagi kebaikan,” ungkapnya.

Irma Safitri turut menjelaskan, kekerasan fisik yaitu jenis kekerasan yang kasat mata. Artinya, siapapun bisa melihatnya karena terjadi sentuhan fisik antara pelaku dengan korbannya. Contohnya menampar, menimpuk, menginjak kaki, menjegal, meludahi, memalak, melempar dengan barang.

“Kekerasan emosional/psikis yaitu kekerasan yang dilakukan lewat bahasa tubuh dan kata-kata. Contohnya memandang sinis, memandang penuh ancaman, mempermalukan, mendiamkan, mengucilkan, memandang yang merendahkan, mencibir dan memelototi,” tuturnya.

Sementara kekerasan seksual yaitu kekerasan yang dilakukan untuk memuaskan hasrat seks (fisik) dan verbal (fisik). Secara fisik misalnya pelecehan seksual (meraba, menyentuh organ seks, mencium paksa, memaksa berhubungan intim).

Sedangkan verbal seperti membuat komentar, julukan, atau gurauan porno yang sifatnya mengejek, juga membuat ekspresi wajah, gerakan tubuh, ataupun perbuatan seksual lain yang sifatnya melecehkan dan atau menghina korban.

Penyebab kekerasan pada perempuan dan anak yakni lingkungan keluarga yang belum menerapkan 8 fungsi keluarga, yakni agama, cinta kasih, ekonomi, pendidikan, sosial budaya, perlindungan, reproduksi, dan lingkungan.

“Upaya untuk mencegah misalnya memberi pemahaman sejak dini bahwa anak punya otoritas atas tubuhnya dan orang lain—bahkan orangtua sekalipun—tidak bisa menyentuh apalagi meraba badan mereka tanpa izin. Anak-anak selalu punya hak untuk menolak hal-hal yang membuatnya tidak nyaman,” jelasnya.

Sebagai narasumber terakhir, Ayuning Budiati mengatakan, kekerasan terhadap perempuan adalah segala tindakan kekerasan yang berbasis gender dan ditujukan pada perempuan, yang mengakibatkan atau mungkin akan mengakibatkan penderitaan secara fisik, seksual, atau psikologis.

“Dampak kekerasan pada anak, yakni gangguan kejiwaan, termasuk kecemasan, rasa rendah diri, fobia, dan depresi. Lalu gangguan fisik berupa cedera, gangguan fungsional dan cacat permanen. Gangguan kesehatan reproduksi, termasuk kehamilan yang tidak diinginkan, infeksi menular seksual, dan abortus. Dampak yang paling sering terjadi di tindak kekerasan terhadap anak adalah dampak psikologis,” ungkapnya.

Dalam sesi KOL, Ones mengatakan, kekerasan terhadap perempuan dan anak yang berkembang di dunia digital dan dunia nyata saat ini sebagian besar berkaitan dengan konten pribadi. “Sehingga akhirnya menjadi sasaran caci maki netizen dan oknum yang mencoba memanfaatkan untuk hal yang tidak baik.”

Salah satu peserta bernama Kustina Wati menanyakan, bagaimana caranya atau bahasa yg baik agar anak memahami sex education, karena anak anak rata rata memiliki rasa keingintahuan yang tinggi?

“Orangtua di era milenial ini mereka punya banyak cara untuk memberi tahu tentang bagaimana sex education itu, dan banyak pula orangtua yang sudah punya kesadaran untuk memberi tahu anak-anaknya dari usia dini ketika sudah bisa berkomunikasi harus sudah mulai ada pengenalan mengenai sex education,” jawab Mathelda.

Webinar ini merupakan salah satu rangkaian kegiatan literasi digital di Kota Tangerang Selatan. Kegiatan ini pun terbuka bagi semua orang yang berkeinginan untuk memahami dunia literasi digital. Untuk itulah penyelenggara pada agenda webinar selanjutnya, membuka peluang sebesar-besarnya kepada semua anak bangsa untuk berpartisipasi pada webinar ini melalui akun Instagram @siberkreasi.dkibanten.

Kegiatan webinar ini juga turut mengapresiasi partisipasi dan dukungan semua pihak, sehingga dapat berjalan dengan baik, mengingat program literasi digital ini hanya akan sukses mencapai target 12,5 juta partisipan jika turut didukung oleh semua pihak yang terlibat. [*]